SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Saturday, August 29, 2009

LANGIT-LANGIT KACA, DEMOKRASI BUKAN HADIAH SURGAWI

Alwy Rachman

Langit-langit kaca” adalah sebuah pengungkapan simbolik metaforik. Pengungkapan ini dipakai oleh seorang penulis bernama Auster untuk menunjukkan adanya eksistensi garis samar yang bekerja dan berfungsi pada struktur-struktur hirarkis yang secara keseluruhan sulit dilampaui oleh perempuan. Auster menjelaskan bahwa “langit-langit kaca” muncul di semua waktu dan dengan berbagai bentuknya. Dan dengan begitu, perempuan selalu berhadapan dengan hambatan dalam pengembangan karir. Situasi “langit-langit kaca”, secara sederhana, digambarkan sebagai berikut. Sesungguhnya mencapai puncak karir sangatlah mudah bagi perempuan. Tetapi, jika ini terjadi, sang perempuan dianggap ”loner”, yaitu suatu “kekecualian” atau “satu-satunya” atau “ia hanya mewakili seksnya sendiri”, bukan dalam pengertian sosial ekonomi, dan bukan juga dalam dalam pengertian kekuasaan politik.

Terdapat tiga perspektif, dalam pandangan Adler, untuk menjelaskan mengapa eksistensi “langit-langit kaca” bertahan dan bekerja di dalam struktur-struktur hirarkis. Pertama, karakter dan prilaku lelaki telah diletakkan sebagai norma. Norma-norma inilah yang membuat perempuan sulit memasuki arena yang telah terdominasi oleh lelaki. Kedua, kultur organisasi seringkali lebih berorientasi pada prilaku dan sikap dasar organisasional, bukan pada prilaku dan sikap dasar individu pemimpin. Lelaki dalam hal ini lebih mengutamakan lelaki yang dapat membantunya, sebagaimana dirinya, untuk menuju posisi puncak. Ketiga, organisasi pada dasarnya tidak bersifat gender-neutral dan keadaan seperti inilah yang akan menciptakan diskriminasi gender.

“Langit-langit kaca” adalah fakta hidup di hampir semua organisasi. Ia adalah hasil refleksi para ahli terhadap tatanan organisasi yang dibangun dan terbangun oleh manusia. Ia hanya sebentuk atribut pendek dari sederetan pajang atribut yang banyak dipakai untuk menjelaskan segala macam ketimpangan sosial di berbagai tatanan dan struktur. “Langit-langit kaca” seharusnya didemistifikasi, begitu bunyi ajakan Auster.

Meskipun “langit-langit kaca” bukan metafor dari kebudayaan lokal Indonesia dan dengan demikian rasanya asing di telinga, tetapi substansi masalah yang dibawanya memiliki keserupaan dengan kenyataan sosial, organisasional, dan juga di kenyataan kebudayaan kita sendiri. Mengikuti ajakan Auster, untuk keperluan advokasi kesetaraan gender di Indonesia, sedikitnya ada dua perspektif yang dapat dibuka. Pertama, proses advokasi sebaiknya tidak membiarkan dirinya larut dalam pandangan-pandangan bahwa isu gender semata-mata hanya menyangkut ketimpangan hubungan heteroseksual, ketimpangan atribut budaya dan atribut sosial, ataupun hanya berhubungan dengan masalah individu lelaki dan perempuan. Oversosialisasi (sosialisasi yang berlebihan) terhadap isu ini tidak hanya memelihara kontroversi, tetapi juga disalah-artikan oleh para pengambil keputusan. Kedua, advokasi memerlukan keterampilan yang kuat dan rationale yang logis untuk memasuki arena politik. Advokasi atas wawasan dan gagasan tentang isu gender tiba saatnya untuk digeser dari cara abstrak ke cara praktis, dari cara akademik ke cara empirik, dan dari cara retorik ke cara politik.

Arena politik tersusun dari proses-proses pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan dalam merumuskan budget, misalnya, adalah contoh nyata dari proses dan cara politik. Dengan demikian, merumuskan budget yang responsif gender sama artinya menggeser advokasi dari cara retorik ke cara politik. Secara historis, gender budgeting mulai dipromosikan pada tahun 1984 melalui inisiatif pemerintah Australia yang menempatkan budget sebagai instrumen dasar untuk mempromosikan kesetaraan gender. Inisiatif politik seperti ini didasarkan pada keyakinan bahwa anggaran publik berbasis gender akan membawa dampak positif bagi keperluan perempuan. Tujuan inisiatif ini adalah, untuk merumuskan anggaran dan kebijakan-kebijakan lain dengan satu sudut pandang, yaitu mempromosikan kesetaraan gender sebagai bagian integral dari pemenuhan hak-hak asazi manusia. Kini, gender budget telah diselenggarakan di lebih dari 40 negara di dunia.

Perkembangan terakhir, gender budget difokuskan ke tiga isu utama, masing-masing; upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi, upaya peningkatan pengembangan sosial, dan upaya mereduksi ketidakadilan. Percepatan pertumbuhan ekonomi misalnya dapat dilakukan dengan meningkatan investasi pada ranah publik dan ranah swasta. Peningkatan pengembangan sosial bisa dikenali, misalnya, dengan menyediakan pendidikan yang memadai dan mudah diakses. Dan, upaya mereduksi ketidakadilan dengan cara menyediakan sistem peradilan yang memadai dan patut bagi anak-anak dan perempuan.

Contoh-contoh di atas bersifat sederhana. Sesungguhnya, masih banyak pertanyaan gender yang dapat dirumuskan untuk menguji kelayakaan anggaran yang responsif gender. Misalnya: apakah budget untuk pengembangan jalan raya bermanfaat bagi kelompok miskin atau hanya bermanfaat bagi kelompok kaya? Apakah investasi dibidang industri hanya memunculkan industri yang hanya didominasi oleh lelaki? Apakah bisa mempertahankan industri yang pekerjanya dominan perempuan (industri garmen, misalnya)? Apakah budget bisa menciptakan lapangan kerja bagi perempuan dan dengan demikian dapat mereduksi tingkat pengangguran di kalangan perempuan? Apakah budget bisa menyediakan grant untuk menjamin keberlangsungan pendidikan dasar anak-anak miskin? Dan, apakah grant itu tidak termakan inflasi? Apakah tersedia juga tersedia sistem peradilan yang memadai dan patut bagi anak-anak dan perempuan? Apakah budget dapat mengubah akses anak-anak dan perempuan atas pelayanan kesehatan? Dan, masih banyak lagi.

Pada akhirnya, budget yang responsif gender patut dirujuk pada nilai dan fungsi demokrasi. Nilai demokrasi dapat ditakar berdasarkan prinsip-prinsip partisipasi, akuntabilitas, transparansi, dan pelayanan publik sementara fungsi demokrasi adalah menciptakan keteraturan, kesetaraan, dan kemakmuran. Demokrasi bukan umbul-umbul, bukan slogan, bukan juga baliho yang bewarna-warni. Demokrasi hanya bisa tumbuh dari proses dan aktor yang memiliki kredibilitas, identitas, dan integritas. Adalah tugas demokrasi untuk menciptakan good-and-responsible-government dan good-and-responsible-society. Demokrasi memang bukan hadiah surgawi.

Bacaan Pemerkaya

Banks, James A. dan Michelle Tucker, 1988, “Multicuturalism’s Five Dimensions”, Hasil Wawancara dengan NEA Today Online.

Ember, Carol R dan Melvin Ember (editor), 2003, Encyclopedia of Sex and Gender, London: Kluwer Academic/Plunem Publisher.

Final Report of The Group of Specialist on Gender Budgeting, 2005, Directorate General of Human Rights, Strasbourg: Equality Division, Council of Europe.

Opinion on Gender Budgeting, 2003, Advisory Committee on Equal Opportunities for Woman, http://www.neww.org.pl/

HAM, Lembar Fakta, Kampanye Dunia Untuk Hak Asasi Manusia.

Roudi-Fahimi, Farzaneh dan Valentine M. Moghadam, 2003, Empowering Women, Developing Society; Female Education in the Middle East and North Africa, MENA Policy Brief.

Catatan:
Tulisan ini pernah disajikan dan didiskusikan pada acara “Workshop Multistakeholder Anggaran yang Responsif Gender APBD Pemerintah Makassar Tahun 2008-2009", diselenggarakan oleh Forum Pemerhati Masalah Perempuan Sulsel didukung oleh The Asia Foundation, di Makassar, Quality Hotel, 22-24 Oktober 2007.

Wednesday, August 26, 2009

SASTRA 'PASENG'

Anwar Ibrahim

(1)

Karya sastra ‘tradisi’ lisan, seperti sastra paseng orang Bugis, yang tumbuh dari rahim budaya masyarakat dan diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi, tidak dapat dipandang terlepas dari konteks budaya pemilik tradisi lisan itu. Bahkan, sejumlah pakar sastra ‘modern’ seperti Rene Wellek, Teeuw, dll. beranggapan bahwa karya sastra modern pun cenderung dapat dianggap demikian. Mereka mengemukakan bahwa karya sastra tidaklah lahir dari kevakuman budaya. Antropolog dan ahli folklore, Alan Dundes mempelajari karya sastra tradisional yang disebutnya sastra rakyat sebagai bagian dari studi folklore, tidak terlepas dari konteks budayanya. David Bidney, yang dikutip Makhan Jha, menggolongkan sastra ‘tradisi’ lisan itu dalam kelompok menti-facts; sebagai salah satu di antara empat ‘facts’ yang harus dipelajari dalam studi kebudayaan. Tiga ‘facts’ lainnya adalah socio-facts, arti-facts, dan agro-facts.

Sastra ‘tradisi’ lisan itu dipandang sebagai sesuatu yang fungsional dalam kehidupan kultural masyarakat. William Bascom, seorang Antropolog, dalam esainya “Four Function of Folklore”, (dimuat dalam Study of Foklore yang disunting Dundes), mengemukakan empat fungsi folklore, yaitu a) sebagai sistem projeksi, b) sebagai alat pengesahan pranata dan ritual-ritual, c) sebagai alat pendidikan, dan d) sebagai alat pemaksa agar nilai-nilai dan norma-norma ditaati.

Telaah sosiologi sastra yang berkembang pun bertumbuh dari anggapan bahwa karya sastra tidak dapat dipisahkan dari konteks kehidupan sosial masyarakat, tempat karya itu dilahirkan. Di Indonesia, selain telaah sosiologi sastra tumbuh pula ‘aliran’ kajian sastra kontekstual yang dalam pengkajiannya senantiasa mengaitkan karya sastra dengan konteks sosialnya.

Boggart melangkah lebih jauh, memperkenalkan pendekatan yang disebutnya literary cultural analysis yang berusaha memahami karya sastra dengan mengkaji pula konteks budayanya. Boggart menyebutkan istilah ‘reading for tone’, dan ‘reading for value’ sebagai langkah awal untuk menemukan dan mengungkapkan nilai-nilai yang tersirat di dalam karya sastra. Langkah yang disarankan Boggart kemudian adalah berusaha memperoleh pengertian mengenai konteks kultural dengan bantuan ilmu lain, seperti antropologi, sejarah, ilmu agama, bahkan filsafat.

(2)

Sastra paseng adalah pesan-pesan atau wasiat orang-orang tua yang disampaikan turun temurun secara lisan dan literer dari generasi ke generasi. Ia merupakan hasil dari pengalaman luas dan penghayatan dalam mengenai hakikat kehidupan manusia. Sastra paseng merupakan suatu genre karya sastra yang lahir: 1) dari rahim budaya dan diwariskan turun temurun dalam masyarakat, 2) sebagai bentuk pengekspresian nilai budaya masyarakatnya; 3) mengemban fungsi-fungsi pemeliharaan dan pewarisan nilai-nilai budaya dan 4) merupakan pemaduan dan intipati watak peradaban masyarakatnya. Dari bentuk penyampaiannya, paseng dapat digolongkan dalam dua kelompok, yaitu paseng berbentuk puisi, dan paseng berbentuk prosa. Paseng berbentuk prosa menggunakan bahasa dengan makna denotatif yang secara langsung mengemukakan isi pesan atau wasiat itu. Paseng prosais umumnya disampaikan seseorang yang memiliki otoritas: orang bijaksana, cerdik cendekiawan, atau orang tua yang memiliki pengalaman dan wawasan yang luas mengenai hakikat makna kehidupan. Paseng jenis ini biasanya singkat dan mudah dipahami. Sebagai contoh dikemukakan di bawah ini:

a. Paseng Mengenai Lima Pegangan Hidup

Uwappasengenngi makkatenning ri limaé akkatenningeng:
Mammulanna, ada tongenngé,
Maduana, lempuk-é,
Matellunna, gettenngé,
Maeppakna, sipakataué,
Malimanna, mappesonaé ri pawinruk séuwaé,

Aku memesankan berpegang pada lima pegangan:
Pertama, perkataan yang benar,
Kedua, kejujuran,
Ketiga, keteguhan pada keyakinan,
Keempat, saling menghargai sesama manusia,
Kelima, berserah diri kepada Pencipta yang tunggal.


b. Paseng Ramalan Keadaan

Engka séuwa wettu
Napolé sosarak marajaé
Muttamakikl ri alek-é, nasopék-sopékkik macang
Nonnokkik ri salok-é, naemmekkik buaja
Naiyami salamak
Masobbué di padang tajanngé, makkatenning ri cinagurié

Ada suatu masa
Akan terjadi prahara besar
Kita masuk ke hutan, dicabik-cabik macan
Kita turun ke sungai, ditelan buaya.
Yang selamat hanyalah
Yang bersembunyi di padang terang
Berpegang pada pohon cinaguri.


c. Paseng Ramalan Mengenai Perilaku Manusia

Engka séuwa wettu narirapik
Polé ri timunna tauwé massuk ada-ada alusuk na patuju
Takkajennek maneng tauwé, nakkacoék, naiyakiya
Barangkauk pangkaukanna pappada ulak-é,
Macanngé, na lebbipa koritu,
Sabak nanré muwisa inanna, amanna, silessurenna, anakna;
Élok cinnana naturusi, napopuang.
Lisusikik sianré balé.

