SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Monday, December 12, 2016

Silessureng, Kita Hadir Sejalan Lahir

Alwy Rachman

“Kita telah terbang ke angkasa ibarat burung,
telah menyelam ke samudra bagai ikan. Kita belum belajar
berjalan di bumi sebagai orang-orang yang bersaudara.”

                                                                
Martin Luther King Jr.

T
iba-tiba saja, bersama kolega-kolega muda-tua, saya terlibat dalam percakapan tentang pola sapaan “yang hidup” dan “yang tak hidup” di masyarakat. Sebagian peserta percakapan bilang, masyarakat kita tak sama dengan masyarakat di seberang sana. Di sana, mungkin maksudnya di negara-negara yang berbahasa Inggris, ekspresi “I am sorry” dan “Thank you” sering terdengar ketimbang di negeri sendiri.

“Maaf” dan “terima kasih” menjadi ekspresi yang jarang “muncul” dalam interaksi kecil sehari-hari. Malah, di rumah sendiri, kata dan ekspresi ini jarang dilatihkan kepada anak-anak. Oleh karena itu, anak-anak tumbuh dengan “ketiadaan konteks kecil” untuk belajar mengekspresikan “maaf” dan “terima kasih”. Di kalangan orang dewasa, kata dan ekspresi “maaf” dan “terima kasih” menjadi langka, baik kepada sesama dewasa maupun kepada anak-anak.

Jadilah kita keluarga yang tak membiasakan diri berucap “maaf” atau “terima kasih”. Situasi ini menjalar ke masyarakat, menjalar ke tingkat yang lebih tinggi, negara. Di masyarakat, peristiwa sekecil apapun yang menganggu orang lain, jarang kita menerima atau mengucapkan “maaf” atau “terima kasih”. Di tingkat negara, jarang pula kita menyaksikan permintaan “maaf” dan “terima kasih” para pemimpin ke masyarakat, begitu kira-kira argumen dalam percakapan.
***
Pengucapan “maaf” dan “terima kasih” adalah kode interaksi sosial di masyarakat yang mengajarkan dan menghidupkan “brotherhood-sisterhood”, yaitu “persaudaraan”. Persaudaraan yang dilatih dan terlatih, dimulai dari rumah dan dipraktekkan di ruang publik. Persaudaraan yang merembes ke dunia politik dan dikristalkan melalui motto “liberty, equality, and fraternity”. Fraternity kemudian memayungi “persaudaraan” sebagai perangkat etika sosial yang mengatur hubungan antar-orang berdasarkan love and solidarity.

“Liberti, equality, dan fraternity” telah dijadikan kode politik kebangsaan Perancis. Tak berarti, bangsa-bangsa lain tak punya kode serupa, meski melalui pernyataan atau afirmasi lain. Indonesia punya sila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” sebagai kode kebangsaan. Di sini, keadilan bagi seluruh --- kecil dan besar--- bersifat imperatif ideologi. Keadilan yang dibangun di atas solidaritas luas.

Solidaritas luas adalah buah pikir Ernest Renan, filsuf kebangsaan yang buah pikirannya banyak menjadi rujukan. Renan bilang, fondasi nasionalisme justru hanya dapat dikukuhkan di atas solidaritas luas. Tanpa solidaritas luas, tak akan ada keadilan. Keadilan sosial sebagai kode kebangsaan Indonesia, dengan demikian, mesti dibaca sebagai perintah ideologi. Keadilan sosial mencakup pemenuhan hak-hak beragama, berorganisasi, berpendapat, berumah tangga, dan berkebudayaan.

***
Di tingkat kebudayaan, Sulawesi Selatan mengekspresikan “maaf” dan “terima kasih” dengan sikap kultural. Kata “tabe”, sembari sedikit membungkukkan diri, setara dengan pernyataan “maaf”. Menepuk-nepuk pundak “orang yang lebih muda” bisa dicerna sebagai “terima kasih”. Malah, di Bugis dan Toraja, ekspresi “kurru sumange” menjadi penanda “terima kasih” secara khas..

“Kurru sumange” tak sematra dan “tak setubuh” dengan “thank you”. Di ekspresi “kurru sumange”, si pengucap mengajak “jiwa” pada yang disapa untuk bangkit. Ekspresi “thank you” tak menyapa “jiwa”, tetapi “persona”. “Kurru sumange”, secara harafiah dan secara kultural, bisa diartikan “bangkitlah wahai sang jiwa”. Menyapa “sang jiwa” untuk berterima kasih adalah asupan kultural yang jauh lebih reflektif, lebih ke dalam diri dari sekadar “berterima kasih”.

