Alwy Rachman
“Aku berada di sudut ekstrem dunia,
Aku tak duduk di baris depan
Tetapi mereka yang beruntung
Duduk di tengah dan lupakan
Aku berada di sudut ekstrem dunia
Aku hanya bisa lampaui dan lupakan.”
Kofi Awoonor
Kira-kira begitu terjemahan enam larik dari bait kedua puisi Song of Sorrow yang ditulis oleh Kofi Awoonor. Sang penyair sekaligus penulis terkemuka Ghana ini ikut menjadi korban serangan teroris di Westgate Shopping Mall, Nairobi, Kenya, oleh kelompok militan Al-Shabaab, 21 September 2013, Sabtu lalu. Kematian sang penyair yang juga menyandang status mahaguru ini sangat memukul kalangan penulis dan penyair internasional.
Duka dan lara datang bertubi karena pada Sabtu malamnya, hari di mana peristiwa itu terjadi, Awoonor dijadwalkan mengisi acara dan diminta berbicara di forum festival penulis dan story telling, yang dimaksudkan untuk membangkitkan minat membaca dan literasi di kalangan anak muda Kenya.
Oleh komunitas literasi internasional, sang penyair dianggap sebagai representasi “suara Afrika”. Ia dianggap sebagai pemuka literasi Afrika yang puisi-puisi dan tulisan-tulisan lainnya lahir dari kemampuan puitika yang autentik, yang berkemampuan mengekspresikan lipatan-lipatan kehidupan di benua hitam. Sedemikian dukanya, hingga seseorang pengagumnya menulis di jejaring media sosial dengan nada keras dan berang, “’Literasi Afrika’ benar-benar dirampas dan dicabik.”
Suasana duka bagi literasi Afrika mirip dengan nyanyian Song of Sorrow, Nyanyian Duka, yang ditulis oleh Awoonor. Puisi duka yang ditulis ini dianggap unik karena terdiri atas dua tema berbeda. Bagian pertama puisi ini berkisah tentang kemiskinan yang merajalela di sekitar kehidupan sang penyair Awoonor. Sedangkan pada bagian kedua bercerita tentang ratapan atas kematian keluarga dan para tetangganya. Puisi-puisinya, oleh banyak kalangan, dianggap wakil dari tradisi lisan Afrika.
Sang penyair memang bukan penyair biasa. Ia juga berpolitik. Puitika dan literasinya dipakai untuk berjuang. Ia pernah menyandang jabatan sebagai Duta Besar Ghana untuk Persatuan Bangsa-Bangsa pada paruh pertama 1990-an dan pernah aktif melawan apartheid. Ia juga pernah belajar sastra di University of London dan menulis beberapa drama radio untuk BBC. Pada 1975, Awoonor memimpin Departemen Bahasa Inggris di University of Cape Coast.
Nasib buruk penyair dan penulis di hadapan orang-orang bersenjata memang jamak. Jika para penulis dan penyair menjadikan bahasa sebagai senjata dalam melawan penguasa lalim, menjadikan bahasa simbol untuk menyuarakan apa yang pantas untuk diperjuangkan, orang-orang bersenjata justru sebaliknya. Orang-orang bersenjata, di bawah asuhan penguasa otoriter atau oleh kelompok-kelompok teror, selalu memilih jalan kekerasan.
Kisah yang sama tapi tak serupa juga ada di negeri ini. Baca saja kisah tentang Mochtar Lubis yang berkali-kali keluar-masuk penjara tanpa peradilan. Atau baca juga tentang cerita penyair W.S. Rendra yang juga masuk penjara karena puisi-puisi dan karya sastranya dianggap mengganggu penguasa. Atau novelis Pramoedya Ananta Toer yang dibuang ke Pulau Buru selama 14 tahun tanpa peradilan. Atau, Widji Tukul, yang terkenal dengan idiomnya, “hanya satu kata: lawan!”, yang hilang entah ke mana.
Song of Sorrow menempatkan “aku sang penyair” berada di sudut ekstrem dunia. Profesor Kofi Awoonor mengakhiri hidupnya di dunia yang bisa dibilangkan ekstrem, yakni di tangan para ekstremis. Tapi, Profesor! Engkau telah melampauinya, seperti yang engkau bilang dalam puisimu. Engkau tetap saja bapak literasi dari anak-anak Afrika yang dikelilingi oleh kelaparan dan kematian, sebagaimana yang juga engkau bilangkan di puisimu.
Profesor! Kini bukan engkau yang meratap. Kematianmu telah dikabarkan ke seluruh dunia. Engkau telah melupakannya, tapi anak-anak Afrika tetap saja mengenang bahwa engkaulah yang membawa puitika Afrika ke panggung literasi dunia.