SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Wednesday, August 26, 2009

SASTRA 'PASENG'

Anwar Ibrahim

(1)

Karya sastra ‘tradisi’ lisan, seperti sastra paseng orang Bugis, yang tumbuh dari rahim budaya masyarakat dan diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi, tidak dapat dipandang terlepas dari konteks budaya pemilik tradisi lisan itu. Bahkan, sejumlah pakar sastra ‘modern’ seperti Rene Wellek, Teeuw, dll. beranggapan bahwa karya sastra modern pun cenderung dapat dianggap demikian. Mereka mengemukakan bahwa karya sastra tidaklah lahir dari kevakuman budaya. Antropolog dan ahli folklore, Alan Dundes mempelajari karya sastra tradisional yang disebutnya sastra rakyat sebagai bagian dari studi folklore, tidak terlepas dari konteks budayanya. David Bidney, yang dikutip Makhan Jha, menggolongkan sastra ‘tradisi’ lisan itu dalam kelompok menti-facts; sebagai salah satu di antara empat ‘facts’ yang harus dipelajari dalam studi kebudayaan. Tiga ‘facts’ lainnya adalah socio-facts, arti-facts, dan agro-facts.

Sastra ‘tradisi’ lisan itu dipandang sebagai sesuatu yang fungsional dalam kehidupan kultural masyarakat. William Bascom, seorang Antropolog, dalam esainya “Four Function of Folklore”, (dimuat dalam Study of Foklore yang disunting Dundes), mengemukakan empat fungsi folklore, yaitu a) sebagai sistem projeksi, b) sebagai alat pengesahan pranata dan ritual-ritual, c) sebagai alat pendidikan, dan d) sebagai alat pemaksa agar nilai-nilai dan norma-norma ditaati.

Telaah sosiologi sastra yang berkembang pun bertumbuh dari anggapan bahwa karya sastra tidak dapat dipisahkan dari konteks kehidupan sosial masyarakat, tempat karya itu dilahirkan. Di Indonesia, selain telaah sosiologi sastra tumbuh pula ‘aliran’ kajian sastra kontekstual yang dalam pengkajiannya senantiasa mengaitkan karya sastra dengan konteks sosialnya.

Boggart melangkah lebih jauh, memperkenalkan pendekatan yang disebutnya literary cultural analysis yang berusaha memahami karya sastra dengan mengkaji pula konteks budayanya. Boggart menyebutkan istilah ‘reading for tone’, dan ‘reading for value’ sebagai langkah awal untuk menemukan dan mengungkapkan nilai-nilai yang tersirat di dalam karya sastra. Langkah yang disarankan Boggart kemudian adalah berusaha memperoleh pengertian mengenai konteks kultural dengan bantuan ilmu lain, seperti antropologi, sejarah, ilmu agama, bahkan filsafat.

(2)

Sastra paseng adalah pesan-pesan atau wasiat orang-orang tua yang disampaikan turun temurun secara lisan dan literer dari generasi ke generasi. Ia merupakan hasil dari pengalaman luas dan penghayatan dalam mengenai hakikat kehidupan manusia. Sastra paseng merupakan suatu genre karya sastra yang lahir: 1) dari rahim budaya dan diwariskan turun temurun dalam masyarakat, 2) sebagai bentuk pengekspresian nilai budaya masyarakatnya; 3) mengemban fungsi-fungsi pemeliharaan dan pewarisan nilai-nilai budaya dan 4) merupakan pemaduan dan intipati watak peradaban masyarakatnya. Dari bentuk penyampaiannya, paseng dapat digolongkan dalam dua kelompok, yaitu paseng berbentuk puisi, dan paseng berbentuk prosa. Paseng berbentuk prosa menggunakan bahasa dengan makna denotatif yang secara langsung mengemukakan isi pesan atau wasiat itu. Paseng prosais umumnya disampaikan seseorang yang memiliki otoritas: orang bijaksana, cerdik cendekiawan, atau orang tua yang memiliki pengalaman dan wawasan yang luas mengenai hakikat makna kehidupan. Paseng jenis ini biasanya singkat dan mudah dipahami. Sebagai contoh dikemukakan di bawah ini:

a. Paseng Mengenai Lima Pegangan Hidup

Uwappasengenngi makkatenning ri limaé akkatenningeng:
Mammulanna, ada tongenngé,
Maduana, lempuk-é,
Matellunna, gettenngé,
Maeppakna, sipakataué,
Malimanna, mappesonaé ri pawinruk séuwaé,