Makassar dan Bugis mengekspresikan “brotherhood-sisterhood” melalui kata sederhana tapi dalam: “saribattang” dan “silessureng”. Keduanya adalah metafor “perut ibu”. Keduanya adalah mimesis dari entitas “tubuh ibu”. “Ibu” dihadirkan kembali melalui kode-kode persaudaraan. “Saribattang” adalah ajakan bahwa kita berasal dari perut yang sama: “seperut”. “Silessureng” adalah peringatan bahwa kita semua hadir melewati jalan di antara mulut rahim dan pintu vagina: “sejalan lahir”.

Mari kita gunakan kode budaya Sulawesi Selatan untuk mendudukkan bangsa ini. Kita memang banyak, dari ratusan etnik, ratusan bangsa. Kita yang banyak, “hadir” dari analogi yang sama, yaitu “perut ibu Pertiwi”. Kita “hadir” secara multikultural di jalan lahir yang sama, “jalan kebangsaan nusantara”. Kita “saribattang”, kita pun “silessureng”. “Seperut” dan “sejalan lahir” adalah takdir.


Sunday, December 11, 2016

Tapak Hidup Sang Pahlawan

Alwy Rachman

“There are no heroes in life, the monsters win”

                                               George R.R. Martin

Hari ini, 10 November, didakukan sebagai “hari pahlawan”. Hari yang semestinya dipakai untuk merefleksikan dan memproyeksikan sang “pahlawan” dengan segenap maknanya bagi satu kaum, bagi satu bangsa. Hari Pahlawan adalah waktu dinamis untuk menghadirkan sang “pahlawan” yang tak lagi dapat bicara, tak lagi dapat menyatakan penilaiannya terhadap situasi bangsanya. Terlanjur, setidaknya dalam pikiran, sosok pahlawan adalah persona-persona yang telah mati.

“Pahlawan” dengan demikian adalah “sosok yang telah selesai” pada dirinya sendiri, usai dibentuk oleh sejarah, selesai dibangun oleh peristiwa, lepas dari cara kita mendudukkannya. Kita kagum kepada sang pahlawan karena ia bangsa sendiri. Kita berprasangka ke sang pahlawan karena ia merepresentasikan bangsa lain. Rupanya, kita yang belum selesai. Kita nyatanya berjarak dengan sang pahlawan, secara kultural, secara kebangsaan, dan juga secara ideologi.

Di antara “pengaguman dan “prasangka”, setiap orang nyatanya berobsesi menjadi “pahlawan”, terucapkan atau tidak. “Pahlawan” adalah kualitas yang dicari melalui ekspresi personal. Kualitas “pahlawan” sejauh ini dicari dan disimpan pada “ketaksadaran kolektif”, kesadaran yang menjadi latar pendakuan utama Joseph Campbell tentang citra dan cita rasa sosok pahlawan.

“Pahlawan” adalah arketipe yang hadir di semua epos, di segenap mitos, bahkan di segenap religi. Wajah sang “pahlawan” pasti tak serupa di ketiga ranah ini. Pahlawan di dunia epos tak sama di dunia mitos, tak serupa di dunia agama-agama. Itu mungkin sebabnya, Joseph Campbell meyakini multi dimensi pahlawan dan menuliskannya ke dalam satu publikasi “Pahlawan dengan Seribu Wajah” yang edisi pertamanya ditulis pada tahun 1949.

Dengan bersandar pada mitos-mitos besar sedunia, Joseph Campbell menelisik sembilan tapak-hidup sosok pahlawan. Tapak pertama, pahlawan lahir dalam situasi kritis dan berbahaya. Atau sebaliknya, ia lahir dengan kebesaran yang menyertainya. Tapak kedua, pahlawan dikisahkan meninggalkan keluarga dan kaumnya dan bersedia hidup dengan kaum lain. Tapak ketiga, pahlawan menjalani peristiwa traumatik yang memaksanya berkelana atau “menduduki” wilayah. Tapak keempat, pahlawan biasanya punya “senjata istimewa”.