Akan terjadi pada suatu waktu, ditemukan
Keluar dari mulut kata-kata halus dan berguna
Orang-orang terlena dan menjadi pengikut, tapi
Perbuatan dan perilaku bagaikan ular
Atau macan, bahkan lebih dari itu
Ia akan memangsa ayah, ibu, saudara, dan anaknya sendiri
Nafsu keinginan dan kepentinganlah yang dipertuhan.
Kita akan kembali saling memangsa bagaikan ikan.


Selain itu terdapat pula paseng yang berbentuk dialog, misalnya dialog antara cerdik cendekiawan kerajaan Bone, La Mellong Kajaolaliddo dengan Raja Bone, yang berisi wejangan dan nasihat kepada Raja Bone mengenai cara-cara mengatur negara dan pemerintahan; dialog antara Maccaé ri Luwu (cerdik cendekiawan dari Luwu) dengan calon Datu Soppeng, La Basok To Akkarangeng, yang berisi wejangan mengenai tata cara pengaturan negara, penegakan hukum, dan cara memerintah orang Soppeng. Dalam paseng-paseng tersebut, tercermin dengan jelas nilai-nilai utama budaya orang Bugis, yang dianggap sebagai pedoman dalam kehidupan kulturalnya. Paseng jenis ini sebagian telah ditulis di dalam lontarak dan menggunakan aksara lontarak orang-orang Bugis.

(3)

Puisi paseng dalam kesusastraan orang Bugis, adalah pesan atau wasiat orang-orang tua yang diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi dalam bentuk puitik. Paseng puitis atau sebutlah puisi paseng umumnya dikemukakan secara singkat dan padat. Makna setiap kata yang digunakan memerlukan pengungkapan lebih lanjut. Di bawah ini dipilih untuk dibahas satu puisi paseng, beserta konteks sosial budayanya, sebagai contoh:

Sadda mappabbati ada,
Ada mappabbati gauk,
Gauk mappannessa tau.

Temmettok nawa-nawa majak
Tellessuk ada-ada bellé
Teppugauk gauk macéko
Temmakkatuna ri padanna Tau
Tettakkalupa ri apoléngenna
.

Suara mewujudkan kata,
Kata mewujudkan perbuatan,
Perbuatan membuktikan manusia.

Tak membersitkan pikiran jahat
Tak mengeluarkan kata dusta
Tak melakukan perbuatan culas
Tak menghinakan sesama manusia
Tak melupakan asal kedatangan (pencipta)-nya.


[Sumber: Matowa Ujung Coa (berusia 110 tahun ketika meninggal) tahun 1972]

Pemiliknya menganggap paseng ini sakral. Ia menurunkannya kepada anak cucunya, setelah ia merasa telah berada di ujung perjalanan hidupnya. Alasannya jelas. Ia menjadikan paseng ini sebagai ‘pakaian kelaki-lakian’, serta kuatir anak cucunya yang belum matang menyalahgunakannya.

Pada bait pertama terdapat kata kunci, sadda, yang secara denotatif berarti ‘suara’. Namun, kata sadda dalam puisi paseng ini, memiliki dimensi religius, yaitu ‘suara yang dibisikkan sang Pencipta ke dalam hati manusia’, sejenis firman dalam terminologi agama. Kata sadda dalam puisi paseng ini, memiliki konteks religius dalam budaya masyarakat Bugis, baik sebelum maupun setelah masuknya agama Islam. Ia merupakan salah satu kata kunci dalam ilmu kebatinan Bugis yang disebut pappéjeppu atau ilmu makrifat. Penuntut ilmu pappéjeppu percaya, bahwa sadda berasal dari sang Pencipta, disebut saddanna pawinruk-é’ (suara sang Pencipta). Oleh karenanya, sadda dianggap memiliki kualitas sakral. Walaupun semua manusia memiliki aparatus yang dapat menerima sadda, yaitu ati macinnong atau hati nurani, namun tidak semua orang mampu menerima sadda yang sakral tersebut.

Dalam ilmu pappéjeppu disebutkan, ada dua hal yang diturunkan sang Pencipta kepada manusia, yaitu tajang (cahaya, nur) dan sadda. Keduanya hanya dapat diterima ati macinnong. Akal pikiran tidak mampu menerimanya secara sempurna, seperti diungkap dalam puisi Bugis:

Sellukkak ri alek kabo,
Pusa nawa-nawa,
Ati mallolongang

Menyuruk aku di hutan belantara,
Akal pikiran tersesat,
Nuranilah menemukan jalan

Ati macinnong dipercaya sebagai aparatus dalam diri manusia yang suci murni sehingga ia mampu menerima nilai sakral yang berasal dari sang Pencipta. Ilmu papéjeppu menyebutkan bahwa ati macinnong tidak pernah berdusta. Mulut dapat berdusta, akan tetapi ati macinnong akan mengingkari kedustaan mulut. Iapun tidak dapat didustai. Oleh karena sifat murninya, maka hanya hati nuranilah yang mampu menemukan yang mallinrung atau yang gaib, yang rahasia serta yang mampu menerima kebenaran. Dipercaya oleh penuntut ilmu papéjeppu bahwa ‘yang rahasia, kebenaran’ berada di balik yang tampak wujud, yang tallé. Materi yang tallé apalagi bila dipandang oleh mata yang terbelit keinginan dan kepentingan, bukanlah kebenaran yang sesungguhnya. Ia hanya kebenaran tipuan. Akan tetapi, kejernihan dan kemurnian ati macinnong dapat tertutupi oleh sesuatu yang bernama élok cinna, atau keinginan, nafsu dan kepentingan.

Makanya, dalam rangkaian paseng tersebut disebutkan pula faktor pendorong dalam diri manusia sehingga mengucapkan kata-kata dusta, ada bellé, yaitu: maraja cinna na makurang pétannga, maloppo élok na mapélloreng, terlalu besar keinginan dan kurang pertimbangan, terlalu besar kemauan dan pengecut. Disebutkan pula bahwa orang yang sering mengumbar kedustaan adalah orang “pintar dan licik, berani dan sewenang-wenang, serta kaya dan rakus”, atau maccai na mabulusuk, waraniwi na maggauk bawang, sugik-i na mangowa. “Orang berani tetapi pendusta sesungguhnya adalah pengecut”, tau warani na pabbelléng, to mapélolloreng muwa ritu.

Sadda yang diterima ati macinnong itulah yang dipesankan untuk dijelmakan atau diwujudkan sebagai ‘ada’, kata atau ucapan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena ada (kata) adalah perwujudan saddanna pawinruk-é, maka kata-kata yang terlontar dari mulut adalah kata-kata yang benar atau disebut dalam paseng sebagai ada tongeng. Kata-kata benar itu pun harus terwujud dalam perbuatan, sesuai ungkapan puitik ‘toddokpuli temmapettu, taro ada, taro gauk’ (tekad bulat, tak terputus, menaruh kata, menaruh perbuatan). Mewujudkan sadda ke dalam kata, dan mewujudkan kata ke dalam perbuatan itulah yang membuktikan seseorang sebagai manusia.

Bait kedua puisi paseng tersebut merupakan uraian penjelas bait pertama. Seseorang yang memelihara hati nuraninya agar tidak tertutupi élok cinna sehingga dapat menerima saddanna pawinruk-é, akan mampu membuktikan dirinya sebagai manusia, dengan mengamalkan sifat-sifat dan perilaku seperti yang tercermin pada bait kedua puisi ini, yaitu:

  • Temmettok nawa-nawa majak, tak membersitkan pikiran jahat. Dalam kehidupannya sehari-hari, bergaul dan berinteraksi dengan sesamanya, manusia itu tidak pernah membersitkan pikiran melakukan perbuatan jahat, terhadap orang lain;
  • Tellessuk ada-ada bellé, tak mengucapkan kata-kata dusta;
  • Teppugauk gauk macéko, tak melakukan perbuatan culas;
  • Temmakatuna ri padanna tau, tak menghinakan sesama manusia;
  • Tettakkalupa riapoléngenna, tak melupakan asal kedatanagan (pencipta)-nya.

Seseorang yang mewujudkan isi paseng ini dalam kehidupannya disebut sebagai manusia yang memelihara martabat dan harga dirinya atau memelihara sirik di dalam dirinya. Profil manusia seperti itulah yang disebut sebagai tau tongeng-tongeng, manusia yang sesungguhnya manusia. Dalam ilmu pappéjeppu, manusia seperti itulah yang memiliki kompetensi:

massadda tenribali,
mappau tenrisuppa,
maggauk tenriéwa,
tuwo lolang tenrigangka’

bersuara tak terlawan,
berkata-kata tak terbantah,
berbuat tak terlawan,
hidup ke sana ke mari tak terukur.

Kompetensi yang terkandung dalam ilmu pappéjeppu seperti itulah yang dicari manusia Bugis yang berusaha menjadi orang perkasa, to maseggek, yang dilengkapi dengan mantra kelaki-lakian, seperti:

Iyak lawarapang tau pomataénngi essoé,
Powatanngénngi maégaé lima,
kuilek malluruk
Rupakku esso mattappa’
La Makkatutu asenna tudanngé ri tau-tau matakku

Aku bagaikan manusia bermatakan matahari,
Dengan kekuatan tubuh dengan lengan banyak.
Kumenatap lurus tajam,
Wajahku matahari bersinar,
Si berhati-hati namanya yang bertahta di biji mataku.


Kompetensinya dicari untuk menjadi to maseggek, sehingga paseng di atas dianggasp sakral dan dijadikamn ‘pakaian kelaki-lakian’, namun seringkali melupakan atau tidak mewujudkan substansi paseng yang sebenarnya.

(4)

Puisi paseng yang diuraikan di atas sesungguhnya memiliki makna yang sama dengan paseng prosa yang disebutkan pertama di atas, yang memesankan untuk berpegang pada lima pegangan. Bila dalam paseng prosa disebutkan lima pegangan: adatongeng (berkata-kata benar), lempuk (kejujuran), getteng (konsistensi, tegas dan teguh pada prinsip), sipakatau (saling memanusiakan), dan mappésona ri pawinruk séuwaé (berserah diri pada Sang Pencipta yang Esa), maka dalam puisi paseng disebutkan: tak membersitkan pikiran jahat, tak mengucapkan kata dusta, tak melakukan perbuatan culas, tak menghinakan sesama manusia, dan tak melupakan penciptanya.

Puisi paseng tersebut memiliki hubungan kontekstual dengan paseng prosais dari Petta Matinroé ri Lariangbanngi yang berupa ramalan mengenai perilaku manusia: Polé ri timunna tauwé massuk ada-ada alusuk na patuju ..... Barangkauk pangkaukanna pappada ulak-é, macanngé, na lebbipa koritu, (Keluar dari mulut kata-kata halus dan berguna .... Perbuatan dan perilaku bagaikan ular, atau macan, bahkan lebih dari itu...).

Makna yang terkandung dalam puisi paseng tersebut memiliki pula hubungan kontekstual dengan pemikiran para to acca, cendekiawan Bugis masa lalu, seperti cendekiawan Bugis akhir abad ke-15, Kajaolaliddo, dan Arung Bila pada awal abad ke-16, yang menyebut nilai-nilai tersebut sebagai paramata mattappa (permata bersinar) dalam kehidupan manusia. Ia dianggap sebagai nilai-nilai dasar yang ideal dalam kehidupan kultural orang-orang Bugis.

Bila diamati secara saksama, nilai-nilai dasar itulah yang diterjemahkan dan diimplementasikan dalam panngadereng (sistem budaya) yang meliputi norma-norma, aturan-aturan, dan adat istiadat orang Bugis. Panngadereng itu meliputi:

  • adek (adat dan tatacara kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara);
  • bicara (hukum);
  • rapang (sejenis jurisprudensi, atau keputusan-keputusan hukum yang pernah dilaksanakan dalam kerajaan atau oleh kerajaan lain yang dijadikan perumpamaan atau ibarat dalam pelaksanaan hukum), dan
  • warik (aturan yang menetapkan klasifikasi dan peringkat-peringkat manusia dan barang, serta aturan protokoler dalam kehidupan bernegara).

Keseluruhan ayat-ayat dalam panngadereng dapat ditemukan akar dan hubungan kontekstualnya dengan lima nilai dasar ideal yang tercakup dalam puisi paseng di atas. Oleh karena itulah, dalam pemilihan dan penetapan seseorang untuk menjadi raja, misalnya, diadatkan persyaratan bahwa track record seseorang yang akan dipilih dan ditetapkan itu, telah menunjukkan pembuktian diri sebagai manusia sesungguhnya, tau tongeng-tongeng, yang tercermin dalam ungkatan kata dan perbuatannya. La Katak dari Pinrang mengungkapkan paseng dalam konteks ini:

Ikkeng warisik-é, jiji-bémpai aléta, nattannga laéga. Nigi-nigi paccolli awwara, palorong worokkaju, papolé asaléwangeng, sanrék riluruk unga panasaé, tettong ri tajanngé, mappésabbi ri mappancajié, iyana maka mancaji pangulu wawang, porépok-I la baiccuk.

(Sumber informasi: La Katak, 73, Paleteang, tahun 1979)

Kalian para pewaris, berbaris berbanjarlah kalian, agar si orang banyak dapat memandang. Barang siapa yang menguncupkan tetanaman, menjalarkan tumbuh-tumbuhan, mendatangkan ketenteraman, berdasar pada kebenaran, berdiri di tempat terang, mempersaksikan diri pada sang Pencipta, maka dialah yang berhak menjadi pemimpin, menata kehidupan si kecil.