Aku memesankan berpegang pada lima pegangan:
Pertama, perkataan yang benar,
Kedua, kejujuran,
Ketiga, keteguhan pada keyakinan,
Keempat, saling menghargai sesama manusia,
Kelima, berserah diri kepada Pencipta yang tunggal.


b. Paseng Ramalan Keadaan

Engka séuwa wettu
Napolé sosarak marajaé
Muttamakikl ri alek-é, nasopék-sopékkik macang
Nonnokkik ri salok-é, naemmekkik buaja
Naiyami salamak
Masobbué di padang tajanngé, makkatenning ri cinagurié

Ada suatu masa
Akan terjadi prahara besar
Kita masuk ke hutan, dicabik-cabik macan
Kita turun ke sungai, ditelan buaya.
Yang selamat hanyalah
Yang bersembunyi di padang terang
Berpegang pada pohon cinaguri.


c. Paseng Ramalan Mengenai Perilaku Manusia

Engka séuwa wettu narirapik
Polé ri timunna tauwé massuk ada-ada alusuk na patuju
Takkajennek maneng tauwé, nakkacoék, naiyakiya
Barangkauk pangkaukanna pappada ulak-é,
Macanngé, na lebbipa koritu,
Sabak nanré muwisa inanna, amanna, silessurenna, anakna;
Élok cinnana naturusi, napopuang.
Lisusikik sianré balé.

Akan terjadi pada suatu waktu, ditemukan
Keluar dari mulut kata-kata halus dan berguna
Orang-orang terlena dan menjadi pengikut, tapi
Perbuatan dan perilaku bagaikan ular
Atau macan, bahkan lebih dari itu
Ia akan memangsa ayah, ibu, saudara, dan anaknya sendiri
Nafsu keinginan dan kepentinganlah yang dipertuhan.
Kita akan kembali saling memangsa bagaikan ikan.


Selain itu terdapat pula paseng yang berbentuk dialog, misalnya dialog antara cerdik cendekiawan kerajaan Bone, La Mellong Kajaolaliddo dengan Raja Bone, yang berisi wejangan dan nasihat kepada Raja Bone mengenai cara-cara mengatur negara dan pemerintahan; dialog antara Maccaé ri Luwu (cerdik cendekiawan dari Luwu) dengan calon Datu Soppeng, La Basok To Akkarangeng, yang berisi wejangan mengenai tata cara pengaturan negara, penegakan hukum, dan cara memerintah orang Soppeng. Dalam paseng-paseng tersebut, tercermin dengan jelas nilai-nilai utama budaya orang Bugis, yang dianggap sebagai pedoman dalam kehidupan kulturalnya. Paseng jenis ini sebagian telah ditulis di dalam lontarak dan menggunakan aksara lontarak orang-orang Bugis.

(3)

Puisi paseng dalam kesusastraan orang Bugis, adalah pesan atau wasiat orang-orang tua yang diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi dalam bentuk puitik. Paseng puitis atau sebutlah puisi paseng umumnya dikemukakan secara singkat dan padat. Makna setiap kata yang digunakan memerlukan pengungkapan lebih lanjut. Di bawah ini dipilih untuk dibahas satu puisi paseng, beserta konteks sosial budayanya, sebagai contoh:

Sadda mappabbati ada,
Ada mappabbati gauk,
Gauk mappannessa tau.

Temmettok nawa-nawa majak
Tellessuk ada-ada bellé
Teppugauk gauk macéko
Temmakkatuna ri padanna Tau
Tettakkalupa ri apoléngenna
.

Suara mewujudkan kata,
Kata mewujudkan perbuatan,
Perbuatan membuktikan manusia.

Tak membersitkan pikiran jahat
Tak mengeluarkan kata dusta
Tak melakukan perbuatan culas
Tak menghinakan sesama manusia
Tak melupakan asal kedatangan (pencipta)-nya.


[Sumber: Matowa Ujung Coa (berusia 110 tahun ketika meninggal) tahun 1972]

Pemiliknya menganggap paseng ini sakral. Ia menurunkannya kepada anak cucunya, setelah ia merasa telah berada di ujung perjalanan hidupnya. Alasannya jelas. Ia menjadikan paseng ini sebagai ‘pakaian kelaki-lakian’, serta kuatir anak cucunya yang belum matang menyalahgunakannya.