Tak sampai di situ. Joseph Campbell menambahkan 4 tapak-hidup lain. Tapak kelima, pahlawan dibantu oleh kekuatan supra natural. Tapak keenam, sang pahlawan membuktikan dirinya berkali-kali “survive” dalam perjalanan pengembaraannya. Tapak ketujuh, perjalanan yang menyimpan “bekas luka” di tubuh. Tapak kedelapan, menunaikan “utang dosa” kepada sang ayah. Dan, tapak kesembilan, kematian sang pahlawan dihormati secara spiritual.

Sembilan tapak-hidup, oleh Joseph Campbell disebutnya sebagai “arketipe pahlawan”. Arketipe ini tak diambil dari peristiwa sepenggal-sepenggal sehari-hari, tak ditarik dari budaya massa dan budaya kerumunan. Arketipe ini setara dengan prototipe perilaku, serupa dengan “role model” tokoh yang diamati dan ditemukan di lintas epos, lintas mitos, lintas kebudayaan, dan lintas religi.

Arketipe pahlawan bukan tokoh massa, bukan sosok yang dikukuhkan di atas kerumunan massa, bukan di atas kumpulan manusia yang sedang “mengamuk”. Arketipe pahlawan adalah sosok yang mengisi, mengikat, dan menjadi jangkar diskursus yang tak tergerus dalam ingatan manusia terhadap peradaban dan kebudayaan.

Mari kita menelisik siapakah sang pahlawan dalam ingatan kultural yang baik. Pun mari kita belajar menerima kritik satiris Sanento Yuliman yang menulis “Dalam Bayangan Sang Pahlawan”. Di tulisan yang mendapatkan penghargaan majalah Horison pada tahun 1968 ini, Yuliman bilang, “monumen pahlawan kita penuh otot, acungan tinju, bedil, dan mulut yang sedang berteriak”.

Mari kita menyadari bahwa ingatan merupakan “kualitas tertinggi” manusia. Di sini, manusia bisa belajar, bisa mereflesksi masa lalu dan bisa memproyeksi masa depan. Di ingatan kultural yang baik, sosok yang berjasa akan terjaga utuh. Kalau tidak, sosok berjasa akan didudukkan di ambang batas antara pahlawan dan pecundang.


Keaksaraan di Tengah ‘Kegilaan Institusi Pendidikan’

Alwy Rachman

D
i dalam satu ulasan tentang perubahan sosial, yang tertuang dalam The Narcissism Epidemic (2009), Jean dan Keith menggambarkan bahwa masyarakat Amerika kini memunculkan dua tenet kebudayaan, yaitu obesitas (kegemukan) dan narsisme (pengaguman diri). Tenet kebudayaan ini ibarat kepercayaan baru, dogma baru, atau doktrin baru yang muncul dalam laku baru yang tak tersadari.

Di luar soal kegemukan, tenet narsisme dianggap sebagai perubahan sosial yang paling membahayakan. Kaum muda Amerika dinilai terjerumus ke dalam satu panggung kehidupan yang memuliakan harga diri dan pengaguman diri secara berlebihan. Maka institusi pendidikan formal dan pendidikan keluarga serta institusi-institusi sosial menjadi sasaran kritik. Sekolah, universitas, dan lembaga-lembaga sosial lainnya dituding bertanggung jawab karena berkontribusi secara signifikan terhadap munculnya doktrin kebudayaan baru yang membahayakan ini.

Dianggap membahayakan karena pengaguman diri tak akan pernah menciptakan pribadi-pribadi yang mampu berempati kepada orang lain. Orang-orang seperti ini hanya akan tumbuh menjadi orang-orang yang melihat dirinya paling penting, paling cantik, paling gagah, paling kaya. Kalau perlu, paling berkuasa. Maka, di situ tak ada tempat bagi orang lain. “Saya adalah saya, engkau adalah engkau,” kira-kira begitu bahasa sederhananya. Tak ada urusan dengan orang lain. Tak ada urusan dengan soal toleransi atas kehidupan bersama, apalagi akseptasi atau penerimaan bagi orang lain.

Pengaguman diri ini, atau dalam bahasa lokal “puji ale”, ditelusuri melalui munculnya institusi-institusi di tengah masyarakat. Institusi bisnis tattoo, bisnis salon, dan bisnis tindik bermunculan di mana-mana. Tubuh manusia lalu menjadi wadah tujuan institusi-institusi seperti ini. Malah, bagian tubuh yang paling intim sekalipun, menjadi sasaran bujukan iklan-iklan institusi-institusi ini.

