SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Thursday, July 6, 2017

Takdir-Takdir Kebangsaan

Alwy Rachman

“Sebuah bangsa adalah sebuah Jiwa”
                                  Ernest Renan
 

 Pendakuan Renan di atas diujarkan 190 tahun lampau, jauh sebelum para pemimpin di berbagai kawasan di bumi membentuk negara-negara, akibat revolusi dan perang dunia kedua. Pendakuan “bangsa sebagai jiwa” ini “dikenang”, karena negara-negara yang terbentuk kembali berhadapan dengan “penghayatan” atas akar-akar kebangsaannya masing-masing. Malah, lebih jauh sebelumnya, kitab suci Islam menyebut “bangsa” secara spesifik, “Engkau kujadikan bangsa-bangsa”, bukan “engkau kujadikan negara-negara”.

Setiap bangsa “punya” takdir sendiri, meski serupa tapi tak sama. Ada bangsa yang “ditakdirkan” berusia panjang, ada pula yang ditakdirkan ”punah”. Kebangkitan dan kepunahan bangsa, ibarat situasi dan suasana “jiwa” dalam “tubuh”. “Tubuh” yang miskin, fakir, lapar, sakit, penuh kekerasan, adalah bagian dari kualitas buruk. Di kualitas seperti ini, “sang jiwa” akan merana dan enggan berlama-lama tinggal di “tubuh”. ”Jiwa bangsa” yang ringkih dan meranggas akan pergi meninggalkan “tubuh bangsa” yang berserakan.

Bangsa nyatanya bukan negara. Bangsa dibentuk dan terbentuk melalui jalan panjang “proses kebudayaan”. Negara dibentuk dan terbentuk oleh “proses politik”, proses yang tak sepanjang “kebudayaan”. Itu sebabnya, jatuhnya negara-negara tak sama dengan hancurnya “bangsa-bangsa”. Tapi, punahnya “bangsa-bangsa”, akan meniadakan “negara-negara”. Tak ada “negara” tanpa “bangsa”. Hebatnya, Indonesia mengukuhkan dirinya sebagai “negara-bangsa”.

Jika Ernest Renan mendaku, “bangsa adalah jiwa”, yang ia maksudkan adalah “bangsa ibarat tubuh”. Jadi, entitas “negara” adalah entitas tubuh politik yang “berjiwa”. Pendakuan ini agak berbeda dengan dua pemikir antik --- Plato dan Aristoteles --- yang mendalilkan negara sebagai “enterprise”, semacam “perusahaan bersama” yang semestinya menyelenggarakan “dua keadilan”: keadilan ekonomi dan keadilan sosial. Meskipun beda dengan Renan, dua keadilan ini adalah bagian penting dari cara memelihara “jiwa” bangsa. Tanpa keadilan, “jiwa” bangsa akan merana.

***
Indonesia adalah negeri yang punya tiga “takdir” besar. Takdir pertama adalah “takdir geografi”, yang mengharuskan anak-anak bangsa ini menjalani hidup di luas wilayah yang mencapai lebih 7 juta kilometer per segi, luas perairan lebih dari 5 juta kilometer per segi, dan luas daratan 2 juta kilometer per segi. Posisi “takdir geografi” ini sangat strategis membuat negara-negara lain ikut “berebut pengaruh”. “Takdir geography”, oleh kalangan ahli, disebut “Geography is destiny”.

“Takdir” kedua dibilangkan sebagai “Demography is destiny.” Wajah demografi Indonesia kini dalam “situasi menguntungkan”. Banyak ahli yang bilang, Indonesia hari-hari ini berada pada “situasi keberuntungan” asal saja negeri ini tak lagi terperangkap ke dalam “history of misfortune”, sejarah yang berkali-kali mengabaikan kesempatan yang datang. Dengan kata lain, jika negeri ini abai terhadap pertumbuhan demografi kaum mudanya, Indonesia akan mengalami “bencana sosial”.

“Takdir” ketiga disebut “identity is destiny”. Identitas negeri ini dihidupi oleh lebih dari 300 etnik dan diekspresikan oleh lebih dari 700 bahasa. Suka atau tidak, dengan realitas seperti ini, ibu kandung Indonesia tak lain adalah “multikultural”. Di “takdir multikultural”, setiap etnik telah membentuk “lapisan batu cadas” untuk berdirinya “republik Indonesia”. “Lapisan batu cadas” disebut dalam bahasa Inggris sebagai “bedrock”, bukan “pilar”. Di sana, tertanam dengan kukuh “pengalaman kebudayaan nusantara” yang mesti ditanggung oleh para pemimpin masa kini.

Para pemimpin dan juga para politikus bangsa ini sejatinya tak keluar dari “tiga takdir besar” republik ini. Politik kebangsaan bukan politik yang menggadai “takdir kebangsaan”. Jika kekayaan yang tersimpan pada “takdir geografi” dibiarkan tercuri dan terampas dalam bentuk apa pun, dan jika “takdir demografi” dibiarkan menuju bencana sosial, serta jika “takdir identitas” dibiarkan merana karena ketidakadilan, maka kita akan berada di simpang pertanyaan, apakah kita “membela takdir” atau sedang ‘melawan takdir”?.

“Membela dan merawat takdir kebangsaan” akan memperpanjang “usia kebangsaan”, melawan “takdir kebangsaan” akan “memusnahkan kebangsaan”. “Takdir” bukan cuma soal kesempatan, tapi soal pilihan. Takdir bukan sesuatu yang harus ditunggu, tapi semestinya digapai, begitu ucapan orator sekaligus politikus Amerika, William Jennings Bryan. Kalau toh “takdir” adalah kesempatan, kita seharusnya bukan bangsa yang berkeliling pada lingkaran “history of misfortune”. 


Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar.











 
Alwy Rachman.