Pada bait pertama terdapat kata kunci, sadda, yang secara denotatif berarti ‘suara’. Namun, kata sadda dalam puisi paseng ini, memiliki dimensi religius, yaitu ‘suara yang dibisikkan sang Pencipta ke dalam hati manusia’, sejenis firman dalam terminologi agama. Kata sadda dalam puisi paseng ini, memiliki konteks religius dalam budaya masyarakat Bugis, baik sebelum maupun setelah masuknya agama Islam. Ia merupakan salah satu kata kunci dalam ilmu kebatinan Bugis yang disebut pappéjeppu atau ilmu makrifat. Penuntut ilmu pappéjeppu percaya, bahwa sadda berasal dari sang Pencipta, disebut saddanna pawinruk-é’ (suara sang Pencipta). Oleh karenanya, sadda dianggap memiliki kualitas sakral. Walaupun semua manusia memiliki aparatus yang dapat menerima sadda, yaitu ati macinnong atau hati nurani, namun tidak semua orang mampu menerima sadda yang sakral tersebut.

Dalam ilmu pappéjeppu disebutkan, ada dua hal yang diturunkan sang Pencipta kepada manusia, yaitu tajang (cahaya, nur) dan sadda. Keduanya hanya dapat diterima ati macinnong. Akal pikiran tidak mampu menerimanya secara sempurna, seperti diungkap dalam puisi Bugis:

Sellukkak ri alek kabo,
Pusa nawa-nawa,
Ati mallolongang

Menyuruk aku di hutan belantara,
Akal pikiran tersesat,
Nuranilah menemukan jalan

Ati macinnong dipercaya sebagai aparatus dalam diri manusia yang suci murni sehingga ia mampu menerima nilai sakral yang berasal dari sang Pencipta. Ilmu papéjeppu menyebutkan bahwa ati macinnong tidak pernah berdusta. Mulut dapat berdusta, akan tetapi ati macinnong akan mengingkari kedustaan mulut. Iapun tidak dapat didustai. Oleh karena sifat murninya, maka hanya hati nuranilah yang mampu menemukan yang mallinrung atau yang gaib, yang rahasia serta yang mampu menerima kebenaran. Dipercaya oleh penuntut ilmu papéjeppu bahwa ‘yang rahasia, kebenaran’ berada di balik yang tampak wujud, yang tallé. Materi yang tallé apalagi bila dipandang oleh mata yang terbelit keinginan dan kepentingan, bukanlah kebenaran yang sesungguhnya. Ia hanya kebenaran tipuan. Akan tetapi, kejernihan dan kemurnian ati macinnong dapat tertutupi oleh sesuatu yang bernama élok cinna, atau keinginan, nafsu dan kepentingan.

Makanya, dalam rangkaian paseng tersebut disebutkan pula faktor pendorong dalam diri manusia sehingga mengucapkan kata-kata dusta, ada bellé, yaitu: maraja cinna na makurang pétannga, maloppo élok na mapélloreng, terlalu besar keinginan dan kurang pertimbangan, terlalu besar kemauan dan pengecut. Disebutkan pula bahwa orang yang sering mengumbar kedustaan adalah orang “pintar dan licik, berani dan sewenang-wenang, serta kaya dan rakus”, atau maccai na mabulusuk, waraniwi na maggauk bawang, sugik-i na mangowa. “Orang berani tetapi pendusta sesungguhnya adalah pengecut”, tau warani na pabbelléng, to mapélolloreng muwa ritu.

Sadda yang diterima ati macinnong itulah yang dipesankan untuk dijelmakan atau diwujudkan sebagai ‘ada’, kata atau ucapan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena ada (kata) adalah perwujudan saddanna pawinruk-é, maka kata-kata yang terlontar dari mulut adalah kata-kata yang benar atau disebut dalam paseng sebagai ada tongeng. Kata-kata benar itu pun harus terwujud dalam perbuatan, sesuai ungkapan puitik ‘toddokpuli temmapettu, taro ada, taro gauk’ (tekad bulat, tak terputus, menaruh kata, menaruh perbuatan). Mewujudkan sadda ke dalam kata, dan mewujudkan kata ke dalam perbuatan itulah yang membuktikan seseorang sebagai manusia.