Track record dan kata-kata seseorang itu telah terbukti dapat dipegang dan dipercaya; kejujurannya sungguh terjamin; konsistensi, keteguhan, serta ketegasannya dapat dipertanggungjawabkan; penghargaannya kepada manusia, serta ketakwaan kepada penciptanya terwujud dalam perbuatan dan perilaku kehidupan sehari-harinya, maka itulah yang disebut ‘manusia sesungguhnya’ atau tau tongeng-tongeng, yang layak dijadikan panutan dan pemimpin, atau pangulu wawang. Secara historik dapat dibuktikan:

  • Sawerigading, putra mahkota kerajaan Luwu, seorang pemberani, maddara takkuk atau berdarah murni turunan tomanurung, ditolak Dewan Adat untuk menjadi Datu kerajaan Luwu karena Sawerigading terbukti tidak menepati janji, sumpah atau kata-kata yang telah diucapkannya. Sawérigading bersumpah untuk tidak kembali lagi ke Tana Luwu karena tidak diizinkan mengawini saudara kembarnya, namun ternyata kemudian dia kembali juga ke Tana Luwu.

  • Raja Bone, La Inca Matinroé ri Addénénna, divonis hukuman mati oleh Dewan Adat karena melakukan kesewenang-wenangan kepada rakyatnya;

  • Raja Wajo bergelar Batara Wajo ke-3 dihukum mati oleh Dewan Adat kerajaan Wajo karena keserakahan dan kesewenang-wenangannya.

Oleh karena ketaatan pada nilai-nilai dan panngadereng itu pulalah yang menyebabkan Datu Soppeng La Basok To Akkarangeng melakukan persidangan mengadili dan menjatuhkan hukuman kepada dirinya sendiri, karena telah menemukan, memungut, dan menyimpan satu pundi-pundi yang lupa diserahkannya kepada yang berhak.

Tidak kurang dari 20 orang raja dan datu dari kerajaan-kerajaan di daerah Bugis yang telah dihukum mati, diturunkan dari tahta, diasingkan ke negeri lain dan tidak diizinkan pulang kembali ke negerinya (ripaoppangi tana) karena perbuatan dan perilakunya tidak sesuai atau bertentangan dengan nilai-nilai dasar ideal yang tertuang dalam panngadereng.

Panngadereng, hukum dan aturan, yang berdasar pada nilai-nilai dasar yang bersumber dari saddanna pawinruk-é itu dipercaya sebagai sesuatu yang sakral sehingga wajib dijalankan. Kelalaian melaksanakannya akan memperoleh ganjaran dari pawinruk-é, sang Pencipta, berupa bencana, baik bencana alam seperti kemarau panjang, gagal panen, gempa bumi, tanah longsor, banjir, wabah penyakit menular dan semacamnya, maupun bencana akibat perbuatan manusia, misalnya perselisihan, konflik, dan peperangan. Pelaksanaan hukum senantiasa berada di bawah tilikan pengawasan sang Pencipta.

Puisi paseng merupakan salah satu bentuk pengekspresian nilai-nilai budaya orang Bugis yang dalam suatu kurun waktu panjang telah berfungsi sebagai media pendidikan, menanamkan nilai-nilai yang turut membentuk kepribadian orang Bugis.

Puisi itu memiliki hubungan kontekstual dengan aspek-aspek kehidupan sosiokultural masyarakat, dengan sistem budaya atau panngadereng yang menata kehidupan kekeluargaan, kemasyarakatan dan kenegaraan.


Bahan Bacaan
Abidin, Andi Zainal, 1999a, Kapita Selecta Kebudayaan Sulawesi Selatan, Hasanuddin University Press, Ujung Pandang


Abdin, Andi Zainal, 1999b, Kapita Selecta Sejarah Sulawesi Selatan, Hasanuddin University Press, Ujung Pandang

Abu Hamid, H. 2002. Budaya Politik dan Kepempinan di Sulawesi Selatan. (Makalah). Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Sulawesi Selatan. Makassar.

Abu Hamid, H. 2004. PASOMPEK, Pengembaraan Orang Bugis. Pustaka Refleksi. Makassar.

Ammarel, Gene. 2004. Sistem Navigasi Bugis Makassar. Hasanuddin University Press, Makassar.

Boggart, Richard. 1979. Contemporary Cultural Studies. An Approach to the Study of Literature and Society. Startford-Upon-Avon Studies, Edward Arnold (Publishers) Ltd. London

Dundes, Alan, 1965. The Study of Folklore. Prentice Hall, Inc., Englewood, N.J.

Errington, S., 1977. Sirik, Darah dan Kekuasaan Politik di dalam Kerajaan Luwu Zaman Dahulu. Bingkisan Budaya Sulawesi Selatan. Tahun 1(2) September, 40-62. Ujung Pandang.

Jha, Makhan, 2003, An Introduction to Social Anthropology (Second Revised Edition), Vikas Publishing House PVT LTD, India

Manyambeang, A. Kadir, dkk., 1988, Jiwa Laut Dalam Sastra Makassar, Lembaga Penelitian Unhas, Ujung Pandang

Marzuki, Laica, 1995, SIRIK, Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makassar, Hasanuddin University Press, Ujung Pandang (Makassar)

Matthes, B.F, 1872, Boegeenesche Chrestomatie, Amsterdam, C.A. Spin & Zoom

Matthes, B.F. 1864, Boegeenesche en Macassarsche Poezie, C.A. Spin & Zoom, Amsterdam

Mattulada. 1995. LATOA, Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, Hasanuddin University Press, Ujung Pandang

Mukhlis. (ed.) 1986. Dinamika Bugis Makassar. Diterbitkan untuk Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial PLPIIS-YIIS. Makassar.

Rahim, A. Rahman, 1985, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis. Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin: Ujung Pandang

Wellek, R. dan Austin Warren, 1989. Teori Kesusastraan (terj. Melani Budianta). PT. Gramedia. Jakarta




Monday, August 24, 2009

RUANG BEBAS NORMA

Anwar Ibrahim

(1)

Norma-norma, dan aturan-aturan budaya sesuai dengan fungsinya, memiliki sifat menata, mengawasi, malahan bersifat memaksa dalam pengaturan tatacara kehidupan dan perilaku warga masyarakat. Setiap perilaku dan langkah-langkah dalam kehidupan diatur, diawasi, dan dipaksakan penyesuaiannya dengan aturan norma-norma itu. Deviasi, penyimpangan yang terjadi, apalagi yang berkadar pelanggaran, akan memperoleh sanksi budaya yang setimpal. Dalam setiap kebudayaan manusia terdapat folkways, yang merupakan aturan-aturan hukum lisan yang berlaku dalam masyarakat, yang mengatur penjatuhan sanksi, terutama sanksi-sanksi sosialnya. Adakalanya, norma-norma dan aturan-aturan itu dijalankan sangat ketat pada ruang dan waktu tertentu, akan tetapi dijalankan agak longgar pada ruang dan waktu lainnya. Ada-kalanya pengawasannya sangat ketat pada bidang-bidang kehidupan tertentu, akan tetapi agak longgar pada bidang lainnya. Misalnya ketat mengawasi bidang etika dan moralitas dalam hubungan pria-wanita, akan tetapi longgar mengawasi bidang pencurian; ketat mengawasi pelaksanaan upacara-upacara formal religi, tetapi longgar dalam penindakan korupsi dan semacamnya.

Sesungguhnya terjadinya 'keadaan' seperti itu, berhubungan erat dengan perbedaan kecenderungan dan/atau penafsiran dari warga masyarakat:
  • Kecenderungan masyarakat, terutama kecenderungan elit-elit lapisan atasnya, lebih sering dipengaruhi oleh kepentingannya atau oleh pilihan prioritas kepentingannya. Norma-norma dan aturan-aturan yang dianggap sangat menghalangi pencapaian kepentingannya akan dilonggarkan, sedang aturan yang dianggap sesuai dengan kepentingannya cenderung diketatkan pelaksanaannya.

  • Penafsiran atas norma-norma dan aturan-aturan budaya pun seringkali berbeda pada setiap ruang dan waktu. Dalam membuat penafsiran atas norma-norma dan aturan-aturan itu, tampak adanya kecenderungan melakukan penyesuaian dengan faktor-faktor ekologi lingkungan sosial dan lingkungan alamnya, serta proses perkembangan kehidupan masyarakat.
Norma-norma dan aturan-aturan yang sifatnya lebih konkret, dan nilai-nilai budaya yang sifatnya abstrak yang mendasarinya, menjadi pedoman dan menunjukkan arah orientasi warga masyarakat dalam kehidupannya. Tentu saja, nilai-nilai, norma-norma dan aturan-aturan budaya itu, merupakan pencerminan malahan perwujudan pandangan budayanya mengenai apa yang dinilai atau dianggap terbaik dalam penataan kehidupan bermasyarakatnya. Dengan kata lain, norma-norma dan aturan-aturan tersebut mengarahkan dan membimbing warga masyarakat secara kolektif menuju kesejahteraan dan kebaikan-bersama dalam menjalani kehidupannya. Persoalannya muncul, bila sejumlah individu warga masyarakat merasa bahwa pengaturan, pengawasan dan pemaksaan norma-norma dan aturan-aturan budaya masyarakat itu, telah menjadi sangat menekan, mengikat, dan mengekang berbagai gerak dan langkah dalam kehidupan. Sampai pada batas-batas tertentu, rasa terikat dan terkekang itu mungkin masih bisa dikendalikan, namun pada suatu saat akan mendorong terjadinya deviasi, malahan mungkin perlawanan. Kian seringnya terjadi deviasi yang serupa akan mengakibatkan dilakukannya re-evaluasi atau rethinking, pemikiran kembali atas norma-norma dan aturan-aturan itu, malahan rethinking dan reinterpretasi nilai-nilai yang mendasarinya, yang bermuara pada terjadinya pergeseran ataupun perubahan.

(2)

Ada budaya tertentu yang mempersiapkan ruang dan saat tertentu bagi warga masyarakatnya untuk merasa terbebas dari sejumlah ikatan dan kekangan norma-norma dan aturan-aturan. Ruang dan saat bebas itu pada umumnya menjadi bagian dari tradisi, memperoleh pengakuan dan pembenaran secara kultural dari seluruh lapisan warga masyarakat pendukung budaya bersangkutan. Dalam ruang seperti itu sejumlah norma dan aturan ditinggalkan, dan warga masyarakat memperoleh kebebasannya melakukan hal-hal yang dianggap tabu dalam kehidupan sosial sehari-hari. Hal semacam itu dikenal dalam budaya Bugis-Makassar.

Dalam budaya Makassar, ruang dan waktu bebas norma itu, misalnya tampak dalam kehidupan masyarakat patorani, masyarakat penangkap ikan terbang di Galesong, Takalar, ketika patorani itu berada di tengah-tengah lautan mencari ikan terbang. Tradisi bebas-norma itu membenarkan para patorani untuk menyatakan kata-kata atau ucapan-ucapan yang cenderung porno bahkan melantunkannya dalam bentuk nyanyian. Sebagai contoh, satu bait kelong patorani:

Bongkaraq mako naiq
ri tompoqna lassika malolo
lassiq tani tiro antu
nani enru
nani taqlangga-langgai ri tompoqna iya...

(Bongkarlah semuanya
di atas bukit kemaluan, dara remaja
kemaluan yang tak tepandanglah ia,
dan disetubuhi
dan digoyang-goyangkan di atas bukitnya, iya….)

Ucapan atau nyanyian semacam itu sangat pantang diucapkan di tengah-tengah kehidupan sosial dan jelas melanggar norma-norma sosial budaya masyarakat Makassar. Akan tetapi tradisi budaya masyarakat Makassar memberikan pembenaran pelantunan nyanyian semacam itu oleh para patorani ketika menjalankan profesinya di tengah lautan. Justifikasi itu didasari alasan tradisional yang bertolak dari kepercayaan bahwa makin porno nyanyiannya, makin berkerumunlah ikan-ikan terbang di area penangkapan ikan patorani yang bersangkutan.

Dalam tradisi budaya masyarakat Bugis Bone, ruang dan waktu bebas-norma itu misalnya tampak pada acara perburuan rusa, majjonga, terutama yang diselenggarakan oleh kerajaan. Raja dan bangsawan-bangsawan, yang dalam kehidupan sehari-hari amat dihormati, dalam acara majjonga harus bersedia dicaci maki sampai caci makian yang paling kotor sekalipun. Sebagai contoh:

Lellunni jongaé tailaso,
Pegattiri larinna nyarangmu,
Tadok-i ellonna,

Kejarlah rusanya, tailaso
Pacu kencang larinya kudamu
Jeratlah lehernya

Kata-kata tailaso adalah caci makian yang menyebut nama penis, kemaluan laki-laki. Dari sudut pandang tradisi budaya ungkapan itu dianggap cacian yang sangat menghina. Orang yang mengucapkan kata makian itu pun dianggasp tidak beradab. Akan tetapi dalam tradisi majjonga, bila raja atau para bangsawan tidak pintar berburu, tidak kuat mengejar rusa, kudanya tidak dapat berlari kencang serta tidak mampu menjerat leher rusa, caci makian akan menjadi lebih keras lagi:

Magi mumammatu-matu, tailaso
Taniatu kombak saoraja mulellung, peccik laso
Magi mumallaso tallumék-lumék
Dék tu jonga palorongangko ellongna, mutadok-i
Peccik-i laso bolongmu, arung calabai

Mengapa bermalas-malasan, tailaso
Bukan betina-istana yang kau-kejar, peccik-laso
Mengapa kau berkontol loyo-gemulai
Tak akan ada rusa yang menjulurkan lehernya, agar kau jerat,
Peccik laso hitammu, raja banci

Caci-makian peccik laso adalah makian yang paling menghina. Secara denotatif berarti membuka kulit kemaluan untuk dihilangkan tai-nya. Orang yang dimaki dengan cacian itu dianggap penisnya masih kotor, belum disunat. Pelontaran caci maki seperti itu, termasuk kepada raja dan kaum bangsawan oleh para pagganti, kelompok penyorak dan warga masyarakat yang terlibat dalam perburuan rusa, memperoleh pembenaran tradisi budaya. Dasar alasannya juga serupa dengan alasan patorani, yaitu rusa-rusa akan lebih gampang ditangkap bila caci-makian semacam itu dilontarkan.

