SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Friday, February 7, 2020

Khatera-Oedipus: Dua Tragedi

Refleksi atas A Thousand Girls Like Me

Alwy Rachman

K
isah Khatera serupa tapi tak sama dengan kisah Oedipus.  Serupa karena keduanya adalah tragedi. Identik karena keduanya menempatkan tubuh perempuan sebagai lokasi perundungan. Tak beda karena tragedi seperti ini adalah penanda runtuhnya kesepadanan (equity) pada relasi antara perempuan dengan lelaki. Sama karena kedua tragedi ini mencitrakan kuasa tak simetris.
Tak sama karena Khatera diperkosa berulang-ulang oleh ayah kandung; Oedipus justru membunuh ayah kandung lalu meniduri ibunya sendiri. Khatera adalah tragedi kontemporer bagi tak sedikit gadis Afgan; Oedipus adalah tragedi mitologi Yunani masa lampau, menjadi rujukan bagi pencarian banyak ilmuan tentang moral individu dan moral kekuasaan. Ringkasnya, Khatera adalah fakta keras kontemporer sementara Oedipus adalah proyeksi mitologi atas jatuhnya moral manusia.
Khatera-Oedipus adalah dua tragedi berjarak panjang. Kemunculannya berada di bentang waktu ribuan tahun. Lokus kejadiannya pun di dua kawasan dan tradisi tak serupa. Meski demikian, dimensi waktu, lokasi dan tradisi menjadi rampat tak berbekas, kecuali pergulatan budi pekerti manusia atas apa yang disebut tragedi. Tragedi.
Khatera-Oedipus bukan ironi, apalagi satire. Keduanya bukan kisah simulasi yang berisi kepura-puraan. Pun keduanya bukan campur sari puitik lelucon. Diperkosa oleh ayah kandung secara berulang-ulang, membunuh ayah sendiri lalu meniduri ibu kandung, lebih layak dibilangkan sebagai drama panggung di tubuh perempuan. Tubuh perempuan sebagai pentas telah menebas batas antara fakta dan mitos. Mitos bisa menjadi fakta; Fakta bisa dirujuk pada mitos.
***
Khatera-Oedipus, kisah serupa tapi tak sama, sama-sama mengancam institusi keluarga. Penamaan peran institusional dalam keluarga --- sebagai ayah, ibu, anak, saudara --- menjadi berkeping-keping, kehilangan nilai-nilai yang mengatur pola hubungan, dan meninggalkan kekacauan moral. Kita sukar membayangkan Kathera melahirkan dua anak yang tak lain adalah saudaranya sendiri. Pun kita sulit berimajinasi sosok Oedipus menjadi suami yang tak lain ibu kandungnya sendiri. Bayang dan imajinasi seperti ini menandai peringatan keras bahwa keluarga sama sekali bukanlah tempat yang benar-benar aman.
Bahasa Inggris menyebut kata “keluarga” sebagai “family”. Semantik “family” berakar pada khazanah bahasa Latin: “famulus”, “familia”. Keduanya bermakna “household servants”, yaitu “pembantu rumah tangga”. Peran institusional sebagai ayah, ibu, anak, saudara, dengan demikian, sesungguhnya adalah peran “pembantu rumah tangga”. Masing-masing kita tak lain adalah pembantu keluarga. Kekacauan peran --- “ayah kandung menjadi suami”, “anak menjadi suami”, “saudara menjadi anak” --- akan menempatkan institusi keluarga sebagai pusat anarki, tanpa tatanan.
Secara socio-psikologis, dalam keadaan normal, perempuan dengan anak-anaknya adalah hubungan yang terbangun secara intim. Dunia ibu-anak dibilangkan sebagai “dunia ringkas dan mungil”, dunia yang berisi kepengasuhan bagi anak-anak. Di dunia seperti ini, anak-anak memulai literasi peradaban. Nyaris semua manusia melewati dunia ini sebelum dewasa menuju masyarakat lebih luas. Lihatlah cara Khatera mengasuh anak-anaknya meski ia sadar bahwa anak-anaknya itu adalah saudaranya sendiri: tanpa kebencian, tanpa amarah. Cerna pula sikap ibu kandung Khatera: tanpa amarah, tanpa kebencian terhadap Khatera.
Dunia intim --- dunia ibu-anak --- akan terampas oleh kekerasan seksual. Kekerasan seksual di antara  “para pembantu rumah tangga” (family), akan menghancurkan struktur, pola, relasi beserta segenap nilai-nilai yang menyertainya: Tragedi. Dengan alasan ini pula, bisa dimengerti mengapa Negara Perancis mengubah posisi Khatera dan anak-anaknya menjadi “migran” yang mesti difasilitasi untuk keluar dari Afganistan. Bisa juga dimengerti mengapa Mitos Tragedi Oedipus menjadi pusat kajian moral secara kritis oleh banyak kalangan ilmuan dan filsuf secara transdisiplin.  
***
Khatera-Oedipus memang sejatinya didudukkan ke dalam “arena publik”, bukan dalam pengertian “sekumpulan orang banyak”, tetapi publik sebagai arena atau wadah untuk membincang,  memperjuangkan, dan menyelenggarakan keadilan. Tragedi Khatera, melalui media televisi, tak lagi bisa disembunyikan di lipatan-lipatan anarki keluarga. Tragedi Oedipus, melalui media panggung, telah menyadarkan manusia atas proyeksi kerusakan fundamental institusi keluarga akibat kekerasan seksual. Tradisi Yunani masa lalu memang tradisi panggung. Panggung, sebelum teknologi media berkembang, dijadikan arena untuk membangkitkan kemawasan publik dan untuk mengisi pengetahuan publik.
Di hampir semua tradisi, menerima kenyataan Khatera sebagai ibu dari saudaranya sendiri nyaris tak mungkin. Proyeksi Oedipus sebagai suami dari ibu kandungnya sendiri tak berada di akal sehat. Khatera berada di dua pilihan problematik: pro life atau pro moral. Pro Life berdiri di atas argumen bahwa hidup adalah segala-galanya. Pro Moral berpendirian bahwa hidup tak bermoral harus diakhiri.
Khatera, pada akhirnya, memilih pro life setelah mengakhiri --- menggugurkan --- dua kandungan (pro moral?).  Atau, mungkin di batin Khatera, pro life yang dipilihnya toh didasari pada moral kepengasuhan, bagian dari pro moral.  Khatera memilih pro life secara jujur: ia bilang akan menyampaikan tragedi ini pada kedua anaknya kelak setelah dewasa. Oedipus tetap tak terselesaikan. Oedipus tetap menjadi tragedi abadi, wadah bagi manusia terpelajar untuk tetap mawas terhadap kejatuhan moral manusia. Mari kita belajar dari tragedi.
    
Makassar, 28 November 2018.

No comments:

Post a Comment

 
Alwy Rachman.