Bait kedua puisi paseng tersebut merupakan uraian penjelas bait pertama. Seseorang yang memelihara hati nuraninya agar tidak tertutupi élok cinna sehingga dapat menerima saddanna pawinruk-é, akan mampu membuktikan dirinya sebagai manusia, dengan mengamalkan sifat-sifat dan perilaku seperti yang tercermin pada bait kedua puisi ini, yaitu:

  • Temmettok nawa-nawa majak, tak membersitkan pikiran jahat. Dalam kehidupannya sehari-hari, bergaul dan berinteraksi dengan sesamanya, manusia itu tidak pernah membersitkan pikiran melakukan perbuatan jahat, terhadap orang lain;
  • Tellessuk ada-ada bellé, tak mengucapkan kata-kata dusta;
  • Teppugauk gauk macéko, tak melakukan perbuatan culas;
  • Temmakatuna ri padanna tau, tak menghinakan sesama manusia;
  • Tettakkalupa riapoléngenna, tak melupakan asal kedatanagan (pencipta)-nya.

Seseorang yang mewujudkan isi paseng ini dalam kehidupannya disebut sebagai manusia yang memelihara martabat dan harga dirinya atau memelihara sirik di dalam dirinya. Profil manusia seperti itulah yang disebut sebagai tau tongeng-tongeng, manusia yang sesungguhnya manusia. Dalam ilmu pappéjeppu, manusia seperti itulah yang memiliki kompetensi:

massadda tenribali,
mappau tenrisuppa,
maggauk tenriéwa,
tuwo lolang tenrigangka’

bersuara tak terlawan,
berkata-kata tak terbantah,
berbuat tak terlawan,
hidup ke sana ke mari tak terukur.

Kompetensi yang terkandung dalam ilmu pappéjeppu seperti itulah yang dicari manusia Bugis yang berusaha menjadi orang perkasa, to maseggek, yang dilengkapi dengan mantra kelaki-lakian, seperti:

Iyak lawarapang tau pomataénngi essoé,
Powatanngénngi maégaé lima,
kuilek malluruk
Rupakku esso mattappa’
La Makkatutu asenna tudanngé ri tau-tau matakku

Aku bagaikan manusia bermatakan matahari,
Dengan kekuatan tubuh dengan lengan banyak.
Kumenatap lurus tajam,
Wajahku matahari bersinar,
Si berhati-hati namanya yang bertahta di biji mataku.


Kompetensinya dicari untuk menjadi to maseggek, sehingga paseng di atas dianggasp sakral dan dijadikamn ‘pakaian kelaki-lakian’, namun seringkali melupakan atau tidak mewujudkan substansi paseng yang sebenarnya.

(4)

Puisi paseng yang diuraikan di atas sesungguhnya memiliki makna yang sama dengan paseng prosa yang disebutkan pertama di atas, yang memesankan untuk berpegang pada lima pegangan. Bila dalam paseng prosa disebutkan lima pegangan: adatongeng (berkata-kata benar), lempuk (kejujuran), getteng (konsistensi, tegas dan teguh pada prinsip), sipakatau (saling memanusiakan), dan mappésona ri pawinruk séuwaé (berserah diri pada Sang Pencipta yang Esa), maka dalam puisi paseng disebutkan: tak membersitkan pikiran jahat, tak mengucapkan kata dusta, tak melakukan perbuatan culas, tak menghinakan sesama manusia, dan tak melupakan penciptanya.

Puisi paseng tersebut memiliki hubungan kontekstual dengan paseng prosais dari Petta Matinroé ri Lariangbanngi yang berupa ramalan mengenai perilaku manusia: Polé ri timunna tauwé massuk ada-ada alusuk na patuju ..... Barangkauk pangkaukanna pappada ulak-é, macanngé, na lebbipa koritu, (Keluar dari mulut kata-kata halus dan berguna .... Perbuatan dan perilaku bagaikan ular, atau macan, bahkan lebih dari itu...).