Di keluarga-keluarga Amerika, anak-anak sudah diperlakukan sebagai manusia unik dan istimewa secara berlebihan, dan oleh karena itu ia didoktrin untuk memuja dirinya pertama kali. Anak-anak lain adalah soal belakang. Itu sebabnya, nama yang dilekatkan kepada anak-anak Amerika semakin hari semakin “kedengaran lain”, semakin membedakan dirinya dengan generasi pendahulunya. Pun di sekolah-sekolah dan di universitas-universitas, anak-anak dan kaum muda dipicu untuk berkompetisi secara habis-habisan tanpa peduli terhadap sesama anak-anak dan sesama mahasiswa.

Di sebagian besar kaum muda Amerika, di baju kaus yang mereka pakai, kata “I love me” (saya mencintai diri sendiri) menjalar ke mana-mana. Maka, ekspresi “I love you” menjadi kata-kata pecundang, kalah dan tergantikan oleh “I love me”. Pengaguman “saya” sebagai diri mengalami hiperbola sedemikian rupa, ibarat kelereng menjadi bola. Tenet pengaguman diri telah mengerdilkan tentang kehadiran “engkau”. Lalu “saya” dan “engkau” menjadi hubungan yang nihil dan gagal menjadi “kita”.

Obsesi kaum muda Amerika kini, setidaknya begitu pendakuan Jean dan Keith, menghadirkan symptom budaya yang terjerat rasa sakit. Dunia alami manusia berubah menjadi dunia yang lapar atas gelar dan rakus atas berbagai penyebutan. Manusia berburu gelar di mana-mana dan ingin disebut dengan berbagai julukan.
***
Amerika bukan Indonesia, sebagaimana Indonesia bukan Amerika. Di negeri sana, warganya hanya dapat melihat diri sendiri. Di negeri sini, warganya hanya dapat melihat kelompoknya sendiri. Di sana soal pribadi, di sini soal kelompok. Di sana soal “kegilaan atas pemujaan pribadi”. Di sini soal “kegilaan atas pemujaan kelompok”.

Di sini, panggung sosial dan panggung pendidikan tercampur aduk dengan modus-modus politikus. Lalu, panggung sosial dan panggung pendidikan mengadaptasi laku politikus. Baca saja media-media lokal akhir-akhir ini. Di situ, laku bahasa pemilihan rektor sudah mahir menyebut kata “koalisi” yang selama ini menjadi bahasa politik.

Di situ, pemimpin-pemimpin akademis menjelma dan tergiring menjadi manusia petarung, yang kemudian mengharuskan dia bermanuver dan bersaing untuk merebut sumber-sumber spesifik. Di situ, karakter ilmuwan menjadi samar. Pelan tapi pasti, ribuan mahasiswa berusia muda akan mencerna bahwa ternyata buruan ilmuwan pada akhirnya adalah kekuasaan.

Lalu, gaya hidup sejati dan gaya tutur yang patut untuk para akademikus menjadi hambar. Bahasa ilmu menjadi dingin dan beku. Yang menyala adalah bahasa politik. Mereka yang membaca koran secara kritis, pasti menemukan bahwa laku bahasa pemilihan rektor bukan atas nama reputasi peradaban ilmu pengetahuan.

Pun, daya guna (utilitas) ilmu pengetahuan untuk kemaslahatan bagi banyak orang menjadi tertimbun dan bungkam. Kehormatan ilmu pengetahuan berada di pojok belakang. Jabatan Rektor, dengan berbagai parasnya yang mempesona, di simpan di depan. Benar adanya keprihatinan Paulo Freire, bahwa di negeri-negeri para tiran dan feodal, literasi peradaban ilmu pengetahuan cenderung disingkirkan, dilupakan, dan ditimbun jauh ke dalam pengalaman manusia.

Bagi Freire, tugas akademikus tak lain adalah tugas pembebasan. Akademikus wajib memerdekakan literasi bangsanya. Literasi adalah soal keaksaraan. Tapi, jangan mengira keaksaraan adalah soal buta huruf. Keaksaraan adalah soal membuka timbunan pengalaman dan pengetahuan yang tersimpan dalam kawasan kebudayaan yang sejauh ini membisu akibat tirani. Tapi, bagaimana lagi kita bicara soal keaksaraan, jika institusi sosial dan institusi pendidikan serta institusi universitas justru mengadaptasi “laku politikus”?


