SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Tuesday, November 29, 2016

Areopagitica, Gema Kebebasan Menulis dan Berekspresi

Alwy Rachman 

Barang siapa yang membunuh seseorang, ia sesungguhnya membunuh citra Tuhan, dan barang siapa yang memusnahkan buku, ia sesungguhnya menghancurkan nalar pemberian Tuhan justru di depan matanya sendiri, “ begitu isi sekuel bagian 6 dari keseluruhan pendakuan John Milton dalam Areopagitica.

John Milton terlahir pada 9 Desember 1608 dan berpulang pada 8 November 1674 di London, Inggris. Sosok ini dikenang sebagai penyair naratif terkemuka di saat-saat sulit bagi Inggris. Selain sebagai penulis dan penyair, Milton bekerja sebagai pegawai di bawah Oliver Cromwell, yang menjalankan pemerintahan persemakmuran setelah Raja Charles I dieksekusi melalui revolusi rakyat akibat perselisihan atas penguasaan sumber-sumber pajak antara sang raja dan parlemen Inggris.

Di saat-saat sulit, Milton pun menyaksikan pergolakan di antara kekuatan-kekuatan agama di seputar kisah perang saudara yang berakhir dengan kematian Raja Inggris Charles I. Setelah menang, Cromwell menolak takhta monarki Inggris dan menggantikannya dengan republik yang kini dibilang Persemakmuran Inggris. Pemerintahan Cromwell dibilang sebagai Interregnum Cromwellian, menyusul diberlakukannya restorasi monarki secara konstitusional.

Areopagitica berisi pidato retorik yang ditujukan ke parlemen Inggris dan didedikasikan untuk melawan sensor, perizinan, serta keinginan negara dalam mengendalikan pikiran para penulis. Pidato ini dikenang sebagai babakan sejarah yang memperjuangkan kebebasan berbicara dan berekspresi, terdiri atas 10 bagian dan diterbitkan pada 23 November 1644, di tengah puncak perang saudara. Penamaan Areopagitica sebagai judul diambil dari nama bukit di Athena, yaitu Areopagus, tempat seorang orator Athena, Isokrates, berorasi menghadapi pengadilan legendaris pada abad ke-5 sebelum Masehi.

Areopagitica ibarat tahu betul tabiat rezim terhadap eksistensi buku, karya literasi dan tulisan bergenre lainnya. Pasalnya, karya tulis seperti ini selalu saja berhadapan dengan kekuasaan di hampir semua peradaban. Di masa lalu, pembredelan terhadap harian Sinar Harapan, The Jakarta Times, Majalah Ekspres, majalah Tempo, Tabloid Dëtik, atau Tabloid Monitor adalah sedikit contoh dari pemberangusan kebebasan di Indonesia. Buku-buku pun bernasib sama. Menabur Angin Menuai Badai, Agenda New World Order, atau Nation in Waiting adalah sedikit contohnya.

Karya literasi Adventures of Huckleberry Finn, ditulis oleh Mark Twain, dilarang oleh perpustakaan umum Artikel Baru, Amerika Serikat. The Adventures of Tom Sawyer, juga ditulis oleh Mark Twain, dilarang oleh perpustakaan umum Brooklyn, New York. Perpustakaan umum Denver, Colorado, dan beberapa perpustakaan lain di Amerika Serikat ikut melarang.

Contoh lain, The Age of Reason, ditulis oleh Thomas Paine, dilarang di Britania Raya karena dianggap mengandung penghujatan. Atau komik Adik Baru, terjemahan dari Peter, Ida, und Mum, ditulis oleh Grethe Fagerstrom dan Gunilla Hansson, dilarang di Indonesia. Atau Call of the Wild, ditulis oleh Jack London, dilarang di Italia dan Yugoslavia.

Menulis buku dan karya-karya literasi memang perkara peka. Kekuasaan sering kali bereaksi keras terhadap buku dan literasi yang kritis dan jujur. Pelarangan, penolakan, dan pembredelan bermula dari banyak alasan. Dari penilaian mengganggu ideologi, kekuasaan, keyakinan, hingga alasan moral kelompok penguasa dan kelompok dominan. Ada juga alasan ideologi kelas elite atau kelompok mayoritas. Atau karakter tokoh dan aroma kisah serta keliaran alur dalam karya yang terlarang, yang dianggap merusak selera kelas atas dan etika kelas terdidik.

Ibarat sebuah takdir, buku, literasi, dan tulisan bergenre lain sering diperlakukan melalui sikap yang mendua. Dimotivasi tapi diberangus, diidolakan tapi dibenci. Sesekali diyakini tapi sesekali ditolak. Sesekali diharap tapi sesekali diingkari. Banyak penulis masuk penjara dan tak sedikit menemui ajal.

Hari ini, 23 April, oleh Badan Dunia Bidang Pendidikan, Keilmuan, Dan Kebudayaan, UNESCO, ditetapkan sebagai Hari Buku Internasional. Hari yang dimaksudkan untuk mengapresiasi dan mempromosikan aktivitas membaca, mendorong penerbitan buku, dan menghormati hak cipta. Tapi tanggal ini sekalian tanda duka. Pada tanggal ini, dunia telah ditinggal pergi oleh beberapa pemuka pemikir literasi masa lalu.

Tanggal ini adalah momen berpulangnya Garcilaso de la Vega, penyair sekaligus sejarawan berkebangsaan Spanyol, pada 1616; Miguel de Cervantes, novelis berdarah Madrid; dan William Shakespeare, penyair dan penulis Inggris terkemuka, pada tahun yang sama.

Pun tanggal ini menandai kelahiran Vladimirovich Nabokov, novelis berkebangsaan Rusia pada 1899, Halldór Kiljan Laxness, penyair dan cerpenis kelahiran Islandia pada 1902, dan Maurice Druon, novelis berkebangsaan Prancis, pada 1918, serta Manuel Manuel Mejía Vallejo, jurnalis sekaligus penulis naratif berkebangsaan Kolombia pada 1923.

Pada hari ini dan di tanggal ini, kita pantas menghormati mereka yang berpikiran besar. Mereka adalah pemuka pemikir literasi yang telah berkontribusi terhadap peradaban literasi. Kita sejatinya “belajar membaca kembali” yang pernah kita berangus, yang pernah kita benci, yang pernah kita tolak, dan yang pernah kita ingkari. Mari kita simak pendakuan Barbara W. Tuchman, penulis sekaligus sejarawan berkebangsaan Amerika, “Buku adalah pembawa peradaban. Tanpa buku, sejarah akan membisu”.


Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar , 23 April 2013  


 
Alwy Rachman.