SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Saturday, December 10, 2016

Arundhati, Anti-Nasionalisme di Bulan September

Alwy Rachman

“Saya ingin mengatakan banyak hal. Saya seorang penulis
dan benar-benar sudah menuliskan apa yang ingin saya katakan
karena dua alasan. Pertama, saya yakin engkau lebih tertarik
pada cara saya menulis. Kedua, apa yang harus saya katakan
adalah hal yang rumit dan berbahaya di zaman berbahaya.”
                                                                                Arundhati Roy

Dua pendirian di atas tercantum pada bagian awal pidato Arundhati Roy, seorang perempuan novelis berkebangsaan India. Pidato sepanjang delapan halaman ini dia bawakan pada Lensic Performing Arts Center, Santa Fe, New Mexico, 18 September 2002. Pidatonya mengungkap sekaligus menggugat segenap kejadian pada September, mencakup rangkaian kejadian pada abad-abad sebelumnya di bulan yang sama, termasuk kejadian pada 2001, saat Amerika dan negara-negara Barat lainnya dinilainya ikut berkontribusi terhadap penderitaan manusia, sebagaimana yang dialami oleh korban serangan 11 September.

Inti pidatonya adalah menentang kekerasan atas nama apa pun. Arundhati mendaku bahwa pidatonya yang berjudul Come September adalah kritik terhadap kekuasaan yang paranoid atas manusia dan kekuasaan yang kejam terhadap eksistensi manusia. Bagi Arundhati, kekuasaan tidak terbatas, di jenjang apa pun, baik oleh negara, perusahaan, lembaga, bahkan oleh individu, pasangan, teman, saudara-saudara sendiri, tak bisa diterima. Semuanya berujung pada penderitaan.

Di India, Arundhati melanjutkan, orang-orang yang menyatakan pandangannya tentang bahaya bom nuklir, tentang dampak bendungan besar, tentang akibat globalisasi perusahaan, dan tentang ancaman dari meningkatnya cara fasis komunal Hindu dibilangkan sebagai “anti-nasional”.Se jauh ‘anti-nasional’ diartikan sebagai melawan bangsa sendiri, saya tak marah dengan istilah itu. Saya tak perlu menjadi ‘anti-nasional’ untuk mencurigai semua nasionalisme. Saya tak perlu bersikap ‘anti-nasional’ untuk menjadi ‘anti-nasionalisme’,” begitu pendakuan Arundhati.

Label “anti-nasional” justru memaksa saya berpikir kritis terhadap semua nasionalisme. Nasionalisme dari satu jenis telah menjadi penyebab terjadinya genosida pada abad ke-20. Nasionalisme menjadikan bendera yang terbuat dari potongan kain berwarna sebagai alat oleh mereka yang berkuasa untuk mengerdilkan otak manusia. Atau, sebagai kain kafan seremonial untuk menguburkan mereka yang rela dan telah mati atas nama nasionalisme.

Ketika orang-orang yang berpikir merdeka, seperti penulis, pelukis, musikus, sutradara, mulai berbaris di bawah bendera, dan ketika mereka ini membabi buta melayani "nation", saatnya bagi kita semua untuk duduk dan khawatir. Semua ini terjadi di India setelah uji coba nuklir pada 1998 dan selama Perang Cargill melawan Pakistan pada 1999 . Di Amerika Serikat, kita juga melihatnya selama Perang Teluk. Sekarang, kita masih melihatnya dalam "Perang Melawan Teror”.

Baru-baru ini, saya dibilang sebagai "anti-Amerika”. Tapi apakah yang dimaksud dengan julukan "anti-Amerika"? Apakah ini berarti engkau anti-jazz? Atau engkau anti-kebebasan berbicara? Apakah ini berarti engkau tak mengagumi ratusan ribu warga Amerika yang turun ke jalan menentang senjata nuklir, atau ribuan penentang perang yang memaksa pemerintah mereka untuk menarik diri dari Vietnam? Apakah ini berarti engkau membenci semua orang Amerika? Begitu sederetan gugatan retorik Arundhati.

Tak sedikit orang Amerika merasa malu untuk dihubungkan dengan kebijakan pemerintahnya. Dari yang paling ilmiah, paling pedas, paling tajam, paling kritis hingga yang paling lucu. Mereka justru warga negara Amerika sendiri. Tentu dunia tahu orang-orang seperti Noam Chomsky, Edward Said, Howard Zinn, Ed Herman, Amy Goodman, Michael Albert, Chalmers Johnson, William Blum, dan Anthony Amove, yang semuanya dapat memberi tahu kepada dunia tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Pun di India begitu. Jutaan orang India akan malu jika dihubungkan dengan kebijakan fasis pemerintah India saat ini terhadap muslim di Gujarat, terlepas dari isu terorisme yang merebak di Lembah Kashmir. Sungguh tak masuk akal jika para pengkritik India dibilangkan sebagai "anti-India".

Kekuasaan yang tak mampu melihat dunia menyebabkan engkau disapa sesuai dengan yang ditentukan. Begitu sindir Arundhati. Jadi, jika engkau bukan seorang Bushie (pengikut Presiden Bush), engkau Taliban. Kalau engkau tak mencintai, engkau pasti pembenci. Jika engkau tak baik, engkau pasti jahat. Kalau engkau tak bersama kami, engkau adalah teroris .
Arundhati memang dikenal sebagai penulis novel bermatra politik. Novelnya The God of Small Things, Tuhan bagi yang Kecil-Kecil, diterbitkan pada 1997, dipuji secara kritis di seluruh dunia. Arundhati memenangi Booker Prize pada tahun yang sama, satu penghargaan bergengsi di dunia sastra berbahasa Inggris. Tema-tema novelnya berkisar pada kekuasaan dan ketakberdayaan, yang keduanya hadir di lingkar konflik tak berujung.

Menariknya, Arundhati tak menganggap dirinya seorang novelis. Perempuan pengkritik atas cinta terlarang di antara kasta-kasta di India ini memang terdidik sebagai seorang arsitek. Bulan September bulan hangat. Di bulan ini, Arundhati mengajak kita merefleksi makna “anti-nasionalisme”.


 
Alwy Rachman.