Makna yang terkandung dalam puisi paseng tersebut memiliki pula hubungan kontekstual dengan pemikiran para to acca, cendekiawan Bugis masa lalu, seperti cendekiawan Bugis akhir abad ke-15, Kajaolaliddo, dan Arung Bila pada awal abad ke-16, yang menyebut nilai-nilai tersebut sebagai paramata mattappa (permata bersinar) dalam kehidupan manusia. Ia dianggap sebagai nilai-nilai dasar yang ideal dalam kehidupan kultural orang-orang Bugis.

Bila diamati secara saksama, nilai-nilai dasar itulah yang diterjemahkan dan diimplementasikan dalam panngadereng (sistem budaya) yang meliputi norma-norma, aturan-aturan, dan adat istiadat orang Bugis. Panngadereng itu meliputi:

  • adek (adat dan tatacara kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara);
  • bicara (hukum);
  • rapang (sejenis jurisprudensi, atau keputusan-keputusan hukum yang pernah dilaksanakan dalam kerajaan atau oleh kerajaan lain yang dijadikan perumpamaan atau ibarat dalam pelaksanaan hukum), dan
  • warik (aturan yang menetapkan klasifikasi dan peringkat-peringkat manusia dan barang, serta aturan protokoler dalam kehidupan bernegara).

Keseluruhan ayat-ayat dalam panngadereng dapat ditemukan akar dan hubungan kontekstualnya dengan lima nilai dasar ideal yang tercakup dalam puisi paseng di atas. Oleh karena itulah, dalam pemilihan dan penetapan seseorang untuk menjadi raja, misalnya, diadatkan persyaratan bahwa track record seseorang yang akan dipilih dan ditetapkan itu, telah menunjukkan pembuktian diri sebagai manusia sesungguhnya, tau tongeng-tongeng, yang tercermin dalam ungkatan kata dan perbuatannya. La Katak dari Pinrang mengungkapkan paseng dalam konteks ini:

Ikkeng warisik-é, jiji-bémpai aléta, nattannga laéga. Nigi-nigi paccolli awwara, palorong worokkaju, papolé asaléwangeng, sanrék riluruk unga panasaé, tettong ri tajanngé, mappésabbi ri mappancajié, iyana maka mancaji pangulu wawang, porépok-I la baiccuk.

(Sumber informasi: La Katak, 73, Paleteang, tahun 1979)

Kalian para pewaris, berbaris berbanjarlah kalian, agar si orang banyak dapat memandang. Barang siapa yang menguncupkan tetanaman, menjalarkan tumbuh-tumbuhan, mendatangkan ketenteraman, berdasar pada kebenaran, berdiri di tempat terang, mempersaksikan diri pada sang Pencipta, maka dialah yang berhak menjadi pemimpin, menata kehidupan si kecil.

Track record dan kata-kata seseorang itu telah terbukti dapat dipegang dan dipercaya; kejujurannya sungguh terjamin; konsistensi, keteguhan, serta ketegasannya dapat dipertanggungjawabkan; penghargaannya kepada manusia, serta ketakwaan kepada penciptanya terwujud dalam perbuatan dan perilaku kehidupan sehari-harinya, maka itulah yang disebut ‘manusia sesungguhnya’ atau tau tongeng-tongeng, yang layak dijadikan panutan dan pemimpin, atau pangulu wawang. Secara historik dapat dibuktikan:

  • Sawerigading, putra mahkota kerajaan Luwu, seorang pemberani, maddara takkuk atau berdarah murni turunan tomanurung, ditolak Dewan Adat untuk menjadi Datu kerajaan Luwu karena Sawerigading terbukti tidak menepati janji, sumpah atau kata-kata yang telah diucapkannya. Sawérigading bersumpah untuk tidak kembali lagi ke Tana Luwu karena tidak diizinkan mengawini saudara kembarnya, namun ternyata kemudian dia kembali juga ke Tana Luwu.

  • Raja Bone, La Inca Matinroé ri Addénénna, divonis hukuman mati oleh Dewan Adat karena melakukan kesewenang-wenangan kepada rakyatnya;

  • Raja Wajo bergelar Batara Wajo ke-3 dihukum mati oleh Dewan Adat kerajaan Wajo karena keserakahan dan kesewenang-wenangannya.

Oleh karena ketaatan pada nilai-nilai dan panngadereng itu pulalah yang menyebabkan Datu Soppeng La Basok To Akkarangeng melakukan persidangan mengadili dan menjatuhkan hukuman kepada dirinya sendiri, karena telah menemukan, memungut, dan menyimpan satu pundi-pundi yang lupa diserahkannya kepada yang berhak.