Kearifan dan kelapangdadaan, asagénang attarong seorang raja juga diukur oleh kemampuannya menerima caci maki semacam itu. Acara majjonga menjadi suatu ruang dan waktu bebas norma sosial yang baku.

(3)

Dua misal tradisi pembebasan diri dari ikatan norma-norma dari etnik Bugis dan Makassar yang memperoleh pembenaran dalam tradisi budaya kedua etnik itu, hakikatnya merupakan pembenaran atas terjadinya deviasi dari norma-norma dan aturan-aturan sosial budaya. Persoalannya ialah, pertimbangan kultural apa yang memungkinkan atau yang mendorong terjadinya pembenaran semacam itu? Alasan tradisional yang dikemukakan oleh masyarakat patorani, maupun oleh masyarakat pajjonga, merupakan alasan tak rasional yang cenderung hanya untuk menutupi dasar pertimbangan kultural yang sebenarnya. Dalam hubungan dengan kelong patorani, saya beranggapan: "Sebagai puisi, Kelong Patorani lebih cenderung merupakan pencerminan kebebasan dan pembebasan jiwa 'penyair'-nya. Penggunaan diksi yang mengasosiasikan suasana dalam aktivitas hubungan seksual, pada hakikatnya bukanlah ekspresi kepornoan yang bermaksud merangsang nafsu rendah manusia. Ia lebih merupakan produk penajaman imajinasi, dan merupakan liberasi, pembebasan diri dari rasa kejenuhan, kesepian dan kerinduan pada kehidupan di daratan. Dalam suasana pembebasan diri dan kebebasan di tengah lautan bebas, ikatan norma-norma sosial dirasakan melonggar, sehingga dirasakan adanya kebebasan berekspresi, kebebasan menggunakan diksi yang pantang diucapkan di dalam kehidupan masyarakat, tanpa keraguan memperoleh sanksi sosial". Self liberation, atau pembebasan diri adalah sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia baik secara sosial maupun dan terutama individual. Di bawah tekanan, ikatan dan paksaan norma-norma dan aturan-aturan, diperlukan adanya ruang dan waktu liberasi untuk bernafas, guna memperoleh kesegaran dalam kehidupan.

Terbukanya ruang dan waktu bebas norma merupakan kanalisasi perasaan terkekang yang apabila tidak tersalurkan berpotensi mendobrak paksa norma-norma dan aturan-aturan itu. Raja dan para bangsawan, yang di dalam kehidupan sehari-hari diperlakukan sebagai turunan ‘langit’ dengan berbagai tata cara protololer yang ’membelenggu’ sesuai ketentuan tradisi budaya mengalami proses pembumian, ‘pemanusiabiasaan’. Mereka dibebaskan dari belitan aturan protokoler keistanaan, ditarik dan dibumikan memasuki dunia vulger dan terbuka. Tradisi majjonga memberi izin kepada rakyat dan raja merasakan kesesamaan, equalitas. Kesesamaan atau equalitas hanya mungkin bila ada pembebasan atau liberasi. (Makanya, seruan Revolusi Perancis dimulai dengan liberty, lalu equality dan fraternity). Jarak dan jenjang stratifikasi sosial menjadi kabur, memungkinkan terciptanya keadaan saling memahami dan terjalinnya hubungan keakraban. Kematangan, pengendalian emosi, kearifan, kualitas keberadaban seorang raja diukur dari kemampuannya berlapang dada menerima kritik dan caci maki dalam acara majjonga itu.

(4)

Dua misal tradisi budaya di atas terlahir dari dua lapisan sosial berbeda. Nelayan patorani secara tradisional dianggap berasal dari lapisan masyarakat ‘biasa’, sedangkan yang terlibat dalam aktivitas majjonga umumnya berasal dari lapisan sosial yang dianggap ‘tinggi’ dalam stratifikasi sosial Bugis Makassar. Namun ternyata, manusia sekalipun berada pada lapisan sosial berbeda tetap memiliki sifat dan pembawaan eksistensial yang sama. Mereka sewaktu-waktu memerlukan adanya pembebasan dari kejenuhan rutinitas kehidupan, bahkan dari belitan aturan dan norma-norma.

Tidak dapat dipastikan apakah setiap budaya di dunia memiliki kecerdasan kultural menciptakan ruang bebas norma sebagai salah satu bentuk kanalisasi dari hasrat manusiawi dan sifat eksistensial manusia, akan tetapi sejumlah tradisi budaya di berbagai tempat menunjukkan adanya arena kultural seperti itu. Hyde Park di London adalah salah satunya. Di taman itu, siapapun dapat berorasi, mengejek, mencaci apapun dan siapapun, termasuk mencaci makin Ratu Inggris. Dalam bentuk lain, bila kita membaca kisah 1001 malam (Alfa Lailatul wa Laila) yang menceritakan Sultan Baghdad, Sultan Harun Al-Rasyid yang diam-diam keluar istana sambil menyamar mengunjungi pemukiman rakyatnya, maka kita pun merasakan bahwa kelakuannya itu pun terdorong oleh hasrat dan sifat eksistensial manusia untuk keluar dari rutinitas kehidupan sehari-hari, membebaskan diri dari kejenuhan sebagai junjungan yang dipuja-puja, di samping untuk tujuan memahami dan ‘turut mengalami’ peri kehidupan nyata rakyatnya, seperti yang secara tersurat dinyatakan dalam cerita 1001 malam.

(5)

Budaya yang memiliki kecerdasan kultural pasti tidak banyak menciptakan perangkat-perangkat yang mengekang dan membelenggu, akan tetapi akan mempersiapkan perangkat budaya yang memberikan peluang kepada warganya untuk mengekspresikan kemerdekaan manusiawinya yang ekssistensial, kemerdekaan untuk memanusia.

Demikianlah, tradisi budaya orang Bugis dan Makassar telah menunjukkan kearifan dan kecerdasan kulturalnya merespons sifat eksistensial manusia, memberikan kebebasan dan kesempatan kepada manusia melakukan pembebasan diri dari berbagai kekangan dan ikatan adat, akan tetapi tetap berada dalam bingkai adat itu sendiri; menjadikan manusia dapat merasakan hidup lebih wajar dan manusiawi.

RESO, PETANI, DAN KEMISKINAN

Anwar Ibrahim

Bertolak dari paham bahwa kebudayaan adalah kata kerja, Rahman Arge dalam dialog budaya ‘Himpunan Indonesia untuk Pemberdayaan Pengetahuan dan Ekspresi Budaya Tradisional’ di Makassar menekankan perlunya dihayati kembali makna kata réso, yang dipadankannya dengan istilah etos kerja. Arge melihat, orang Bugis Makassar sesungguhnya memiliki etos kerja tinggi. Disebutnya orang Bugis-Makassar yang merambah hutan-hutan di Papua dan di Kalimantan, serta perantau-perantau Bugis-Makassar di berbagai tempat di nusantara, dengan réso-nya melakukan ‘kerja keras’ bertarung berhadapan dengan berbagai tantangan, bahkan dengan mempertaruhkan hidupnya, sekalipun.

Apa sebetulnya yang dianggap réso oleh Rahman Arge itu? Bila diperhatikan esei-esei yang pernah ditulisnya, akan ditemukan beberapa eseinya yang mengutip pandangan Gunnar Myrdal, penulis buku Asian Drama. Myrdal menyebutkan tiga belas isi etos kerja yang perlu dimiliki bila pembangunan di Asia mau disebut berhasil: efisiensi, kerajinan, tepat waktu, sederhana, jujur, rasional mengambil keputusan atau melakukan tindakan, terbuka untuk perubahan, gesit memanfaatkan kesempatan, bekerja enerjik, mandiri, bersedia kerja sama, dan memiliki pandangan ke depan. Perwujudan nilai réso seperti itulah kiranya yang dimaksudkan Arge sebagai sikap mantap atau perwatakan yang dimiliki oleh orang Bugis-Makassar perantauan.

Memang acapkali terdengar cerita sukses orang-orang Bugis-Makassar di perantauannya. Dalam arena Pertemuan Saudagar Bugis-Makassar, misalnya, senantiasa tampil berbicara perantau-perantau Bugis-Makassar yang berprofesi sebagai saudagar yang telah memperoleh keberhasilan, menceritakan kiat-kiat kesuksesannya. ‘Success story’ seperti tu menjadi cerita bersambung’ yang memberi masukan kepada masyarakat sehingga tertanam dalam ‘kepercayaan’ bahwa perantau-perantau Bugis-Makassar adalah orang-orang yang memiliki etos kerja tinggi. Akan tetapi terdapat pula sisi kecenderungan lain dalam penyebaran cerita sukses tersebut. Cerita keberhasilan orang-orang Bugis-Makassar perantauan senantiasa dikaitkan dengan ‘kemiskinan’ mereka yang menetap di daerah kelahirannya di Tanah Bugis-Makassar, terutama mereka yang begelut dengan kehidupan sebagai petani padi. Lalu muncul anggapan, orang perantauan memiliki etos kerja yang tinggi, sedang petani penggarap sawah senantiasa dianjurkan untuk meningkatkan etos kerjanya. Seringkali orang tergelincir pada anggapan bahwa kaum tani Bugis-Makassar yang tetap menetap dan berkerja di daerahnya sendiri mengalami kemiskinan, karena etos kerja mereka yang rendah. Anggapan seperti itu pernah dilontarkan Huntinton yang menggunakan istilah ‘the lazy Malay’, si Melayu malas, yang ditujukan kepada penduduk nusantara.

Oleh karena itu, perlu dihindari kecenderungan menyerukan peningkatan etos kerja yang didasari pandangan dan penilaian bahwa yang menjadi sasaran seruan itu malas, tidak memiliki etos kerja memadai, karena etosnya tidak sesuai dengan harapan atau keinginan sang penyeru. Perlu disadari, etos kerja tidak tumbuh dari seruan dalam pidato pejabat, simposium atau seminar akademisi dan intelektual, atau anjuran otoritas-otoritas dalam masyarakat. Etos, seperti dikemukakan Myrdal adalah suatu ‘sikap mantap’ yang mempengaruhi bagaimana seseorang atau sekelompok orang mendekati atau melakukan sesuatu. Penumbuhan ‘sikap mantap’ itu bukan secara mendadak. ‘Sikap mantap’ itu tumbuh dan berkembang melalui suatu proses yang panjang, melalui suatu proses budaya.

Franz Magnis Suseno dengan tegas mengemukakan, etos adalah sesuatu yang dimiliki atau tidak dimiliki, dan yang tidak dapat dipaksakan. Pertama-tama etos adalah istilah deskriptif, menggambarkan sikap mental yang ada, namun kemudian menjadi istilah normatif. Hal itu disebabkan oleh karena adanya orang atau otoritas yang mengharapkan bahkan menuntut adanya sikap tertentu seperti yang diharapkannya dan menilai sikap tertentu yang dimiliki orang lain sebagai tidak memadai. Otoritas itu menilai, etos yang dimiliki orang lain ‘tidak sesuai’ dan perlu disesuaikan dengan kehendak otoritas itu.

Memang, etos dapat dikonstruk dalam proses sosial. David M. Clelland yang melakukan eksperimen di kaki pegunungan di India yang terkenal dengan The Achieving Society-nya menunjukkan bahwa ‘need for achievement’ adalah sesuatu yang dapat ditumbuhkan dan dikembangkan, dengan menciptakan ‘iklim’ lingkungan yang mendorongnya. Artinya, ‘iklim’ lingkungan sanga berpengaruh pada pengembangan etos kerja masyarakat.

******

Arge benar dengan pernyataannya bahwa orang Bugis-Makassar pada umumnya memiliki etos kerja tinggi, mampu menghayati dan mewujudkan makna kata réso dalam kehidupannya. Kaum tani yang tetap setia menggarap sawah di tanah kelahirannya tidak terkecuali. Budaya masyarakat Bugis-Makassar mengajarkan lewat ungkapan puitiknya, bahwa hanya réso atau usaha keraslah, yang menjadi jalan bagi Tuhan untuk melimpahkan kasihnya, “résopa temmanginngik nalétéi pammasé dewata. Ungkapan puitik lebih ‘keras’, yang mengajarkan perlunya ketekunan dan kerja keras tampak dalam puisi (kélong) berbahasa Makassar: “ri émpoang katallasang, maté assongok céraka, bajikanngiya, na maté tannganréya” atau ‘di dalam kehidupan, mati berkeringat darah, masih lebih baik, dari pada mati tidak makan (kelaparan).

Budaya ideal Bugis-Makassar melengkapi réso itu dengan perangkat nilai-nilai budaya. Dalam cerita-cerita rakyat Bugis-Makassar, baik tersirat maupun tersurat ‘diwariskan’ nilai-nilai yang harus menyatu dengan réso seperti tampak dalam cerita rakyat dari Bone, di bawah.

