SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Sunday, August 23, 2009

TRADISI SUAP, AKSELERATOR PENGHANCURAN NEGARA

Anwar Ibrahim

Dua Legenda
Ada legenda negeri Cina mengenai seorang kaisar dari dinasti Tang, Li Shin Minh namanya, yang menyuap Raja Akherat. Kaisar Li meninggal sebelum saat ajalnya, akibat pembalasan dendam raja naga. Ketika arwah Kaisar Li dibawa ke akherat, petugas kelabakan. Menurut catatan, ajal kaisar masih beberapa tahun lagi. Masalahnya sampai ke Raja Akherat, Giam Ong.

Setelah terjadi dialog antara arwah Kaisar Li dengan Giam Ong disepakati, kaisar dihidupkan dan arwahnya dikembalikan ke dunia. Sebelum kembali ke dunia, kaisar berbisik-bisik menanyakan kepada petugas akherat: Apa gerangan kesukaan Raja Akherat Giam Ong. Jawabannya, Raja Giam Ong paling doyan buah semangka. Setiba di dunia, kaisar mencari semangka paling besar dan paling manis untuk dikirim kepada Giam Ong.

Masalahnya, siapa yang mengantar semangka itu kepada Giam Ong. Artinya siapa yang bersedia mati? Ditemukanlah seorang pemuda yang sedang patah hati dan hendak bunuh diri. Pemuda itulah yang ‘ditugaskan’ kaisar membawa semangka penyuapan itu, dengan cara memeluk semangka lalu bunuh diri. Konon, Raja Akherat sangat senang dengan persembahan itu. Jadilah suatu tradisi, setiap orang Cina yang meninggal dunia, dikuburkan bersama semangka. Demikian tertulis dalam ‘Introduction to Classic Chinese Literature’. Buah semangka itu menjadi semacam sogokan kepada Raja Akherat.

Dalam buku ‘Introduction to Classic Chinese Literature’, ada pula legenda lain mengenai seorang hakim yang tegas dan teguh menjalankan profesinya, menegakkan hukum. Namanya Bao Minh. Hakim Bao sungguh-sungguh tidak pandang bulu. Para penjahat, apakah dia orang biasa, pejabat daerah, menteri, keluarga menteri, bahkan keluarga kaisar sekalipun dihukum sesuai kesalahannya dan dieksekusi di bawah komandonya. Pedang simbol kekuatan dan kekuasaan dewanya sangat ditakuti.

Hakim berwajah hitam dan kurang tampan tetapi berwibawa ini menjadi simbol budaya Cina tentang hakim yang teguh, tegas, dan sungguh-sungguh menjalankan prinsip hukum, seorang hakim yang tidak mungkin disuap serta tidak mempan ancaman dan teror. Hakim Bao adalah simbol peradilan jujur, tegas. Teguh, dan berwibawa.

Di negeri yang memiliki tradisi menyuap Raja Akherat dengan semangka, tampil seorang hakim yang tak tergoda segala macam godaan suap, tekanan, dan teror. Bahkan ketika mengadili seorang kerabat kaisar, Hakim Bao akan disuap tetapi tidak mempan. Iapun ditekan dan diteror kaki tangan kerabat kaisar yang korup itu. Hakim Bao tidak bergeming. Ketika mengetahui hal itu, kaisar akan turun tangan. Namun ketika Hakim Bao mengangkat pedangnya sambil membuktikan kesalahan kerabat kaisar itu, maka sang kaisar pun angkat tangan, menyerah, lalu memerintahkan Hakim Bao melaksanakan eksekusi.

Suap dan Kejujuran Hakim versi Bugis Makassar

Bukan hanya di negeri Cina dikenal istilah suap. Juga bukan hanya di negeri Cina terdapat legenda mengenai hakim jujur, teguh dan tegas. Di negeri Bugis, pada abad ke-16 Kajaolaliddo dari Bone mengungkapkan, salah satu tanda kehancuran suatu negara ialah bila hakim menerima suap, malai passosok pabbicaraé, atau naénréki waramparang to mabbicaraé. Karena itu bila seorang hakim, pabbicara, menerima suap, iapun akan dihukum tujuh kali lipat dibanding dengan pejabat biasa yang menerima suap.