Revolusi Candu dan Gladiator Global

Alwy Rachman

Nun jauh di masa lalu, 1830-1840-an, ada sebuah kisah tentang candu. Kisah yang dalam sejarah kemudian dibilangkan sebagai Perang Candu ini, bermula dari hubungan dagang antara dua negara berperadaban tinggi, yaitu antara Inggris dan Cina. Oleh sebagian kalangan, kisah ini dibilangkan sebagai Revolusi Candu.

Di kisah Revolusi Candu, Cina menjadi pecundang dan Inggris sebagai pemenang. Cina takluk lewat taktik Inggris yang menjerat rakyat Cina sebagai pecandu. Pasokan candu secara besar-besaran ke Cina, pada masa itu, membuat Cina penuh dengan rakyat pemabuk.

Penguasa-penguasa Cina pun pusing tujuh keliling dan akhirnya menutup semua pintu pelabuhan bagi kapal-kapal dagang Eropa. Menutup akses pelabuhan inilah yang kemudian mendorong Inggris menyatakan perang terhadap Cina. Muncullah episode Perang Candu antara Inggris dan Cina.

Hari-hari ini, di negeri ini dan di negeri-negeri lain, istilah candu menjadi usang. Istilah candu diperbarui menjadi narkotik. Narkotik pun diberi label haram meski sebagian pihak menjelaskannya sebagai golongan obat analgesik yang berfungsi menghilangkan rasa sakit. Racikan dan jenisnya pun semakin canggih dan bervariasi: opium, ganja, kokain, amfetamin, dan segala senyawa barbital lainnya.

Istilah kecanduan pun berubah menjadi istilah sakau yang menyakitkan. Pun kampanye atas penanggulangan bahaya narkotik memakai bahasa yang menyakitkan: “penjara, gila, atau mati”.

“Revolusi Candu belum usai,” begitu kira-kira pantas kita bilangkan. Revolusi Candu di abad globalisasi bukan lagi urusan dua negara yang bertikai, sebagaimana Inggris dan Cina pada masa lalu. Kini, urusan narkotik adalah urusan antara kelompok-kelompok kartel internasional dan para pemimpin negara-bangsa.

Alvin Toffler, seorang pemuka pemikir futuristik (pemikir masa depan), malah mempromosikan julukan baru bagi kelompok-kelompok kartel ini sebagai The Empire of Cocaine atau “Kerajaan Kokain”. Sedangkan James Mills membilangkannya sebagai The Underground Empire, sepadan dengan “Kerajaan Bawah Tanah”.

Baik Toffler maupun Mills mengkonfirmasi dan menyetujui bahwa “Kerajaan Kokain” dan “Kerajaan Bawa Tanah” ini adalah aktor baru di panggung globalisasi. Kedua penulis ini mengkonfirmasi bahwa aktor baru ini berwatak petarung dan pembunuh. Aktor baru ini pantas dibilangkan sebagai “gladiator global”.

Kedua pemikir masa depan ini mendaku bahwa “Kerajaan Kokain” yang sekaligus “Kerajaan Bawah Tanah” ini dapat mengalahkan kekuatan senjata, lebih sejahtera, serta melampaui status dan kedudukan sejumlah negara di dunia. Meski eksistensi “Kerajaan Kokain” ini tidak disimbolkan lewat bendera sebagaimana kelakuan negara-negara lain, mereka punya pasukan yang bersenjata canggih, punya lembaga intelijen, punya kurir, punya jaringan internasional, dan punya kemampuan diplomasi yang melebihi beberapa negara.

Para pemimpin “Kerajaan Kokain Bawah Tanah” ini mampu mengorupsi pemimpin negara-bangsa yang gemar disuap. Jangankan bupati, wali kota, dan gubernur, presiden dari satu negara-bangsa pun dapat dilumpuhkan lewat suap dan terorisme. Begitu kira-kira pendakuan Toffler dan Mills yang berisi peringatan bagi para pemimpin negara-bangsa. Eksistensi negara-bangsa kini mendapat pesaing baru dengan munculnya “Kerajaan Kokain Bawah Tanah”, yang berkiprah sebagai aktor baru di abad globalisasi.