“Seorang kakek ketika hendak meninggal dunia memberikan harta modal yang sama besarnya kepada dua orang cucunya, disertai dengan pesan: “gunakan modal ini berusaha. Akan tetapi, dalam berusaha ada tiga hal yang kamu lakukan, yaitu kamu tidak boleh terkena sinar matahari, kalau kamu makan harus makan yang enak, dan kalau kamu tidur harus tidur yang nyenyak. Kedua cucu itu berangkat pergi berusaha. Cucu yang tua menuju ke Balannipa, Sinjai. Pekerjaan pertama yang dilakukannya ialah membuat kereta dan payung. Itulah yang digunakannya pergi berusaha, sehingga tidak pernah terkena sinar matahari. Di tempat berusahanya, dia memesan makanan yang serba enak serta menyiapkan tempat tidur yang empuk (dalam cerita disebut kasur besusun tujuh). Alhasil 6 bulan kemudian, dia bankrut. Dia pun marah menganggap pesan kakeknya itu pesan yang salah. Akan tetapi, cucu kedua yang berusaha di Sengkang, Wajo melakukan hal berbeda. Subuh sebelum fajar menyingsing dia sudah berangkat ke tempat berusaha dan pulang sesudah sholat maghrib. Dia pun tidak pernah terkena sinar matahari. Dia makan setelah perutnya sungguh-sungguh telah keroncongan, dan tidur pada saat dia sungguh-sungguh tidak mampu lagi menahan rasa kantuknya. Maka makannya terasa sangat enak, dan tidurnya terasa sangat nyenyak.

Cerita rakyat di atas secara tersirat menunjukkan nilai budaya yang seharusnya melekat dalam makkaréso, yaitu nilai tekun, rajin dan hemat. Secara tersirat ditunjukkan nilai yang dapat menghancurkan réso, yaitu perilaku memanjakan diri (disebut: memanjakan tubuh), hedonistik, dan konsumptivistik. Dalam cerita rakyat dari perbatasan Enrekang dan Sidenreng Rappang secara tersurat disebutkan sejumlah nilai budaya yan seharusnya melekat dalam makkaréso.

Seorang kakek ketika hendak meninggal dunia mewariskan uang tiga sen kepada cucunya yang sudah yatim piatu, disertai pesan bahwa uang itu harus digunakan membeli ‘ilmu’. Setelah kakeknya meninggal dunia, sang cucu pun pergi meninggalkan kampungnya, merantau untuk ‘membeli ilmu’. Dalam perantauannya, dia bertemu seorang tua yang tampaknya bijaksana. Kepada orang tua itu dia bertanya, adakah ilmu yang bisa diturunkan kepadanya? Orang tua mengiyakan, tetapi ilmu itu harus dibeli dengan harga tinggi, yaitu satu sen. Mereka pun sepakat, duduk bersila dengan khusyuk di atas batu datar. Sambil menjabat tangan si murid, orang tua itu berkata, “jangan membedakan yang sedikit dengan yang banyak”. Anak muda itu bertanya, “hanya ilmu itu?”. Selanjutnya anak muda itu melanjutnya perjalanan, dan bertemu lagi seorang tua berambut putih. Dia pun minta kesediaan orang tua itu menurunkan ilmunya.”Ya, ilmunya ialah, ‘bila kau bekerja pada orang lain, jangan mengambil sesuatu yang bukan hakmu’ artinya kamu harus selalu berlaku jujur”. Ilmu itupun dibayar satu sen. Dalam perantauan selanjutnya, dia bertemu lagi dengan seorang tua berjenggot putih. Setelah berdialog, sang orang tua berkata: “Kalau kamu diberi kepercayaan atau amanah, kau harus menjaga kepercayaan itu, tidak boleh mengkhianatinya” Habislah uang tiga sen warisan kakeknya.

Diapun mencari tempat bekerja. Dia diterima bekerja sebagai penjaga toko oleh seorang saudagar kaya, namun gajinya sangat kurang. Akan tetapi, dia ingat ilmu pertamanya, tidak membedakan yang sedikit dengan yang banyak. Dia tetap bekerja dengan tekun. Berdasar pada ilmunya yang kedua, dia tidak pernah mengambil sesuatu yang bukan haknya. Dia jujur menjalankan usaha majikannya. Suatu waktu majikannya mau pergi berlayar. Dia diberi tugas menjaga anak gadis dan istri majikannya selama majikan itu alam pelayaran. Berkali-kali dia tergoda oleh kecantikan dan kemanjaan anak gadis majikannya, bahkan pada istri majikannya. Namun berkat ilmunya yang ketiga, dia berhasil mengatasi godaan itu.

Setelah sang majikan pulang berlayar, dan melihat kenyataan bahwa usaha yang ditingalkanya berkembang pesat, maka sang majikan menyerahkan sebagian usahanya serta mengawinkannya dengan anak gadisnya.

Cerita rakyat tersebut secara tersurat menunjukkan tiga nilai yang melekat pada makkaréso, yaitu rasa syukur dengan mensyukuri apa pun yang diperoleh tanpa memandang perbedaan jumlahnya, memelihara kejujuran, dan menjaga kepercayaan atau amanah yang diberikan oleh orang lain.

Sesungguhnya banyak pesan, pappaseng yang tertuang dalam bentuk puisi, cerita rakyat, dan ungkapan kultural Bugis-Makassar yang berkenaan dengan etos kerja atau réso dan nilai-nilai budaya yang menyertainya. Umumnya pesan-pesan kultural itu menghubungkan perilaku makkaréso dengan nilai-nilai moral dan akhlak menjalankan usaha atau pekerjaan. Orang Bugis-Makassar, baik yang melakukan perantauan maupun tetap tinggal makkaréso di negeri Bugis-Makassar sesungguhnya memiliki warisan kultural réso atau etos kerja yang tinggi. Réso tumbuh dan berkembang dari rahim budaya mereka.

*****

Dalam konteks makakaréso tersebut, bilamana diperhatikan kehidupan masyarakat di desa kediaman petani dengan mata dan hati terbuka, maka akan sulit ditemukan alasan kuat membenarkan tesis dan ungkapan ‘the lazy Malay’ dari Huntinton. Sebaliknya akan disaksikan berbagai hal mencengangkan, dan ironik: etos kerja petani berjalan beriring bergandengan dengan kemiskinan. Petani-petani penggarap sawah di Tiroang Pinrang, atau di Amparita Sidrap, atau di Lebbak-é Soppeng, atau di Béngo Bone Barat, seusai sholat subuh telah meninggalkan rumahnya menuju ke sawah mereka. Lalu mereka bekerja sepanjang hari. Dari pagi hari sampai matahari berada di atas ubun-ubunnya mereka mencangkul atau membajak, lalu istirahat makan siang (yang diantarkan dari rumahnya), sholat lohor, bekerja lagi, lalu sholat azar. Pulang ke rumah ketika matahari telah terbenam di barat.

‘Sikap réso mantap’ yang tumbuh dari rahim budayanya tidak pernah mengizinkannya untuk ‘mammatu-matu’, bermalas-malasan. Dibimbing ‘kearifan lokal’ tradisionalnya, mereka tidak membiarkan tanah mereka menganggur. Tanah garapan mereka sungguh-sungguh diolah dan dimanfaatkan sebaik-baiknya. Tanpa perlu ada anjuran untuk menanam palawija di antara musim panen dan musim tanam, kaum tani menanam kacang-kacangan, jagung, sayur-sayuran, dan produk pertanian lain yang mungkin tumbuh di lahannya. Mereka terus-menerus ‘makkaréso’, melakukan kerja sebagai perwujudan dari etos yang mereka miliki.

Akan tetapi, sensus kemiskinan dari Biro Pusat Statistik menunjukkan, justru golongan masyarakat dengan etos kerja seperti itu yang paling banyak tercatat sebagai orang-orang miskin. Petani penggarap sawah masih hidup dengan ekonomi ‘sambung nyawa’. Merekalah merupakan golongan masyarakat terbesar yang menjadi penerima santunan Rp. 100.000,- per-bulan, santunan yang merupakan perwujudan dari kebijakan ‘kebajikan’ pemerintah, yang berperan sebagai sinterklas.

Keluarga petani penggarap sawah, produsen beras, masih merupakan golongan masyarakat yang mengalami kesulitan luar biasa menyekolahkan anak-anaknya, bahkan untuk sampai ke tingkat SLTA sekalipun. Awal tahun 2000-an lalu, hanya sekitar 12 – 15 orang anak petani penggarap sawah yang terdaftar sebagai mahasiswa di antara kurang lebih 25.000 mahasiswa Universitas Hasanuddin. Itupun karena pembiayaan mereka dibantu secara patungan oleh kaum kerabatnya, “demi mengangkat nama dan harkat keluarga”.

******

Deskripsi di atas menunjukkan bahwa etos kerja tinggi kaum tani di negara kita bukanlah jaminan untuk hidup layak. Kemiskinan kaum tani tidaklah terutama disebabkan karena mereka tidak memiliki etos kerja, atau karena mereka adalah ‘the lazy Malay’. Ada faktor determinan lain yang rupanya lebih menentukan. Etos kerja petani dapat saja menjadi mandeg atau tersumbat oleh proses sosial ekonomi dan politik yang berlangsung di sekitarnya, yang memberi pengaruh besar pada kehidupannya.

Secara teoretik ‘kerja’ harus berimbang dengan penghasilanyang diperoleh dari hasil kerja itu. Etos kerja petani selayaknya menerima imbalan memadai yang memungkinkannya terlepas dari kemiskinan dan kondisi ekonomi ‘sambung nyawa’. Dan itulah yang belum diterima para petani. Betapa pun tinggi etos kerjanya, betapa pun rajinnya mereka bekerja, dan berapa pun padi atau beras yang diproduksinya, mereka tetap belum beranjak dari realitas kehidupannya yang diliputi ketidakcukupan.

Program ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian, memang relatif dapat meningkatkan produksi padinya, akan tetapi efeknya tetap tidak signifikan dalam perubahan kehidupan petani. Walaupun daerah Sulawesi Selatan surplus beras, dengan produksi 1,2 juta ton, sehingga dapat menyuplei daerah lain, namun berapa besar pengaruhnya pada kehidupan petani? Mereka tetap saja menjadi penerima santunan kemiskinan. Bahkan andaikata tesis John Dixon, Gulliver, dan Gibbon dalam buku mereka yang diterbitkan oleh FAO dan The World Bank tahun 2001 berhasil diaplikasikan, belum juga ada jaminan bahwa kaum tani dapat memperoleh perbaikan taraf kehidupan mereka. Dixonet.al. dalam Farming System and Poverty: Improving Farmer’s Livelihood’s in a Changing World, menawarkan 5 jalan keluar yaitu (1) Intensifikasi produksi, (2) Diversifikasi aktivitas pertanian, (3) Memperluas lahan perkebunan, (4) Mencari mata pencaharian lain, dan (5) Meninggalkan sistem pertanian tradisional dan melakukan inovasi dalam pertanian.

Faktor-faktor non-pertanian justru lebih berpengaruh. Walaupun produk beras hasil kerja petani secara politis dinilai tinggi di negeri ini oleh penentu kebijakan, yang memperoleh sebutan mentereng sebagai ‘komoditi strategis’, namun karena penilaian itu pulalah sehingga produk beras petani memperoleh penghargaan rendah yang tidak setimpal dengan ‘etos’ kerja dan modal produksi lainnya yang dikeluarkan petani dalam proses produksinya. Sistem politik ekonomi yang tampaknya terlalu memanjakan pemodal-pemodal besar, belum menunjukkan tanda-tanda akan berpihak kepada petani, berpihak kepada mayoritas pendududk Indonesia.

Memang, penentu kebijakan dengan sistematis membentuk sejumlah instansi yang mengurusi ‘komoditi strategis produksi petani’ ini. Dahulu ada yang disebut UBMR (Urusan Bahan Makanan Rakyat), kemudian Yayasan BAMA (Bahan Makanan), YBMR (Yayasan Bahan Makanan Rakyat), Dolog (Depot Logistik), BULDA (Badan Urusan Logistik Daerah), lalu ada KUD, PUSKUD, dan semacamnya; yang semuanya kemudian menjadi perusahaan penting. Ironiknya, produk beras petani tetap dinilai tinggi sebagai ‘komoditi strategis’, akan tetapi harganya ditekan sampai batas minimum, sehingga kehidupan petani tetap saja tidak dapat mengalami peningkatan. Ironiknya lagi, instansi yang mengurusi produk petani itu, tampak seperti yang telah dibuktikan di pengadilan, menjadi tempat sejumlah orang melakukan korupsi memperkaya diri sendiri.
*****

Beras adalah produksi perorangan atau atau produk keluarga petani. Artinya bukan produk dari suatu perusahaan besar. Jumlah keluarga petani produsen beras mencapai seratusan juta lebih. Hal ini memang berbeda dengan ‘komoditi strategis’ lainnya seperti BBM, atau listrik, atau telepon, yang dikelola oleh perusahaan besar yang melibatkan penentu kebijakan, sebagai pemegang saham, langsung atau tidak langsung. ‘Komoditi strategis’ jenis terakhir ini (BBM, listrik, telepon) memperoleh penilaian dan penghargaan yang lumayan tingginya. Setiap pemerintahan merasa perlu, dengan berbagai alasan, setiap tahunnya meningkatkan harga produk perusahaan tersebut. Akan tetapi produk petani yang menyangkut peningkatan kesejahteraan lebih separuh dari jumlah penduduk Indonesia, tetap harus dipertahankan serendah mungkin; bahkan ditekan lagi dengan kebijakan impor beras, dengan alasan klasik: menjaga stok pangan nasional.

Maka etos kerja petani pun tetap tidak memperoleh imbalan yang proporsional, dan cukup ‘dihibur’ dengan santunan kompensasi kenaikan harga BBM Rp. 100.000,- per bulan oleh pemerintah yang bergaya sinterklas. Artinya, penentu kebijakan tetap memelihara, menyantuni, dan mempertahankan kemiskinan mayoritas penduduknya.

*****

Etos kerja petani, bahkan etos kerja pada umumnya yang tumbuh dari rahim budaya dalam proses selanjutnya senantiasa menghadapi kemungkinan mengalami kemandegan, tersumbat oleh proses sosial ekonomi dan politik yang terjadi di sekitarnya. Menyerukan peningkatan etos kerja, apalagi kepada pekerja keras yang tetap mengalami kemiskinan, yang tidak disertai kebijakan untuk memberikan imbalan proporsional dan perbaikan proses sosial ekonomi dan politik di sekitarnya, hanya akan menimbulkan rasa mual dan rasa sekit pada mereka.