Dari Addatuang Sidenreng dikenal hakim, Nénék Mallomo, dan dari Kerajaan Balannipa Mandar, dikenal seorang Ketua para hakim, Pabbicara Kaiyyang. Keduanya dengan sikapnya yang tegas dan teguh berpegang pada prinsip hukum (panngadereng), menghukum mati anak kandungnya sendiri. Dari Kerajaan Soppeng, Datu La Basok Toakkarangeng memimpin persidangan yang mengadili, menghukum, dan mengeksekusi La Basok Toakkarangeng (dirinya sendiri). Dari Kerajaan Tosiwalu, dikenal Hakim perempuan, I Tenribali yang menjatuhkan vonis mati kepada adik kandungnya sendiri.

Akan tetapi di daerah Bugis Makasar terdapat pula cerita rakyat yang menunjukkan indikasi terjadinya penyuapan. Dalam suatu cerita rakyat Mandar dikisahkan seorang ‘raja kecil’ yang menerima suap dari seorang ‘pemalas’ yang berhasil menjadi kaya berkat kelicikannya setelah mendapat nasihat dari raja kecil itu. Cerita itu seperti berikut:
Pada suatu kampung di negeri Mandar hidup seorang anak muda yang licik dan pemalas, Aco namanya. Ketika Aco melintas di depan rumah maraddia atau ‘raja’ kecil di kampung itu, Aco ditegur. “He Aco, mengapa kau selalu bermalas-malasan, tidak mau bekerja. Kalau kau tetap seperti itu, saya akan mengusirmu dari kampung. Si Aco hanya menunduk, kemudian menjawab singkat “Iyék puanngu”. Sang Raja kecil berkata lagi: “Kampung kita ini luas dan subur. Apa saja yang ditanam pasti tumbuh dengan hasil besar”. Sekali lagi Aco menjawab “Iyék puanngu”.

Setelah itu, Aco berpikir. Di kampung sebelah ada tempat pemotongan kambing. Ke sanalah Aco pergi, mengumpulkan kaki kambing yang sudah dipotong. Puluhan kaki kambing dibawanya pulang ke kampungnya. Kaki kambing itu kemudian dibawa untuk ditanam di kebunnya. Setelah menanam kaki-kaki kambing itu seperti kalau menanam ubi kayu, setiap hari Aco berkeliling dari kampung ke kampung, membawa daun-daun yang menjadi makanan kambing. Ternak-ternak itu mengikuti si Aco sampai ke kebun Aco. Setelah berhari-hari Aco melakukan pekerjaan itu, penuhlah kebunnya dengan kambing.

Penduduk kampung melaporkan Aco kepada maraddia dengan tuduhan mencuri kambing. Aco pun dipanggil menghadap. Setelah maraddia menanyainya, Aco dengan hormat menjawab. “Sesuai nasihat puanngu, apa saja yang ditanam di kampung kita akan tumbuh subur. Saya menanam kaki kambing, puanngu. Itulah hasilnya, puanngu, tumbuh kambing-kambing”.

“Saya sudah siapkan 20 ekor untuk puanngu , sebagai tanda terima kasih atas nasihat puanngu”. Kata Aco. Raja kecil itupun berbalik kepada rakyat yang melapor. “Kalian semua salah. Aco ini orang baik. Ia tidak mencuri kambing kalian. Pulanglah semua”.