Adalah sikap kekanak-kanakan jika pemimpin negara-bangsa menganggap “Kerajaan Kokain” gampang dikalahkan. Pemimpin negara-bangsa yang terlalu birokratis membuat reaksi dan responsnya terhadap dampak narkotik berjalan tertatih dan lambat. Pemimpin negara-bangsa sibuk pada urusan konsultasi dan urusan menyusun memory of understanding (MoU) dengan negara lain yang dianggap lawan. Pun terbirit-birit menangani keperluan kelompok kepentingan politik dalam negeri. Lalu, kasip bereaksi terhadap aksi proaktif para pangeran narkotik.

Sebaliknya, para gladiator global, terutama kelompok-kelompok gerilyawan dan kartel-kartel narkotik, bergerak tanpa birokrasi. Para gladiator ini justru dipimpin oleh bos karismatik yang justru tidak dikenali oleh pemimpin negara. Pemimpin gladiator global ini justru dapat menciptakan daya kejut dan daya bunuh dengan efisien dan cepat. Pemimpin gladiator ini dapat membeli pemimpin negara-bangsa dengan cara paling canggih. “Quick respons”, begitu kira-kira dalil para gladiator ini.

Pada akhirnya, segenap “gladiator global” ini terpingkal-pingkal menyaksikan para pemimpin negara-bangsa yang menjadikan “narkotik” sebagai isu selebritas yang dibumbui oleh cerita tentang sang gembong dengan perempuan-perempuan cantik di sekitarnya—boleh artis, boleh model. Pada ujungnya, baru kita mengerti mengapa bahasa kampanye melawan bahaya narkotik di negeri ini hanya mengancam bangsa sendiri, yaitu “penjara, gila, atau mati”. Rupanya, bahasa kita adalah bahasa buta huruf di hadapan segenap gladiator global.

Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo, Makassar.

Saturday, December 10, 2016

Arundhati, Anti-Nasionalisme di Bulan September

Alwy Rachman

“Saya ingin mengatakan banyak hal. Saya seorang penulis
dan benar-benar sudah menuliskan apa yang ingin saya katakan
karena dua alasan. Pertama, saya yakin engkau lebih tertarik
pada cara saya menulis. Kedua, apa yang harus saya katakan
adalah hal yang rumit dan berbahaya di zaman berbahaya.”
                                                                                Arundhati Roy

Dua pendirian di atas tercantum pada bagian awal pidato Arundhati Roy, seorang perempuan novelis berkebangsaan India. Pidato sepanjang delapan halaman ini dia bawakan pada Lensic Performing Arts Center, Santa Fe, New Mexico, 18 September 2002. Pidatonya mengungkap sekaligus menggugat segenap kejadian pada September, mencakup rangkaian kejadian pada abad-abad sebelumnya di bulan yang sama, termasuk kejadian pada 2001, saat Amerika dan negara-negara Barat lainnya dinilainya ikut berkontribusi terhadap penderitaan manusia, sebagaimana yang dialami oleh korban serangan 11 September.

Inti pidatonya adalah menentang kekerasan atas nama apa pun. Arundhati mendaku bahwa pidatonya yang berjudul Come September adalah kritik terhadap kekuasaan yang paranoid atas manusia dan kekuasaan yang kejam terhadap eksistensi manusia. Bagi Arundhati, kekuasaan tidak terbatas, di jenjang apa pun, baik oleh negara, perusahaan, lembaga, bahkan oleh individu, pasangan, teman, saudara-saudara sendiri, tak bisa diterima. Semuanya berujung pada penderitaan.

Di India, Arundhati melanjutkan, orang-orang yang menyatakan pandangannya tentang bahaya bom nuklir, tentang dampak bendungan besar, tentang akibat globalisasi perusahaan, dan tentang ancaman dari meningkatnya cara fasis komunal Hindu dibilangkan sebagai “anti-nasional”.Se jauh ‘anti-nasional’ diartikan sebagai melawan bangsa sendiri, saya tak marah dengan istilah itu. Saya tak perlu menjadi ‘anti-nasional’ untuk mencurigai semua nasionalisme. Saya tak perlu bersikap ‘anti-nasional’ untuk menjadi ‘anti-nasionalisme’,” begitu pendakuan Arundhati.

Label “anti-nasional” justru memaksa saya berpikir kritis terhadap semua nasionalisme. Nasionalisme dari satu jenis telah menjadi penyebab terjadinya genosida pada abad ke-20. Nasionalisme menjadikan bendera yang terbuat dari potongan kain berwarna sebagai alat oleh mereka yang berkuasa untuk mengerdilkan otak manusia. Atau, sebagai kain kafan seremonial untuk menguburkan mereka yang rela dan telah mati atas nama nasionalisme.

