“Pendidikan tinggi sedang diserang”, begitu kalimat pembuka Henry A. Giroux, dalam tulisannya “Beyond The Ivory Tower: Public Intellectuals and the Crisis of Higher Education”, dipublikasi pada tahun 1995. Kampus pendidikan tinggi yang diserang atau berperang adalah kisah yang berfokus pada pertanyaan dasar tentang keabsahan representasi universitas. “Universitas mewakili keperluan siapa dan untuk kepentingan apa?”, kira-kira begitu pertanyaan yang muncul usai membaca uraian Giroux atas krisis yang dibilangkannya menimpa kampus.
“Saling serang” di antara ilmuan sayap kiri (left-wing intellectuals) dan ilmuan sayap kanan (right-wing intellectuals) adalah kisah lama. Debat akademis di kedua sayap ini berpusat pada pola hubungan antara otoritas dan pengetahuan. Itu sebabnya, serangan terhadap kampus-kampus pendidikan tinggi dinilai bermatra lintas ideologi dan lintas profesi. Bagi intelektual sayap kiri, otoritas harus dipersoalkan. Bagi intelektual sayap kanan, otoritas tak jadi masalah.
Salah seorang pesohor ilmuan kiri, Pierre Bourdieu, melalui Homo Academicus yang dipublikasi pada 1984, menggambarkan otoritas sebagai pemilik modal kebudayaan (cultural capital). Tapi, pengetahuan dan kepenguasaan para intelektual kampus juga bagian dari modal kebudayaan. Itu sebabnya, saling mengokupasi antara penguasa dan pemilik modal kebudayaan senantiasa memungkinkan. Isu lain dalam “perang antar akademikus” menyoal tanggung jawab segenap intelektual dalam menciptakan hubungan sosial yang demokratis, dan cara intelektual menghadirkan kultur kritis di kehidupan sosial, ekonomi dan budaya.
Serangan terhadap pendidikan tinggi bersifat lintas ideologi, begitu tambah Giroux. Dengan menukil David Reiff, universitas dianggap sedang “berperang”: perang gagasan. Tapi, perang gagasan di kampus-kampus adalah perang yang kosong, perang di wilayah permukaan, dan tak relevan dengan kebutuhan masyarakatnya. Kultur kampus tak lebih dari “kultur konsumerisme” dan “kultur tontonan”, bukan “kultur curah-gagas” yang memperkuat masyarakat.
Padahal, universitas adalah institusi candradimuka, tempat para intelektual mempraktekkan peran dan aksi pedagogis untuk meredefinisi hubungan politik antara universitas dan masyarakat luas. Sebagai kawasan candradimuka, kampus sejatinya memandang dirinya sebagai benteng moral masyarakat dan juga sebagai ruang sosial politik. Di benteng dan di ruang seperti ini, para sarjana sejatinya memandang dirinya sebagai akademisi profesional, sebagai warga yang pengetahuan dan tindakannya mewakili visi kehidupan publik, menghadirkan visi komunitas dan memangku akuntabilitas moral publik.
Giroux berkehendak mendakukan bahwa akademikus di kampus-kampus bukanlah sarjana yang mendudukkan dirinya secara sepihak sebagai intelektual eksklusif. Akademikus kampus sejatinya tak lain adalah segenap intelektual yang memperkaya konteks demokrasi lokal, memperkuat institusi masyarakat lokal. Caranya adalah mengelola ruang kebebasan, memelihara rasa keadilan, dan menguatkan peran aktor-aktor akademikus: dosen dan mahasiswa.
***
Sebagai menara api, universitas diibaratkan sebagai menara penerang bagi masyarakat. Nyala menara api di kampus-kampus adalah metafor dari nyala peradaban. Kampus adalah the last resort bagi peradaban. Peradaban kampus tak lain adalah kultur “lintas batas”, melampaui segala watak kultur masyarakatnya: kultur suku, kultur kelompok, dan kultur etnik. Mestinya, tak ada ruang untuk kultur dinasti, apalagi oligarki.
Wow… tapi jangan lupa, universitas juga diolok dan disindir sebagai menara gading. Para kritikus membilangkan, di menara ini para akademikus cuma asyik pada kelompoknya sendiri. Di sini, para sarjana tak mengafirmasi dirinya sebagai “suara masyarakat”. Di sini, laku intelektual mirip laku pengecer. “Kampus adalah pusat pengecer ilmu pengetahuan”, begitu wacana sindir di sekitar paruh kedua tahun 1980-an di Indonesia. Dengan aroma yang sama, kritikus pendidikan Amerika menyebut kampus di negerinya sebagai “pusat pasar komoditas”. Bukankah kita sering bilang bahwa pendidikan adalah komoditas?.
Adalah benar, kampus sebagai “pusat pasar komoditas” mengundang kontroversi. Soalnya, di Piagam Hak Azasi Manusia Universal 1948, pendidikan dibilangkan sebagai hak setiap orang dan mestinya dapat diakses secara setara. Tapi, universitas sekarang diselenggarakan mirip bisnis dan mirip pasar. Institusi kampus bekerja sebagai provider sementara mahasiswa sebagai consumer. Lihat saja struktur pembidangan ilmu pengetahuan di kampus-kampus.
Di situ ada “fakultas basah” dan “fakultas kering”. Struktur pembidangan ilmu mirip kekuasaan. Seleksi untuk masuk di “bidang basah” dan “bidang kering” adalah paras kontribusi universitas terhadap kekuasaan. Kampus mengindoktrinasi kekuasaan di situ. Di sana, kapital budaya (cultural capital) untuk kekuasaan direproduksi, begitu kira-kira analisis dan pandangan kritis sang filsuf dan intelektual kiri ini, Pierre Bourdieu.
Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo, Makassar