‘Tradisi’ Suap

Dalam ‘Introduction to Classic Chinese Literature’ tidak dijelaskan lebih jauh proses perkembangan ‘tradisi’ menyuap Raja Akherat menjadi ‘tradisi’ suap menyuap di dunia. Tetapi, dalam ‘Introduction to Modern Chinese Literature’ , disebutkan, sejumlah sastrawan revolusioner Cina yang menganut ideologi komunis mengungkapkan kebobrokan masyarakat pada masa akhir periode kekaisaran Cina, akibat merajalelanya ‘tradisi’ suap menyuap. Tradisi itu bahkan menular sampai pada tahap awal nasionalisme Cina di bawah Dr. Sun Yat Sen yang terkenal dengan ‘ajaran’ San Min Cu I -nya. Di bawah komando politik Ketua Mao, sastrawan revolusioner Cina melalui karya sastra mereka melakukan agitasi, suatu ‘kerajaan’ (negara) dengan pejabat serta warga masyarakat yang menjadikan suap menyuap sebagai ‘tradisi’, ‘pasti’ akan mengalami kehancuran. Puisi-puisi pamflet dan agitatif diterbitkan dan disebarkan ke seluruh pelosok Cina guna memerangi tradisi suap-menyuap sekaligus membangkitkan semangat revolusi gaya komunis.

Dari ‘negeri’ Bugis-Makasar para cendekiawan masa lalu memandang tindakan menyuap dan menerima suap sebagai bahaya yang dapat menjadi penyebab kehancuran negara dan masyarakat. Cendekiawan Petta Matinroé ri Lariang Banngi menegaskan bahwa “bahaya yang ditimbulkan oleh tindakan suap menyuap, apalagi bila sudah menjadi kebiasaan atau ‘tradisi’, jauh lebih besar dibanding dengan kejahatan merampok”. Tindakan merampok diibaratkan sebagai tindakan babi, yaitu sifat merusaknya kentara dan cepat dapat dideteksi. Akan tetapi tindakan suap menyuap adalah bagaikan tindakan tikus, yang sifat merusaknya tersembunyi.
Cendekiawan Bugis Kajaolaliddo pada abad ke-16 menyebutkan bahwa suap menyuap bagaikan ‘rayap menggerogoti tiang-tiang bangunan rumah’ (pappada-padai akkanré akkasolanna ané ri alliri bolaé). Dalam dialognya dengan Arumponé, Raja Boné yang bernama Bongkanngé, cendekiawan Kajaolaliddo menegaskan bahwa salah satu tanda kehancuran suatu kerajaan besar, yaitu bila para hakim dan penegak hukum menerima suap yang disebut dalam ungkapan Bugis ‘malai passosok to mabbicaraé’ atau ‘naénréki waramparang to mabbicaraé’. Ungkapan pertama menunjukkan bahwa para penegak hukum bertindak aktif mengambil atau menerima sogokan, sedangkan ungkapan kedua menunjukkan bahwa para penegak hukum diantarkan harta benda sogokan ke rumahnya. Akibat keduanya sama, yaitu ‘bagaikan rayap yang menggerogoti tiang penyanga kerajaan.
Para sastrawan revolusioner Cina dengan aliran realisme sosialisnya yang komunistik memberikan resep berupa ‘revolusi’ dan ‘hukum revolusioner’ yang berupa pembantaian terhadap pelaku suap menyuap dan keluarganya guna penyelamatan masyarakat dan negara. ‘Resep’ itu didasarkan pada anggapan ideologi revolusi, bahwa ‘revolusi adalah suatu penghancuran total (total destruction) terhadap keseluruhan sistem sosial dan politik lama, kemudian di atas puing-puing reruntuhan itu dibangun sistem baru yang komunistik’.

Kajaolaliddo dan cendekiawan Bugis-Makassar masa lalu sebaliknya lebih percaya pada penegakan hukum, panngadereng secara konsekuen. Para pelaku suap menyuap, tanpa ‘tebang pilih’ harus ‘diancam’ dan ‘dijatuhi sanksi hukum’ yang sangat keras. Hakim atau penegak hukum yang terbukti menerima suap dijatuhi sanksi:

1) diberhentikan dari jabatan,
2) dicabut hak kebangsawanannya, dan
3) dicabut hak keturunannya untuk memegang jabatan sebagai penegak hukum.

Arung Bila dari Soppeng memasukkannya dalam kategori sebagai orang yang “tidak disukai oleh adat, dan dihinakan oleh hukum” atau ‘naccaccai adek, natunai bicara’, dan oleh karenanya, orang itu menjadi turun derajat atau coccok dan manawok. Orang yang coccok dan manawok tidak lagi memenuhi salah satu syarat untuk menjadi pejabat atau petugas kerajaan, yaitu persyaratan bahwa orang itu bukan orang atau keturunan orang yang natunai bicara.