Ketika orang-orang yang berpikir merdeka, seperti penulis, pelukis, musikus, sutradara, mulai berbaris di bawah bendera, dan ketika mereka ini membabi buta melayani "nation", saatnya bagi kita semua untuk duduk dan khawatir. Semua ini terjadi di India setelah uji coba nuklir pada 1998 dan selama Perang Cargill melawan Pakistan pada 1999 . Di Amerika Serikat, kita juga melihatnya selama Perang Teluk. Sekarang, kita masih melihatnya dalam "Perang Melawan Teror”.

Baru-baru ini, saya dibilang sebagai "anti-Amerika”. Tapi apakah yang dimaksud dengan julukan "anti-Amerika"? Apakah ini berarti engkau anti-jazz? Atau engkau anti-kebebasan berbicara? Apakah ini berarti engkau tak mengagumi ratusan ribu warga Amerika yang turun ke jalan menentang senjata nuklir, atau ribuan penentang perang yang memaksa pemerintah mereka untuk menarik diri dari Vietnam? Apakah ini berarti engkau membenci semua orang Amerika? Begitu sederetan gugatan retorik Arundhati.

Tak sedikit orang Amerika merasa malu untuk dihubungkan dengan kebijakan pemerintahnya. Dari yang paling ilmiah, paling pedas, paling tajam, paling kritis hingga yang paling lucu. Mereka justru warga negara Amerika sendiri. Tentu dunia tahu orang-orang seperti Noam Chomsky, Edward Said, Howard Zinn, Ed Herman, Amy Goodman, Michael Albert, Chalmers Johnson, William Blum, dan Anthony Amove, yang semuanya dapat memberi tahu kepada dunia tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Pun di India begitu. Jutaan orang India akan malu jika dihubungkan dengan kebijakan fasis pemerintah India saat ini terhadap muslim di Gujarat, terlepas dari isu terorisme yang merebak di Lembah Kashmir. Sungguh tak masuk akal jika para pengkritik India dibilangkan sebagai "anti-India".

Kekuasaan yang tak mampu melihat dunia menyebabkan engkau disapa sesuai dengan yang ditentukan. Begitu sindir Arundhati. Jadi, jika engkau bukan seorang Bushie (pengikut Presiden Bush), engkau Taliban. Kalau engkau tak mencintai, engkau pasti pembenci. Jika engkau tak baik, engkau pasti jahat. Kalau engkau tak bersama kami, engkau adalah teroris .
Arundhati memang dikenal sebagai penulis novel bermatra politik. Novelnya The God of Small Things, Tuhan bagi yang Kecil-Kecil, diterbitkan pada 1997, dipuji secara kritis di seluruh dunia. Arundhati memenangi Booker Prize pada tahun yang sama, satu penghargaan bergengsi di dunia sastra berbahasa Inggris. Tema-tema novelnya berkisar pada kekuasaan dan ketakberdayaan, yang keduanya hadir di lingkar konflik tak berujung.

Menariknya, Arundhati tak menganggap dirinya seorang novelis. Perempuan pengkritik atas cinta terlarang di antara kasta-kasta di India ini memang terdidik sebagai seorang arsitek. Bulan September bulan hangat. Di bulan ini, Arundhati mengajak kita merefleksi makna “anti-nasionalisme”.


Thursday, December 8, 2016

Lebaran, Ibarat Revolusi di Jalan Raya

Alwy Rachman

Menjelang dan sesudah Lebaran, jalan raya di negeri ini menjelma ibarat “panggung revolusi”. Lalu “panggung revolusi” itu “memakan anak-anaknya sendiri”. Hari demi hari yang membentang seminggu sebelum dan seusai Lebaran, nyawa anak-anak bangsa melayang di jalan-jalan raya. Oleh para pemegang otoritas, kematian yang begitu jamak dan masif diberi penanda “jumlah korban tewas mudik”. Sekali lagi, kematian atas nama tradisi mudik.

Dengan penanda seperti ini, tidak ada duka nasional untuk mereka yang menjadi korban. Pun tidak ada upacara simbolis, apalagi malam renungan bagi segenap korban. Tidak ada ajakan untuk menundukkan kepala, meski hanya sesaat, agar bangsa ini sedikit bisa mengerti betapa kematian anak-anak bangsa di hari-hari penting seperti ini menjadi lara tiada tara.