Lalu kita sang pemakan nasi beras produksi petani tanpa penelitian yang serius dengan latah mengikuti ungkapan Huntington mengenai ‘the lazy Malay’ tanpa menyadari bahwa sesungguhnya setiap kali kita makan nasi beras berarti kita menerima subsidi dari petani sekitar Rp. 2.000,- perliter beras. Tanpa rasa terima kasih yang wajar kepada kaum tani, kita bahkan ikut latah menuding dan mempersalahkan petani sebagai tidak mewujudkan nilai budaya réso atau etos kerja dalam kehidupannya.

Untuk memahami hal ini, kita perlu menjadi manusia yang membuka mata hati dan hati nurani. Kiranya begitulah, Pak Arge.

SANG HAKIM

Anwar Ibrahim

Suatu persidangan berlangsung di kerajaan Tosiwalu. Seorang pangeran bernama La Palalengi, anak kandung Raja Tosiwalu dihadapkan sebagai terdakwa. Persidangan dipimpin oleh seorang hakim perempuan, Putri Balala I Tenribali, kakak kandung La Palalengi. Persidangan berlangsung di pendopo kerajaan, disaksikan oleh seluruh rakyat Tosiwalu dan berlangsung alot serta menegangkan. Tuntutan dan pembelaan seluruhnya disertai dengan dalil-dalil hukum yang kuat, termasuk mengambil contoh yang disebut rapang atau jurisprudensi dari kasus-kasus yang pernah terjadi sebelumnya di kerajaan-kerajaan lain. Dari debat yang berkepanjangan itu (yang sesungguhnya bernilai sebagai debat penerapan hukum) Hakim Tenribali sampai pada keputusan yang berat.

Sebelum Hakim Tenribali menetapkan keputusan vonisnya, terlebih dahulu ia melepas fungsi dan peran hakimnya, dengan mengambil peran sebagai seorang kakak yang memanggil adiknya. Tenribali menumpahkan perasaan kasih sayangnya sebagai kakak kepada adiknya. Setelah itu, ia ‘mengenakan kembali’ perannya sebagai Hakim yang akan menjatuhkan vonis kepada terdakwa. Hakim Kerajaan Tosiwalu itu, I Tenribali kemudian memvonis mati adik kandungnya sendiri, karena terbukti telah menzinahi istri seorang prajurit ketika suaminya sedang berperang, yang mengakibatkan perempuan itu meninggal dunia. Raja dan permaisuri yang putra kandungnya divonis mati, menerima kenyataan penegakan hukum itu, serta tidak menggunakan kekuasaannya mengintervensi keputusan pengadilan. Cerita tersebut tertuang dalam satu karya sastra Bugis ‘Pallawagau na I Tenribali’.

Kerajaan Tosiwalu tidak ditemukan dalam deretan nama-nama kerajaan di Sulawesi Selatan. Ia merupakan kerajaan fiktif. Akan tetapi, dalam penceritaan karya sastra ‘novel’ Bugis itu, nama-nama kerajaan Sidenreng dan Wajo tertera di dalamnya, bahkan Pallawagau diceritakan sebagai putra mahkota kerajaan Sidenreng. Di samping itu diceritakan pula kerajaan Luwu, Toraja, dan disinggung pula kerajaan Bone. Nama Tosiwalu pertama disebut sebagai akronim dari kerajaan Toraja, Sidenreng, Wajo, dan Luwu; kemudian disebut, istilah Tosiwalu berarti saling menyantuni, tolong menolong dan semacamnya. Diceritakan bahwa kerajaan Tosiwalu didirikan oleh seorang bangsawan Wajo yang meninggalkan negerinya karena difitnah oleh pejabat-pejabat korup di Wajo, kemudian orang-orang yang diperlakukan sewenang-wenang dan terusir dari Toraja, Sidenreng, Wajo dan Luwu menyatu di kerajaan Tosiwalu itu.

*****

Karya Sastra Bugis Pallawagau na Tenribali itu menceritakan kisah percintaan antara putra Sidenreng Pallawagau dengan I Tenribali yang dibumbui dengan cerita kepahlawanan dan peperangan antara kerajaan Tosiwalu dengan kerajaan fiktif lain yang berada di bawah perlindungan Wajo, serta perlawanan internal dari pasukan utara Tosiwalu yang dibantu Toraja, namun inti cerita yang sesungguhnya berkisar pada masalah penegakan hukum.

Prinsip-prinsip penegakan hukum Bugis seperti yang dikemukakan Puang ri Maggalatung dari Wajo, La Pagala Nénék Mallomo dari Sidenreng, Kajaolaliddo dari Bone, Maccaé ri Luwu, dan Arung Bila dari Soppeng, ‘didiskusikan’ dalam persidangan yang mengadili La Palalengi itu.
Dalam ‘novel’ Bugiis itu dikemukakan antara lain, pegangan yang diyakini oleh hakim, raja dan permaisuri, yang dinyatakan secara puitik dalam karya sastra itu:

Nanigi-nigi lésangiwi puraonro
taro bicaranna warik-é
bicaranna poadaénngi culéwenngé
tomaégaétogi
pattuppuk wanuwatoggi
pawarik gauk toggi
napatujui salaé
napassalai tujué
nasulléni poraonro
taro bicaranna panngadereng
pettuang tenrirui,
teani temmakua
tajenni lépu jajaremmu
nasalossok-i ropok déwata
mallessek raukkajué
makkalappareng
maté lupuk tau olokolok lampenni tanaé,
lajok rakkoni.


yang pengertian bebasnya: “Barangsiapa menghindari pelaksanaan hukum yang telah ditetapkan (adek puraonro = adat atau hukum tetap), apakah orang banyak, penguasa dan pejabat negara, atau penegak hukum, yang membenarkan yang salah, menyalahkan yang benar, seenaknya mengganti atau menafsirkan aturan hukum yang ditetapkan panngadereng, mau tidak mau, nantikanlah bencana akan menimpamu, diturunkan oleh dewata, kemarau berkepanjangan, dedaunan mengering, akan bergelimpangan manusia dan binatang mati kelaparan, dan tetumbuhan melayu kering”.

*****

Dalam ‘novel’ Bugis tersebut ditunjukkan dalam bentuk perumpamaan yang pernah terjadi pada masa lalu di kerajaan lain, bentuk jurispudensi atau rapang, bencana-bencana yang ditimpakan dewata akibat kesalahan hakim menafsirkan, menginterpretasikan atau menerapkan hukum, apalagi hukum yanhg disebut ‘adek puraonro’.

Hukum itu, terutama adek puraonro, berasal dari dewata, dari Pawinruk-é, Sang Pencipta yang diturunkan untuk menata dan menertibkan kehidupan manusia dan untuk memelihara keseimbangan kosmos. Para penegak hukum itulah yang bertugas ‘mewakili’ Sang Pencipta untuk memelihara, menerapkan dan menegakkan pelaksanaan hukum pada manusia. Kelalaian hakim, yang tak disengaja sekalipun akan memperoleh ganjaran dari déwata, apalagi bila kesalahan penerapan hukum itu adalah kesalahan yang disengaja, termotivasi oleh pertimbangan kepentingan hakim itu sendiri.

Oleh karena hukum berasal dari Sang Pencipta, maka penerapan dan pelaksanaannya yang ‘diwakilkan’ kepada penegak hukum, kepada pabbicara, senantiasa berada di bawah tilikan dan pengawasan Sang Pencipta. Déwata memberikan sinyal lewat peristiwa alam bilamana penegak hukum keliru, salah memutuskan perkara atau menyalahgunakan kedudukannya sebagai penegak hukum. Kemudian, sanksi atau hukuman yang diberikan oleh déwata tidak hanya ditujukan kepada penegak hukum, melainkan akan menimpa seluruh kerajaan dan segenap lingkungan kehidupan: manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan.

Oleh karena keyakinan seperti itulah maka Hakim I Tenribali sungguh-sungguh mengkaji dan mempertimbangkan keputusan yang akan diambilnya. Demikian pula Raja dan permaisuri tidak mengintervensi keputusan Hakim Tenribali, sekalipun baik hakim maupun terdakwa adalah putra-putrinya sendiri. “Lebih baik menghilangkan telur busuk satu biji dari pada mengorbankan telur sekeranjang”, sekalipun telur busuk itu adalah putranya. Itulah pegangan yang diyakini kebenarannya oleh Raja dan permaisuri.

****

Dalam budaya hukum Bugis Makassar memang ditemukan berbagai peristiwa historik yang tertuang di dalam lontarak mengenai keteguhan sikap hakim melaksanakan tugasnya. Cendekiawan dan Hakim La Pagalla Nenek Mallomo, hakim Kerajaan Sidenreng (abad ke-17), dan Pabbicara Kayyang, Hakim Kerajaan Balannipa Mandar (abad ke-19) dikisahkan telah menghukum mati anak kandungnya sendiri. Nénék Mallomo menghukum mati putranya karena mengambil sebatang kayu yang sudah diruncing sebelah menyebelah ujungnya yang bukan miliknya atau bukan dia yang meruncingnya. Kayu itu adalah bagian dari alat membajak sawah. Pabbicara Kayyang dari Balannipa Mandar, seorang perempuan penegak hukum, memvonis dan mengeksekusi mati putranya di atas pangkuannya sendiri karena putranya telah berlaku sewenang-wenang kepada rakyatnya.

Demikian pula Arung Majang yang mengeksekusi mati cucunya sendiri yaitu raja Bone La Inca Matinroé ri Addénénna, karena kesewenang-wenangan Raja Bone itu, serta pengadilan adat Wajo yang menghukum mati raja Wajo Batara Wajo III, dan keputusan adat Gowa yang mempersona-non-gratakan raja Gowa Tunipasulu. Peristiwa histrorik itu adalah sebagian kecil dari contoh keteguhan sikap para hakim penegak hukum yang didokumenkan di dalam lontarak sebagai warisan kultural orang-orang Bugis-Makassar dan Mandar.

*****

Walaupun cerita Pallawagau dan I Tenribali adalah karya sastra yang bersifat fiktif, namun diskusi dan debat hukum yang terkandung di dalamnya menunjukkan berbagai hal yang bersifat substantif dalam hukum, interpretasi dan penerapannya dalam kehidupan nyata. Cerita inipun menunjukkan intipati pandangan kultural orang Bugis-Makassar mengenai hukum.

Sunday, August 23, 2009

SEMIOTIKA KEMISKINAN

Alwy Rachman
Konteks 1:
Di India, di dalam Masyarakat Hindu Ortodoks, seorang lelaki akan mengumpul kekayaan pada 3 tahap pertama dalam daur hidupnya --- masa muda, masa dewasa, dan masa setengah baya--- dan kemudian menjadi sannyasa di usia tua dengan cara mengabaikan keluarga, melepaskan ikatan-ikatan kekerabatan dan mengembara di seluruh India dengan cara mengemis untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan religius. Baginya, kesejahteraan tidak akan pernah membebaskan manusia dari ilusi kehidupan. Kesejahteraan tidak akan pernah mendatangkan kedamaian abadi.
Konteks 2:
Di Amerika, masa tua harus dikalkulasi secara ketat. Orang Amerika akan mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya, karena hari tua dilihatnya sebagai hari-hari yang ikut ditentukan oleh sistem ekonomi kapitalis yang menekankan konsumsi material ketimbang eksplorasi spiritual.

Dua konteks di atas mewakili dua dunia --- Timur dan Barat. Dua dunia dengan dua lambang dan dengan dua commonsense. India mengutamakan dunia dalam (inner world) dan Amerika lebih mengedepankan dunia luar (outside world). India bersandar pada dunia batin dan Amerika berpegang pada dunia materi. Yang satu termotivasi oleh kultur dan yang lain oleh ideologi.

Commonsense adalah communal sense, logika kolektif yang dimotivasi oleh kepentingan kebudayaan yang seringkali menaturalisasi kepercayaan-kepercayaan yang pada kenyataannya hanya bersifat sosial dan bersifat konvensional. Perempuan dan kemiskinan seringkali diletakkan ke dalam kerangka commonsense seperti ini. Itu pula yang menjadi penjelas, mengapa di masyarakat yang memegang nilai-nilai patriarki secara kuat, commonsense tentang perempuan banyak dijumpai. Domestikasi perempuan, kompetisi lambang-lambang melalui tubuh perempuan, kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan perempuan (trafficking), incest, pornografi, hingga pornolinguistik adalah sederetan contoh multiplier effect dari naturalisasi tubuh perempuan yang sesungguhnya dapat dijelaskan berdasarkan pola hubungan kekuasaan yang hidup di masyarakat.

Naturalisasi tubuh sesungguhnya merupakan bagian penting dari cara memahami realitas kemiskinan yang menimpa perempuan. Pemahaman tentang kultur kemiskinan, tanpa mengaitkannya dengan jaring-jaring lambang dalam nature, hanya akan membangun argumen-argumen yang benar-benar terjerumus. Kultur kemiskinan akan dilihat sebagai masalah besar, sebagai penyakit sosial, dan sebagai penghambat kemajuan. Teori “kultur kemiskinan” sendiri sesungguhnya diperkenalkan oleh Oscar Lewis pada saat mempelajari kemiskinan di Meksiko, Puerto Rico, San Juan, dan New York.

Teori ini memandang bahwa kelompok miskin memiliki kecenderungan “berpikir-yang-penting-ada-sekarang” (present-mindedness) dan “gila-akan-konsumsi” (obsessive consumption). Kecenderungan ini dianggap sebagai penghalang utama dari mobilitas ekonomi kelompok-kelompok miskin. Dalam keadaan demikian, kelompok-kelompok miskin akan mengembangkan karateristik dan nilai yang tidak sama dengan kelompok-kelompok bukan-miskin. Karakteristik ini dikenali dalam bentuk “hilangnya masa kanak-kanak”, “terjadinya inisiasi seks bebas di usia dini”, “perkawinan bebas”, “menelantarkan istri dan anak”, “berkembangnya keluarga yang berpusat pada ibu”, “tidak adanya ruang-ruang pribadi”, dan “hancurnya solidaritas keluarga sebagai akibat dari persaingan antara saudara”.