Suap Menyuap sebagai ‘Budaya’

Suatu proses yang berlangsung selama hampir setengah abad dalam kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan kita telah ‘berhasil’ menumbuhkan anggapan di tengah kehidupan masyarakat bahwa perbuatan suap menyuap adalah perkara biasa yang merupakan cara terbaik mempercepat dan memudahkan segala urusan. Bahkan anggapan demikian telah berubah menjadi suatu kepercayaan, mengarahkan langkah-langkah warga masyarakat dalam melaksanakan berbagai urusannya. Warga masyarakat cenderung menganggap dan mempercayai bahwa tidak ada urusan yang dapat diselesaikan dengan baik tanpa ‘uang pelicin’, ‘uang rokok’, ‘uang balas jasa’ yang merupakan istilah lain dari kata suap. Bahkan untuk pembayaran pajak kendaraan yang senyatanya bertujuan untuk pemasukan uang ke kas negara masih tampak adanya perilaku suap-menyuap. Berbagai lapisan masyarakat cenderung percaya bahwa hanya dengan melakukan penyuapanlah segala urusan menjadi mungkin terselesaikan dengan lancar.

Anggapan dan kepercayaan seperti itu diperparah oleh anggapan bahwa penegakan hukum adalah ‘urusan bisnis’. Anggapan dan kepercayaan itu diekspresikan dengan berbagai ungkapan seperti KUHAP adalah akronim ‘Kasih Uang Habis Perkara’, atau ‘maju tak gentar, membela yang bayar’, dan sejumlah ungkapan lainnya. Kecenderungan menjadikan hukum sebagai ‘urusan bisnis’ inilah yang secara ironik dikomentari Guru Besar Fakultas Hukum UNHAS, almarhum Prof. Dr. Amir Sjarifuddin dengan pernyataan: “Satu semester ketika mahasiswa belajar Hukum Dagang, seumur hidup setelah menjadi sarjana hukum, mempraktikkan Dagang Hukum”.

‘Keharusan’ menyuap dan menerima suap telah mengalir di seluruh badan raga mengikuti aliran pembuluh darah, memasuki alam ‘rohani’, menjadi bagian sistem pengetahuan, pemikiran dan kepercayaan sebagian besar anggota masyarakat. Bilamana budaya dipandang sebagai sistem gagasan, pemikiran dan kepercayaan maka suap menyuap dapat dipandang telah menjadi bagian dari budaya masyarakat masa kini. Dengan demikian, suap menyuap (termasuk korupsi di dalamnya) sudah menjadi permasalahan budaya, persoalan kultural.

Penanganannya pun cenderung tidak akan cukup hanya dengan pemberlakuan hukum formal semata, apalagi tidak mungkin diselesaikan dengan cara politik praktis.

Reformasi atau Revolusi?

Penanganan suap menyuap jelas tidak mungkin lagi dilakukan hanya secara parsial, melainkan memerlukan penanganan secara kultural yang holistik. Suap menyuap telah merasuki seluruh aspek kehidupan dan telah menjalari seluruh pembuluh darah warga masyarakat dari seluruh lapisan. Sambil mengeluh mencaci maki kebiasaan suap menyuap dengan segala akibatnya, orang ‘terpaksa’ harus terlibat menjadi pelakon, menerima atau memberi. Masihkah ada jalan keluar dari keadaan seperti itu?