Yang ada adalah pernyataan statistik atas kematian. Dengan sedikit gampang, enteng, dan ringan, pemegang otoritas di negeri ini membilangkan di berbagai media bahwa performa manajemen pengaturan mudik tahun ini jauh lebih baik ketimbang tahun lalu. Pasalnya, hingga H +2 Lebaran tahun ini, jumlah pemudik yang meninggal akibat kecelakaan hanya mencapai 471 jiwa. Ketimbang Lebaran tahun 2012, kematian mencapai 908 jiwa hingga seminggu seusai Lebaran. Lagi pula, dua tahun sebelumnya, yaitu Lebaran 2011, jiwa yang melayang mencapai 760 jiwa.

Meski dibanding-bandingkan dari tahun ke tahun, angka-angka statistik atas kematian tidak akan pernah membuat sisi kemanusiaan kita menjadi terharu. Angka-angka seperti ini hanya bermanfaat bagi para pemegang otoritas dan para pemegang kuasa. Selebihnya, rasa haru hanya dirasakan oleh anak-anak yang kehilangan ayah-ibu, saudara yang kehilangan saudara, atau orang tua yang kehilangan anak. Bagi keluarga korban, Lebaran yang dibilang sebagai hari kemenangan menjelma menjadi hari kehilangan. Rasa haru bukan soal statistik.

Seminggu menjelang dan seusai Lebaran, jalan-jalan raya memang “mirip panggung revolusi”. Pasti bukan revolusi bersenjata atau revolusi politik guna mengubah atau merebut kuasa. Tapi revolusi yang ditandai oleh perubahan secara dramatis dan masif atas identitas sosial kota ke identitas sosial kampung, meski hanya sesaat dengan meminjam momentum hari Lebaran. Sangat menyesakkan, bila kita mau sedikit menghayati, upaya anak-anak bangsa memenuhi kerinduan untuk kembali ke alam “perasaan primordial kampung” tapi kemudian berujung pada peristiwa kematian.

Tragedi adalah analogi yang memungkinkan bisa dipakai untuk menandai sisi buram kemanusiaan yang menimpa korban mudik menjelang dan seusai Lebaran. Pasalnya, jumlah kematian yang tidak sedikit itu hanya dicerna berdasarkan kesenangan membaca media cetak atau selera menonton media televisi. Kematian demi kematian ini tidak menimbulkan daya kejut kolektif sebagaimana respons terhadap korban perang atau korban tsunami. Malah, pemudik ini, oleh seorang narasumber di salah satu televisi nasional, dibilangkan sebagai manusia-manusia berperilaku irasional dan aksi pulang kampung sebagai bagian dari kesempatan show off di mata keluarga di kampung.

Bisa juga dibilang sebagai ironi. Harapan pemudik untuk bertemu keluarga, menemui orang-orang yang dihormati, berubah menjadi ratap tangis. Daya kejutnya tidak pada masyarakat, tapi pada keluarga yang ditinggal.

Jalan-jalan raya di negeri ini tidak dimaksudkan sebagai “ladang pembunuhan”—meminjam istilah seorang jurnalis Kamboja, Dith Pran. Tak juga diandaikan sebagai sarana untuk menonton hancurnya kemanusiaan sebagaimana film The Killing Fields yang memotret kisah pelarian Haing S. Ngor dari kamp kematian.

Korban tewas mudik pasti bukanlah pribadi-pribadi yang lari dari kamp kematian. Mereka, untuk sementara, lari dari liku-liku kehidupan kota yang tidak bersahabat. Mereka, yang semula adalah pelaku “bunuh diri kelas” secara sosial, justru dijemput oleh kematian di jalan-jalan raya pada saat berkehendak kembali ke identitas sosial kampung.

Tak ada duanya tempat untuk menyaksikan ribuan orang yang mengalami cedera berat dan ringan serta ratusan orang mati di jalan-jalan raya, kecuali di Indonesia. Rasanya manusia-manusia Indonesia patut menghitung ulang harga dan nilai manusia di jalan-jalan raya. Dengarkan baik-baik pendakuan seorang sufi muslim bernama Rumi: “Aku sudah muak dengan binatang buas. Yang kuinginkan hanyalah manusia.” Mari kita berhenti berperilaku seperti binatang buas di jalan-jalan raya.

Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo, Makassar.
 
Alwy Rachman.