Teori ini juga percaya bahwa kelompok-kelompok seperti ini akan bersikap apatis terhadap politik, memperbesar keluarga-keluarga broken-home, sekaligus pasif terhadap keadaan ekonomi mereka. Dan, kelompok-kelompok miskin percaya bahwa mereka tidak dapat mengentaskan dirinya dari situasi sosial seperti ini, sekalipun mereka tidak miskin lagi.

Teori ini mendapat perlawanan dari berbagai kalangan, terutama kalangan sosiolog, ekonom, dan antropolog. Ketiga kalangan ini berpendapat bahwa kultur, nilai, dan kesadaran sosial kelompok-kelompok miskin sama saja dengan kelompok-kelompok masyarakat lain. Kurangnya peluang dan tidak adanya kendali atas faktor-faktor di sekitar mereka, membuat kelompok-kelompok miskin ini lebih mengembangkan kultur sebagaimana yang digambarkan oleh Lewis. Ketiga kalangan ini justru menyarankan agar teori tentang “kultur kemiskinan”, sebaiknya dikubur saja. Teori ini dianggap akan semakin menjerumuskan kelompok-kelompok miskin.

Sikap oposisi terhadap perspektif teoretis Lewis membawa ilmuan-ilmuan sosial mencari perspektif baru di dalam memahami akar-akar kemiskinan. Lambang-lambang sosial yang ditarik dari situasi sosial mutakhir kelompok-kelompok miskin dianggap tidak lagi memadai untuk mengurai penyebab-penyebab kemiskinan. Perempuan-perempuan miskin akan kehilangan sejarahnya sendiri di hadapan perspektif seperti ini. Kerja keras, solidaritas, empati di antara sesama, daya tahan atas derita, strategi survival, dan kepemimpinan perempuan tidak lebih dari sehelai “daun gugur” yang tak pernah berarti apa-apa. Lalu, tanggungjawab kolektif masyarakat, sistem pemerintahan, sistem politik, sistem ekonomi, dan daya dukung kebudayaan dianggap tidak bermasalah, dan bukan menjadi bagian dari jejaring awal penyebab kemiskinan. Ternyata, pada akhirnya, banyak ilmuan sosial menjadi “narapidana” oleh “present-mindedness” (“berpikir-yang-penting-ada-sekarang”).

Piramida dan Hirarki Kemiskinan

Di bulan Mei 1998, Nilüfer Catagay menulis satu kertas kerja yang kemudian dipublikasi oleh UNDP. Di dalam kertas kerja itu, dengan merujuk Bob Baulch, Catagay menuliskan konseptualisasi baru dalam memandang kemiskinan. Konseptualisasi konfigurasi piramida kemis-kinan dapat dilihat sebagai berikut:

1. ­­­_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _PC _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
2. _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _PC+CPR_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
3. _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ PC+CPR+SPC_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
4. _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ PC+CPR+SPC+Assests_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
5. _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _PC+CPR+SPC+Assets+Dignity_ _ _ _ _ _ _ _ _ _
6. _ _ _ _ _ _ _ _PC+CPR+SPC+Assets+Dignity+Autonomy_ _ _ _ _ _ _

Keterangan:
PC, private consumption = konsumsi perorangan
CPR, common property resources = sumberdaya umum
SPC, state-provided commodities = ketersediaan komoditas
Assets= aset
Dignity=martabat
Autonomy=otonomi


Dengan piramida kemiskinan seperti ini, mencari hubungan antara gender dan kemiskinan semakin tidak gampang. Status dan hubungan antara konsumsi, properti, komoditas, aset, martabat, dan otonomi kelompok-kelompok miskin menjadi penting. Memandang kemiskinan perempuan semata-mata dari sudut status kelamin benar-benar akan menjadi kritis, untuk tidak menyebutnya cara seperti ini justru mempertegas “feminisasi kemiskinan”.

Catagay, berdasarkan latar piramida kemiskinan di atas, meyakini bahwa kemiskinan adalah sebuah proses, bukan sekedar konsep statis. Kelompok-kelompok miskin tidak dapat dilihat sebagai “korban” yang memerlukan uluran tangan semata. Mereka sebaiknya dipandang sebagai kelompok-kelompok masyarakat yang sedang berjuang mendapatkan sumberdaya dan properti serta aset. Atau, kalau mau dibalik, akses ke sumberdaya, pemilikan property dan pemeliharaan aset kelompok-kelompok miskin menjadi tanggungjawab bersama, terutama dari sisi pemerintahan.

Kebiasaan menggusur kelompok-kelompok miskin, dengan cara merusak properti yang menjadi miliknya, mengusir dari tanah yang menjadi asetnya, tidak hanya merupakan gambaran “buas” dari satu pemerintahan dan kelompok-kelompok kaya, tetapi juga merupakan tindakan yang antipengetahuan sekaligus melanggengkan kemiskinan. Tiba saatnya, pembangunan tidak hanya (meng)“ganti rugi” atas akses, properti, dan aset kelompok-kelompok miskin. Pembangunan seharusnya membenarkan dan mengakui bahwa di wilayah pusat-pusat bisnis, misalnya, aset tanah kelompok-kelompok miskin tetap saja dapat diakses oleh pemiliknya.

Dari sisi kebudayaan lokal, lambang-lambang kemiskinan juga dapat dikenali di Sulawesi Selatan ini. Hirarki lambang-lambang lokal ini, tentu saja, tidak sama dan tidak sebangun dengan model hirarki piramida kemiskinan Bob Baulch. Lambang-lambang kemiskinan tidak diisolasi dan ditakar pada dirinya sendiri. Lambang-lambang itu secara kebudayaan tersusun secara terbalik dan disandingkan dengan lambang-lambang kesejahteraan. Oleh karenanya, hirarki lambang-lambang ini, secara tentatif, dapat disebut “hirarki kemiskinan-kesejahteraan”, sebagai berikut:

1. _ _ _ _ _ __ _ _ _ _ _ _ _ _ __Tau Sugi _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
2. _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ __Tau Masagena _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
3. _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ Tau Kasiasi _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
4. _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _Tau Kasiasi Puppu _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _

(Yahya, Maret 2006).

Lambang “hirarki kemiskinan-kesejahteraan” ini bersifat statis. Ia tidak dapat dipakai untuk menjelaskan proses awal dari suatu kemiskinan. Hirarki ini, secara lambang, hanya memetakan dua keadaan yang diikuti dengan dua kategori; Sejahtera dengan kategori Tau Sugi dan Tau Masagena, dan Miskin dengan kategori Tau Kasiasi dan Tau Kasiasi Puppu.

Tidak tersedianya lambang-lambang kemiskinan yang dapat dipahami sebagai satu proses, mungkin menjadi penanda langsung bahwa pemahaman masyarakat Sulawesi Selatan atas kemiskinan, belum berubah. Kemiskinan tidak dapat diurai berdasarkan perubahan struktur sosial yang horizontal. Kedua, lambang-lambang kemiskinan yang masih statis di tingkat masyarakat, mungkin akan menjadi penghalang utama bagi upaya pengentasan kemiskinan. Ketiga, lambang-lambang statis seperti ini, boleh jadi menjadi penanda bahwa kelompok-kelompok miskin belum atau sama sekali tidak terintegrasi ke dalam perubahan sosial menuju demokrasi. Ilmu tentang lambang-lambang (semiotika sosial) memang bukan bagian dari “penyelesaian masalah”. Semiotika sosial sama sekali tidak dimaksudkan untuk menjawab “apa yang harus dipikirkan”. Ia hanya mengajak “bagaimana berpikir” dan “bagaimana menggeledah” apa yang terdapat di bawah permukaan.



















TRADISI SUAP, AKSELERATOR PENGHANCURAN NEGARA

Anwar Ibrahim

Dua Legenda
Ada legenda negeri Cina mengenai seorang kaisar dari dinasti Tang, Li Shin Minh namanya, yang menyuap Raja Akherat. Kaisar Li meninggal sebelum saat ajalnya, akibat pembalasan dendam raja naga. Ketika arwah Kaisar Li dibawa ke akherat, petugas kelabakan. Menurut catatan, ajal kaisar masih beberapa tahun lagi. Masalahnya sampai ke Raja Akherat, Giam Ong.

Setelah terjadi dialog antara arwah Kaisar Li dengan Giam Ong disepakati, kaisar dihidupkan dan arwahnya dikembalikan ke dunia. Sebelum kembali ke dunia, kaisar berbisik-bisik menanyakan kepada petugas akherat: Apa gerangan kesukaan Raja Akherat Giam Ong. Jawabannya, Raja Giam Ong paling doyan buah semangka. Setiba di dunia, kaisar mencari semangka paling besar dan paling manis untuk dikirim kepada Giam Ong.

Masalahnya, siapa yang mengantar semangka itu kepada Giam Ong. Artinya siapa yang bersedia mati? Ditemukanlah seorang pemuda yang sedang patah hati dan hendak bunuh diri. Pemuda itulah yang ‘ditugaskan’ kaisar membawa semangka penyuapan itu, dengan cara memeluk semangka lalu bunuh diri. Konon, Raja Akherat sangat senang dengan persembahan itu. Jadilah suatu tradisi, setiap orang Cina yang meninggal dunia, dikuburkan bersama semangka. Demikian tertulis dalam ‘Introduction to Classic Chinese Literature’. Buah semangka itu menjadi semacam sogokan kepada Raja Akherat.

Dalam buku ‘Introduction to Classic Chinese Literature’, ada pula legenda lain mengenai seorang hakim yang tegas dan teguh menjalankan profesinya, menegakkan hukum. Namanya Bao Minh. Hakim Bao sungguh-sungguh tidak pandang bulu. Para penjahat, apakah dia orang biasa, pejabat daerah, menteri, keluarga menteri, bahkan keluarga kaisar sekalipun dihukum sesuai kesalahannya dan dieksekusi di bawah komandonya. Pedang simbol kekuatan dan kekuasaan dewanya sangat ditakuti.

Hakim berwajah hitam dan kurang tampan tetapi berwibawa ini menjadi simbol budaya Cina tentang hakim yang teguh, tegas, dan sungguh-sungguh menjalankan prinsip hukum, seorang hakim yang tidak mungkin disuap serta tidak mempan ancaman dan teror. Hakim Bao adalah simbol peradilan jujur, tegas. Teguh, dan berwibawa.

Di negeri yang memiliki tradisi menyuap Raja Akherat dengan semangka, tampil seorang hakim yang tak tergoda segala macam godaan suap, tekanan, dan teror. Bahkan ketika mengadili seorang kerabat kaisar, Hakim Bao akan disuap tetapi tidak mempan. Iapun ditekan dan diteror kaki tangan kerabat kaisar yang korup itu. Hakim Bao tidak bergeming. Ketika mengetahui hal itu, kaisar akan turun tangan. Namun ketika Hakim Bao mengangkat pedangnya sambil membuktikan kesalahan kerabat kaisar itu, maka sang kaisar pun angkat tangan, menyerah, lalu memerintahkan Hakim Bao melaksanakan eksekusi.

Suap dan Kejujuran Hakim versi Bugis Makassar

Bukan hanya di negeri Cina dikenal istilah suap. Juga bukan hanya di negeri Cina terdapat legenda mengenai hakim jujur, teguh dan tegas. Di negeri Bugis, pada abad ke-16 Kajaolaliddo dari Bone mengungkapkan, salah satu tanda kehancuran suatu negara ialah bila hakim menerima suap, malai passosok pabbicaraé, atau naénréki waramparang to mabbicaraé. Karena itu bila seorang hakim, pabbicara, menerima suap, iapun akan dihukum tujuh kali lipat dibanding dengan pejabat biasa yang menerima suap.

Dari Addatuang Sidenreng dikenal hakim, Nénék Mallomo, dan dari Kerajaan Balannipa Mandar, dikenal seorang Ketua para hakim, Pabbicara Kaiyyang. Keduanya dengan sikapnya yang tegas dan teguh berpegang pada prinsip hukum (panngadereng), menghukum mati anak kandungnya sendiri. Dari Kerajaan Soppeng, Datu La Basok Toakkarangeng memimpin persidangan yang mengadili, menghukum, dan mengeksekusi La Basok Toakkarangeng (dirinya sendiri). Dari Kerajaan Tosiwalu, dikenal Hakim perempuan, I Tenribali yang menjatuhkan vonis mati kepada adik kandungnya sendiri.

Akan tetapi di daerah Bugis Makasar terdapat pula cerita rakyat yang menunjukkan indikasi terjadinya penyuapan. Dalam suatu cerita rakyat Mandar dikisahkan seorang ‘raja kecil’ yang menerima suap dari seorang ‘pemalas’ yang berhasil menjadi kaya berkat kelicikannya setelah mendapat nasihat dari raja kecil itu. Cerita itu seperti berikut:
Pada suatu kampung di negeri Mandar hidup seorang anak muda yang licik dan pemalas, Aco namanya. Ketika Aco melintas di depan rumah maraddia atau ‘raja’ kecil di kampung itu, Aco ditegur. “He Aco, mengapa kau selalu bermalas-malasan, tidak mau bekerja. Kalau kau tetap seperti itu, saya akan mengusirmu dari kampung. Si Aco hanya menunduk, kemudian menjawab singkat “Iyék puanngu”. Sang Raja kecil berkata lagi: “Kampung kita ini luas dan subur. Apa saja yang ditanam pasti tumbuh dengan hasil besar”. Sekali lagi Aco menjawab “Iyék puanngu”.

