Alwy Rachman
“There are no heroes in life, the monsters win”
George R.R. Martin
Hari ini, 10 November, didakukan sebagai “hari pahlawan”. Hari yang semestinya dipakai untuk merefleksikan dan memproyeksikan sang “pahlawan” dengan segenap maknanya bagi satu kaum, bagi satu bangsa. Hari Pahlawan adalah waktu dinamis untuk menghadirkan sang “pahlawan” yang tak lagi dapat bicara, tak lagi dapat menyatakan penilaiannya terhadap situasi bangsanya. Terlanjur, setidaknya dalam pikiran, sosok pahlawan adalah persona-persona yang telah mati.
“Pahlawan” dengan demikian adalah “sosok yang telah selesai” pada dirinya sendiri, usai dibentuk oleh sejarah, selesai dibangun oleh peristiwa, lepas dari cara kita mendudukkannya. Kita kagum kepada sang pahlawan karena ia bangsa sendiri. Kita berprasangka ke sang pahlawan karena ia merepresentasikan bangsa lain. Rupanya, kita yang belum selesai. Kita nyatanya berjarak dengan sang pahlawan, secara kultural, secara kebangsaan, dan juga secara ideologi.
Di antara “pengaguman dan “prasangka”, setiap orang nyatanya berobsesi menjadi “pahlawan”, terucapkan atau tidak. “Pahlawan” adalah kualitas yang dicari melalui ekspresi personal. Kualitas “pahlawan” sejauh ini dicari dan disimpan pada “ketaksadaran kolektif”, kesadaran yang menjadi latar pendakuan utama Joseph Campbell tentang citra dan cita rasa sosok pahlawan.
“Pahlawan” adalah arketipe yang hadir di semua epos, di segenap mitos, bahkan di segenap religi. Wajah sang “pahlawan” pasti tak serupa di ketiga ranah ini. Pahlawan di dunia epos tak sama di dunia mitos, tak serupa di dunia agama-agama. Itu mungkin sebabnya, Joseph Campbell meyakini multi dimensi pahlawan dan menuliskannya ke dalam satu publikasi “Pahlawan dengan Seribu Wajah” yang edisi pertamanya ditulis pada tahun 1949.
Dengan bersandar pada mitos-mitos besar sedunia, Joseph Campbell menelisik sembilan tapak-hidup sosok pahlawan. Tapak pertama, pahlawan lahir dalam situasi kritis dan berbahaya. Atau sebaliknya, ia lahir dengan kebesaran yang menyertainya. Tapak kedua, pahlawan dikisahkan meninggalkan keluarga dan kaumnya dan bersedia hidup dengan kaum lain. Tapak ketiga, pahlawan menjalani peristiwa traumatik yang memaksanya berkelana atau “menduduki” wilayah. Tapak keempat, pahlawan biasanya punya “senjata istimewa”.
Tak sampai di situ. Joseph Campbell menambahkan 4 tapak-hidup lain. Tapak kelima, pahlawan dibantu oleh kekuatan supra natural. Tapak keenam, sang pahlawan membuktikan dirinya berkali-kali “survive” dalam perjalanan pengembaraannya. Tapak ketujuh, perjalanan yang menyimpan “bekas luka” di tubuh. Tapak kedelapan, menunaikan “utang dosa” kepada sang ayah. Dan, tapak kesembilan, kematian sang pahlawan dihormati secara spiritual.
Sembilan tapak-hidup, oleh Joseph Campbell disebutnya sebagai “arketipe pahlawan”. Arketipe ini tak diambil dari peristiwa sepenggal-sepenggal sehari-hari, tak ditarik dari budaya massa dan budaya kerumunan. Arketipe ini setara dengan prototipe perilaku, serupa dengan “role model” tokoh yang diamati dan ditemukan di lintas epos, lintas mitos, lintas kebudayaan, dan lintas religi.
Arketipe pahlawan bukan tokoh massa, bukan sosok yang dikukuhkan di atas kerumunan massa, bukan di atas kumpulan manusia yang sedang “mengamuk”. Arketipe pahlawan adalah sosok yang mengisi, mengikat, dan menjadi jangkar diskursus yang tak tergerus dalam ingatan manusia terhadap peradaban dan kebudayaan.
Mari kita menelisik siapakah sang pahlawan dalam ingatan kultural yang baik. Pun mari kita belajar menerima kritik satiris Sanento Yuliman yang menulis “Dalam Bayangan Sang Pahlawan”. Di tulisan yang mendapatkan penghargaan majalah Horison pada tahun 1968 ini, Yuliman bilang, “monumen pahlawan kita penuh otot, acungan tinju, bedil, dan mulut yang sedang berteriak”.
Mari kita menyadari bahwa ingatan merupakan “kualitas tertinggi” manusia. Di sini, manusia bisa belajar, bisa mereflesksi masa lalu dan bisa memproyeksi masa depan. Di ingatan kultural yang baik, sosok yang berjasa akan terjaga utuh. Kalau tidak, sosok berjasa akan didudukkan di ambang batas antara pahlawan dan pecundang.