Penganut paham ‘jalan pintas’ berupa revolusi yang menerima inspirasi dari gerakan revolusioner sosialis-komunis-marxis dengan getol mengagitasikan bahwa satu-satunya jalan keluar adalah melalui revolusi yang dipelopori oleh kaum muda dengan melibatkan seluruh rakyat. Puisi-puisi revolusioner secara gamblang menyerukan perlawanan total, dengan ungkapan: “Hanya satu kata, Lawan”. Namun sejarah revolusi menunjukkan bahwa hampir dalam setiap revolusi terjadi pembantaian umat manusia dan penghancuran nilai-nilai kemanusiaan. Lalu selalu tampak kecenderungan bahwa tak satu pun pemenang revolusi yang dapat bertahan lebih dari 4 tahun menjadi ‘pemerintahan yang baik’ seperti yang diagitasikan untuk membangkitkan revolusi itu. Suatu revolusi yang dipimpin oleh Ang Lu Shan menumbangkan pemerintahan dinasti kaisar Ming di Cina, hanya sempat menjadi pemerintahan yang ‘berwajah manuiawi’ selama kurang lebih 2 tahun, kemudian menjadi pemerintahan penindas yang bengis, jauh melebihi perilaku pemerintahan kaisar yang ditumbangkannya. Ang Lu Shan yang memimpin para petani dan mengikutkan perampok dan preman-preman, setelah memenangkan revolusi menempatkan para mantan perampok dan preman di sampingnya sebagai ‘pengawal revolusi’. Penindasan dan ‘tradisi’ suap menyuap pun berkembang kembali dengan pelaku yang berbeda. Hal itulah yang menjadi jalan mulus bagi kembalinya kekuasaan kaisar.

Revolusi Perancis yang pada mulanya berdimensi moral dan humanistik dengan semboyan liberté, egalité, fraternité, (kemerdekaan, persamaan, persaudaraan), kemudian mengalami pembelokan setelah memperoleh kemenangan. Hanya sekitar 4 tahun kemudian, Roberspierre telah berubah menjadi lebih kaisar dari kaisar-kaisar Perancis sebelumnya, melakukan penindasan sambil menjalani kehidupan bermewah-mewah dan hedonistik. Revolusi Bolsjewik di Rusia pun tampaknya tidak menghasilkan yang lebih baik dari revolusi lainnya. Ia justru telah melakukan penindasan dan kontrol ketat terhadap warganya sendiri.

Revolusi Iran di bawah Ayatollah Khomaeni menampakkan wajah lain. Revolusi ini dikawal secara ketat oleh suatu keyakinan religius yang Islami dari aliran Syiah. Pemimpin-pemimpin revolusi Iran pada umumnya adalah para Ayatollah yang memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai Islami, yang mengawal dan mengontrol nilai-nilai kehidupan dan perjalanan hidup Iran pascarevolusi. Makanya, perjalanan hidup Iran pascarevolusi tetap berwajah religius dan manusiawi.

Rupanya, revolusi yang semata-mata didasari kehendak dan kepentingan politik untuk menumbangkan kekuasaan dan pemerintahan hanya akan berhasil melakukan penggantian rezim, tanpa adanya perubahan yang lebih baik bagi kepentingan seluruh rakyat. Kuncinya terletak pada kenyataan historik bahwa ‘penggerak revolusi umumnya adalah juga pengidap syahwat kekuasaan yang besar’. Maka, Dewan Revolusi yang menuntut pencabutan mandat Presiden, juga bukanlah sesuatu yang dapat diharapkan melakukan perbaikan di negeri ini.

Reformasi seperti yang terjadi di negeri kita tampaknya lebih cenderung hanya merupakan reformasi politik. Reformasi itu telah berhasil melakukan penggantian ‘kepemimpinan nasional’, namun sekaligus memperlihatkan kecenderungan menempatkan politik sebagai ‘panglima’, dengan aktor-aktor politik praktis sebagai pelakonnya. Oleh karena itu suap menyuap (termasuk korupsi) masih tetap tidak mengalami penurunan, bahkan lebih cenderung kian meningkat. Dalam perjalanan reformasi, tampak samar-samar bayangan Ang Lu Shan beserta ‘pengawal revolusinya’ dan bayangan Roberspierre yang hedonistik dalam perilaku politik pascareformasi.

Suatu skenario reformasi kultural yang bersifat menyeluruh dan holistik, tanpa melibatkan kepentingan politik praktis, agaknya menjadi sesuatu yang niscaya, bilamana dikehendaki adanya perbaikan.



 
Alwy Rachman.