Setelah itu, Aco berpikir. Di kampung sebelah ada tempat pemotongan kambing. Ke sanalah Aco pergi, mengumpulkan kaki kambing yang sudah dipotong. Puluhan kaki kambing dibawanya pulang ke kampungnya. Kaki kambing itu kemudian dibawa untuk ditanam di kebunnya. Setelah menanam kaki-kaki kambing itu seperti kalau menanam ubi kayu, setiap hari Aco berkeliling dari kampung ke kampung, membawa daun-daun yang menjadi makanan kambing. Ternak-ternak itu mengikuti si Aco sampai ke kebun Aco. Setelah berhari-hari Aco melakukan pekerjaan itu, penuhlah kebunnya dengan kambing.

Penduduk kampung melaporkan Aco kepada maraddia dengan tuduhan mencuri kambing. Aco pun dipanggil menghadap. Setelah maraddia menanyainya, Aco dengan hormat menjawab. “Sesuai nasihat puanngu, apa saja yang ditanam di kampung kita akan tumbuh subur. Saya menanam kaki kambing, puanngu. Itulah hasilnya, puanngu, tumbuh kambing-kambing”.

“Saya sudah siapkan 20 ekor untuk puanngu , sebagai tanda terima kasih atas nasihat puanngu”. Kata Aco. Raja kecil itupun berbalik kepada rakyat yang melapor. “Kalian semua salah. Aco ini orang baik. Ia tidak mencuri kambing kalian. Pulanglah semua”.

‘Tradisi’ Suap

Dalam ‘Introduction to Classic Chinese Literature’ tidak dijelaskan lebih jauh proses perkembangan ‘tradisi’ menyuap Raja Akherat menjadi ‘tradisi’ suap menyuap di dunia. Tetapi, dalam ‘Introduction to Modern Chinese Literature’ , disebutkan, sejumlah sastrawan revolusioner Cina yang menganut ideologi komunis mengungkapkan kebobrokan masyarakat pada masa akhir periode kekaisaran Cina, akibat merajalelanya ‘tradisi’ suap menyuap. Tradisi itu bahkan menular sampai pada tahap awal nasionalisme Cina di bawah Dr. Sun Yat Sen yang terkenal dengan ‘ajaran’ San Min Cu I -nya. Di bawah komando politik Ketua Mao, sastrawan revolusioner Cina melalui karya sastra mereka melakukan agitasi, suatu ‘kerajaan’ (negara) dengan pejabat serta warga masyarakat yang menjadikan suap menyuap sebagai ‘tradisi’, ‘pasti’ akan mengalami kehancuran. Puisi-puisi pamflet dan agitatif diterbitkan dan disebarkan ke seluruh pelosok Cina guna memerangi tradisi suap-menyuap sekaligus membangkitkan semangat revolusi gaya komunis.

Dari ‘negeri’ Bugis-Makasar para cendekiawan masa lalu memandang tindakan menyuap dan menerima suap sebagai bahaya yang dapat menjadi penyebab kehancuran negara dan masyarakat. Cendekiawan Petta Matinroé ri Lariang Banngi menegaskan bahwa “bahaya yang ditimbulkan oleh tindakan suap menyuap, apalagi bila sudah menjadi kebiasaan atau ‘tradisi’, jauh lebih besar dibanding dengan kejahatan merampok”. Tindakan merampok diibaratkan sebagai tindakan babi, yaitu sifat merusaknya kentara dan cepat dapat dideteksi. Akan tetapi tindakan suap menyuap adalah bagaikan tindakan tikus, yang sifat merusaknya tersembunyi.
Cendekiawan Bugis Kajaolaliddo pada abad ke-16 menyebutkan bahwa suap menyuap bagaikan ‘rayap menggerogoti tiang-tiang bangunan rumah’ (pappada-padai akkanré akkasolanna ané ri alliri bolaé). Dalam dialognya dengan Arumponé, Raja Boné yang bernama Bongkanngé, cendekiawan Kajaolaliddo menegaskan bahwa salah satu tanda kehancuran suatu kerajaan besar, yaitu bila para hakim dan penegak hukum menerima suap yang disebut dalam ungkapan Bugis ‘malai passosok to mabbicaraé’ atau ‘naénréki waramparang to mabbicaraé’. Ungkapan pertama menunjukkan bahwa para penegak hukum bertindak aktif mengambil atau menerima sogokan, sedangkan ungkapan kedua menunjukkan bahwa para penegak hukum diantarkan harta benda sogokan ke rumahnya. Akibat keduanya sama, yaitu ‘bagaikan rayap yang menggerogoti tiang penyanga kerajaan.
Para sastrawan revolusioner Cina dengan aliran realisme sosialisnya yang komunistik memberikan resep berupa ‘revolusi’ dan ‘hukum revolusioner’ yang berupa pembantaian terhadap pelaku suap menyuap dan keluarganya guna penyelamatan masyarakat dan negara. ‘Resep’ itu didasarkan pada anggapan ideologi revolusi, bahwa ‘revolusi adalah suatu penghancuran total (total destruction) terhadap keseluruhan sistem sosial dan politik lama, kemudian di atas puing-puing reruntuhan itu dibangun sistem baru yang komunistik’.

Kajaolaliddo dan cendekiawan Bugis-Makassar masa lalu sebaliknya lebih percaya pada penegakan hukum, panngadereng secara konsekuen. Para pelaku suap menyuap, tanpa ‘tebang pilih’ harus ‘diancam’ dan ‘dijatuhi sanksi hukum’ yang sangat keras. Hakim atau penegak hukum yang terbukti menerima suap dijatuhi sanksi:

1) diberhentikan dari jabatan,
2) dicabut hak kebangsawanannya, dan
3) dicabut hak keturunannya untuk memegang jabatan sebagai penegak hukum.

Arung Bila dari Soppeng memasukkannya dalam kategori sebagai orang yang “tidak disukai oleh adat, dan dihinakan oleh hukum” atau ‘naccaccai adek, natunai bicara’, dan oleh karenanya, orang itu menjadi turun derajat atau coccok dan manawok. Orang yang coccok dan manawok tidak lagi memenuhi salah satu syarat untuk menjadi pejabat atau petugas kerajaan, yaitu persyaratan bahwa orang itu bukan orang atau keturunan orang yang natunai bicara.

Suap Menyuap sebagai ‘Budaya’

Suatu proses yang berlangsung selama hampir setengah abad dalam kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan kita telah ‘berhasil’ menumbuhkan anggapan di tengah kehidupan masyarakat bahwa perbuatan suap menyuap adalah perkara biasa yang merupakan cara terbaik mempercepat dan memudahkan segala urusan. Bahkan anggapan demikian telah berubah menjadi suatu kepercayaan, mengarahkan langkah-langkah warga masyarakat dalam melaksanakan berbagai urusannya. Warga masyarakat cenderung menganggap dan mempercayai bahwa tidak ada urusan yang dapat diselesaikan dengan baik tanpa ‘uang pelicin’, ‘uang rokok’, ‘uang balas jasa’ yang merupakan istilah lain dari kata suap. Bahkan untuk pembayaran pajak kendaraan yang senyatanya bertujuan untuk pemasukan uang ke kas negara masih tampak adanya perilaku suap-menyuap. Berbagai lapisan masyarakat cenderung percaya bahwa hanya dengan melakukan penyuapanlah segala urusan menjadi mungkin terselesaikan dengan lancar.

Anggapan dan kepercayaan seperti itu diperparah oleh anggapan bahwa penegakan hukum adalah ‘urusan bisnis’. Anggapan dan kepercayaan itu diekspresikan dengan berbagai ungkapan seperti KUHAP adalah akronim ‘Kasih Uang Habis Perkara’, atau ‘maju tak gentar, membela yang bayar’, dan sejumlah ungkapan lainnya. Kecenderungan menjadikan hukum sebagai ‘urusan bisnis’ inilah yang secara ironik dikomentari Guru Besar Fakultas Hukum UNHAS, almarhum Prof. Dr. Amir Sjarifuddin dengan pernyataan: “Satu semester ketika mahasiswa belajar Hukum Dagang, seumur hidup setelah menjadi sarjana hukum, mempraktikkan Dagang Hukum”.

‘Keharusan’ menyuap dan menerima suap telah mengalir di seluruh badan raga mengikuti aliran pembuluh darah, memasuki alam ‘rohani’, menjadi bagian sistem pengetahuan, pemikiran dan kepercayaan sebagian besar anggota masyarakat. Bilamana budaya dipandang sebagai sistem gagasan, pemikiran dan kepercayaan maka suap menyuap dapat dipandang telah menjadi bagian dari budaya masyarakat masa kini. Dengan demikian, suap menyuap (termasuk korupsi di dalamnya) sudah menjadi permasalahan budaya, persoalan kultural.

Penanganannya pun cenderung tidak akan cukup hanya dengan pemberlakuan hukum formal semata, apalagi tidak mungkin diselesaikan dengan cara politik praktis.

Reformasi atau Revolusi?

Penanganan suap menyuap jelas tidak mungkin lagi dilakukan hanya secara parsial, melainkan memerlukan penanganan secara kultural yang holistik. Suap menyuap telah merasuki seluruh aspek kehidupan dan telah menjalari seluruh pembuluh darah warga masyarakat dari seluruh lapisan. Sambil mengeluh mencaci maki kebiasaan suap menyuap dengan segala akibatnya, orang ‘terpaksa’ harus terlibat menjadi pelakon, menerima atau memberi. Masihkah ada jalan keluar dari keadaan seperti itu?

Penganut paham ‘jalan pintas’ berupa revolusi yang menerima inspirasi dari gerakan revolusioner sosialis-komunis-marxis dengan getol mengagitasikan bahwa satu-satunya jalan keluar adalah melalui revolusi yang dipelopori oleh kaum muda dengan melibatkan seluruh rakyat. Puisi-puisi revolusioner secara gamblang menyerukan perlawanan total, dengan ungkapan: “Hanya satu kata, Lawan”. Namun sejarah revolusi menunjukkan bahwa hampir dalam setiap revolusi terjadi pembantaian umat manusia dan penghancuran nilai-nilai kemanusiaan. Lalu selalu tampak kecenderungan bahwa tak satu pun pemenang revolusi yang dapat bertahan lebih dari 4 tahun menjadi ‘pemerintahan yang baik’ seperti yang diagitasikan untuk membangkitkan revolusi itu. Suatu revolusi yang dipimpin oleh Ang Lu Shan menumbangkan pemerintahan dinasti kaisar Ming di Cina, hanya sempat menjadi pemerintahan yang ‘berwajah manuiawi’ selama kurang lebih 2 tahun, kemudian menjadi pemerintahan penindas yang bengis, jauh melebihi perilaku pemerintahan kaisar yang ditumbangkannya. Ang Lu Shan yang memimpin para petani dan mengikutkan perampok dan preman-preman, setelah memenangkan revolusi menempatkan para mantan perampok dan preman di sampingnya sebagai ‘pengawal revolusi’. Penindasan dan ‘tradisi’ suap menyuap pun berkembang kembali dengan pelaku yang berbeda. Hal itulah yang menjadi jalan mulus bagi kembalinya kekuasaan kaisar.

Revolusi Perancis yang pada mulanya berdimensi moral dan humanistik dengan semboyan liberté, egalité, fraternité, (kemerdekaan, persamaan, persaudaraan), kemudian mengalami pembelokan setelah memperoleh kemenangan. Hanya sekitar 4 tahun kemudian, Roberspierre telah berubah menjadi lebih kaisar dari kaisar-kaisar Perancis sebelumnya, melakukan penindasan sambil menjalani kehidupan bermewah-mewah dan hedonistik. Revolusi Bolsjewik di Rusia pun tampaknya tidak menghasilkan yang lebih baik dari revolusi lainnya. Ia justru telah melakukan penindasan dan kontrol ketat terhadap warganya sendiri.

Revolusi Iran di bawah Ayatollah Khomaeni menampakkan wajah lain. Revolusi ini dikawal secara ketat oleh suatu keyakinan religius yang Islami dari aliran Syiah. Pemimpin-pemimpin revolusi Iran pada umumnya adalah para Ayatollah yang memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai Islami, yang mengawal dan mengontrol nilai-nilai kehidupan dan perjalanan hidup Iran pascarevolusi. Makanya, perjalanan hidup Iran pascarevolusi tetap berwajah religius dan manusiawi.

Rupanya, revolusi yang semata-mata didasari kehendak dan kepentingan politik untuk menumbangkan kekuasaan dan pemerintahan hanya akan berhasil melakukan penggantian rezim, tanpa adanya perubahan yang lebih baik bagi kepentingan seluruh rakyat. Kuncinya terletak pada kenyataan historik bahwa ‘penggerak revolusi umumnya adalah juga pengidap syahwat kekuasaan yang besar’. Maka, Dewan Revolusi yang menuntut pencabutan mandat Presiden, juga bukanlah sesuatu yang dapat diharapkan melakukan perbaikan di negeri ini.

Reformasi seperti yang terjadi di negeri kita tampaknya lebih cenderung hanya merupakan reformasi politik. Reformasi itu telah berhasil melakukan penggantian ‘kepemimpinan nasional’, namun sekaligus memperlihatkan kecenderungan menempatkan politik sebagai ‘panglima’, dengan aktor-aktor politik praktis sebagai pelakonnya. Oleh karena itu suap menyuap (termasuk korupsi) masih tetap tidak mengalami penurunan, bahkan lebih cenderung kian meningkat. Dalam perjalanan reformasi, tampak samar-samar bayangan Ang Lu Shan beserta ‘pengawal revolusinya’ dan bayangan Roberspierre yang hedonistik dalam perilaku politik pascareformasi.

Suatu skenario reformasi kultural yang bersifat menyeluruh dan holistik, tanpa melibatkan kepentingan politik praktis, agaknya menjadi sesuatu yang niscaya, bilamana dikehendaki adanya perbaikan.



 
Alwy Rachman.