Tidak kurang dari 20 orang raja dan datu dari kerajaan-kerajaan di daerah Bugis yang telah dihukum mati, diturunkan dari tahta, diasingkan ke negeri lain dan tidak diizinkan pulang kembali ke negerinya (ripaoppangi tana) karena perbuatan dan perilakunya tidak sesuai atau bertentangan dengan nilai-nilai dasar ideal yang tertuang dalam panngadereng.

Panngadereng, hukum dan aturan, yang berdasar pada nilai-nilai dasar yang bersumber dari saddanna pawinruk-é itu dipercaya sebagai sesuatu yang sakral sehingga wajib dijalankan. Kelalaian melaksanakannya akan memperoleh ganjaran dari pawinruk-é, sang Pencipta, berupa bencana, baik bencana alam seperti kemarau panjang, gagal panen, gempa bumi, tanah longsor, banjir, wabah penyakit menular dan semacamnya, maupun bencana akibat perbuatan manusia, misalnya perselisihan, konflik, dan peperangan. Pelaksanaan hukum senantiasa berada di bawah tilikan pengawasan sang Pencipta.

Puisi paseng merupakan salah satu bentuk pengekspresian nilai-nilai budaya orang Bugis yang dalam suatu kurun waktu panjang telah berfungsi sebagai media pendidikan, menanamkan nilai-nilai yang turut membentuk kepribadian orang Bugis.

Puisi itu memiliki hubungan kontekstual dengan aspek-aspek kehidupan sosiokultural masyarakat, dengan sistem budaya atau panngadereng yang menata kehidupan kekeluargaan, kemasyarakatan dan kenegaraan.


Bahan Bacaan
Abidin, Andi Zainal, 1999a, Kapita Selecta Kebudayaan Sulawesi Selatan, Hasanuddin University Press, Ujung Pandang


Abdin, Andi Zainal, 1999b, Kapita Selecta Sejarah Sulawesi Selatan, Hasanuddin University Press, Ujung Pandang

Abu Hamid, H. 2002. Budaya Politik dan Kepempinan di Sulawesi Selatan. (Makalah). Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Sulawesi Selatan. Makassar.

Abu Hamid, H. 2004. PASOMPEK, Pengembaraan Orang Bugis. Pustaka Refleksi. Makassar.

Ammarel, Gene. 2004. Sistem Navigasi Bugis Makassar. Hasanuddin University Press, Makassar.

Boggart, Richard. 1979. Contemporary Cultural Studies. An Approach to the Study of Literature and Society. Startford-Upon-Avon Studies, Edward Arnold (Publishers) Ltd. London

Dundes, Alan, 1965. The Study of Folklore. Prentice Hall, Inc., Englewood, N.J.

Errington, S., 1977. Sirik, Darah dan Kekuasaan Politik di dalam Kerajaan Luwu Zaman Dahulu. Bingkisan Budaya Sulawesi Selatan. Tahun 1(2) September, 40-62. Ujung Pandang.

Jha, Makhan, 2003, An Introduction to Social Anthropology (Second Revised Edition), Vikas Publishing House PVT LTD, India

Manyambeang, A. Kadir, dkk., 1988, Jiwa Laut Dalam Sastra Makassar, Lembaga Penelitian Unhas, Ujung Pandang

Marzuki, Laica, 1995, SIRIK, Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makassar, Hasanuddin University Press, Ujung Pandang (Makassar)

Matthes, B.F, 1872, Boegeenesche Chrestomatie, Amsterdam, C.A. Spin & Zoom

Matthes, B.F. 1864, Boegeenesche en Macassarsche Poezie, C.A. Spin & Zoom, Amsterdam

Mattulada. 1995. LATOA, Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, Hasanuddin University Press, Ujung Pandang

Mukhlis. (ed.) 1986. Dinamika Bugis Makassar. Diterbitkan untuk Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial PLPIIS-YIIS. Makassar.

Rahim, A. Rahman, 1985, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis. Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin: Ujung Pandang

Wellek, R. dan Austin Warren, 1989. Teori Kesusastraan (terj. Melani Budianta). PT. Gramedia. Jakarta




 
Alwy Rachman.