SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Sunday, August 28, 2016

Revolusi Candu dan Gladiator Global

Alwy Rachman

Nun jauh di masa lalu, 1830-1840-an, ada sebuah kisah tentang candu. Kisah yang dalam sejarah kemudian dibilangkan sebagai Perang Candu ini bermula dari hubungan dagang antara dua negara berperadaban tinggi, yaitu antara Inggris dan Cina. Oleh sebagian kalangan, kisah ini dibilangkan sebagai Revolusi Candu.

Di kisah Revolusi Candu, Cina menjadi pecundang dan Inggris sebagai pemenang. Cina takluk lewat taktik Inggris yang menjerat rakyat Cina sebagai pecandu. Pasokan candu secara besar-besaran ke Cina, pada masa itu, membuat Cina penuh dengan rakyat pemabuk. Penguasa-penguasa Cina pun pusing tujuh keliling dan akhirnya menutup semua pintu pelabuhan bagi kapal-kapal dagang Eropa. Menutup akses pelabuhan inilah yang kemudian mendorong Inggris menyatakan perang terhadap Cina. Muncullah episode Perang Candu antara Inggris dan Cina.

Hari-hari ini, di negeri ini dan di negeri-negeri lain, istilah candu menjadi usang. Istilah candu diperbarui menjadi narkotik. Narkotik pun diberi label haram meski sebagian pihak menjelaskannya sebagai golongan obat analgesik yang berfungsi menghilangkan rasa sakit. Racikan dan jenisnya pun semakin canggih dan bervariasi: opium, ganja, kokain, amfetamin, dan segala senyawa barbital lainnya.
Istilah kecanduan pun berubah menjadi istilah sakau yang menyakitkan. Pun kampanye atas penanggulangan bahaya narkotik memakai bahasa yang menyakitkan: “penjara, gila, atau mati”.

“Revolusi Candu belum usai,” begitu kira-kira pantas kita bilangkan. Revolusi Candu di abad globalisasi bukan lagi urusan dua negara yang bertikai, sebagaimana Inggris dan Cina pada masa lalu. Kini, urusan narkotik adalah urusan antara kelompok-kelompok kartel internasional dan para pemimpin negara-bangsa.

Alvin Toffler, seorang pemuka pemikir futuristik (pemikir masa depan), malah mempromosikan julukan baru bagi kelompok-kelompok kartel ini sebagai The Empire of Cocaine atau “Kerajaan Kokain”. Sedangkan James Mills membilangkannya sebagai The Underground Empire, sepadan dengan “Kerajaan Bawah Tanah”.

Baik Toffler maupun Mills mengkonfirmasi dan menyetujui bahwa “Kerajaan Kokain” dan “Kerajaan Bawa Tanah” ini adalah aktor baru di panggung globalisasi. Kedua penulis ini mengkonfirmasi bahwa aktor baru ini berwatak petarung dan pembunuh. Aktor baru ini pantas dibilangkan sebagai “gladiator global”.

Kedua pemikir masa depan ini mendaku bahwa “Kerajaan Kokain” yang sekaligus “Kerajaan Bawah Tanah” ini dapat mengalahkan kekuatan senjata, lebih sejahtera, serta melampaui status dan kedudukan sejumlah negara di dunia. Meski eksistensi “Kerajaan Kokain” ini tidak disimbolkan lewat bendera sebagaimana kelakuan negara-negara lain, mereka punya pasukan yang bersenjata canggih, punya lembaga intelijen, punya kurir, punya jaringan internasional, dan punya kemampuan diplomasi yang melebihi beberapa negara.

Para pemimpin “Kerajaan Kokain Bawah Tanah” ini mampu mengorupsi pemimpin negara-bangsa yang gemar disuap. Jangankan bupati, wali kota, dan gubernur, presiden dari satu negara-bangsa pun dapat dilumpuhkan lewat suap dan terorisme. Begitu kira-kira pendakuan Toffler dan Mills yang berisi peringatan bagi para pemimpin negara-bangsa. Eksistensi negara-bangsa kini mendapat pesaing baru dengan munculnya “Kerajaan Kokain Bawah Tanah”, yang berkiprah sebagai aktor baru di abad globalisasi.

Adalah sikap kekanak-kanakan jika pemimpin negara-bangsa menganggap “Kerajaan Kokain” gampang dikalahkan. Pemimpin negara-bangsa yang terlalu birokratis membuat reaksi dan responsnya terhadap dampak narkotik berjalan tertatih dan lambat. Pemimpin negara-bangsa sibuk pada urusan konsultasi dan urusan menyusun memory of understanding (MoU) dengan negara lain yang dianggap lawan. Pun terbirit-birit menangani keperluan kelompok kepentingan politik dalam negeri. Lalu, kasip bereaksi terhadap aksi proaktif para pangeran narkotik.

Sebaliknya, para gladiator global, terutama kelompok-kelompok gerilyawan dan kartel-kartel narkotik, bergerak tanpa birokrasi. Para gladiator ini justru dipimpin oleh bos karismatik yang justru tidak dikenali oleh pemimpin negara. Pemimpin gladiator global ini justru dapat menciptakan daya kejut dan daya bunuh dengan efisien dan cepat. Pemimpin gladiator ini dapat membeli pemimpin negara-bangsa dengan cara paling canggih. “Quick respons”, begitu kira-kira dalil para gladiator ini.

Pada akhirnya, segenap “gladiator global” ini terpingkal-pingkal menyaksikan para pemimpin negara-bangsa yang menjadikan “narkotik” sebagai isu selebritas yang dibumbui oleh cerita tentang sang gembong dengan perempuan-perempuan cantik di sekitarnya—boleh artis, boleh model. Pada ujungnya, baru kita mengerti mengapa bahasa kampanye melawan bahaya narkotik di negeri ini hanya mengancam bangsa sendiri, yaitu “penjara, gila, atau mati”. Rupanya, bahasa kita adalah bahasa buta huruf di hadapan segenap gladiator global.

 
Alwy Rachman.