SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Sunday, November 29, 2015

Di Dunia Objektif dan Abjektif



Alwy Rachman
 
Pada mulanya, manusia terlahir tak berdaya. Pada awalnya, manusia menjalani hidupnya melalui seorang ibu. Untuk hitungan setahun-dua tahun, kehidupan ibu-anak ini, oleh para ahli, dibilangkan berada di dunia abjektif, yaitu dunia yang menghubungkan antara pengasuh dan yang diasuh. Dan, karena itu, dunia seperti ini nirkekerasan. Oleh sebagian orang, dunia seperti ini disebut sebagai dunia yang membahagiakan, terutama bagi sang ibu.

Di dunia abjektif, kemampuan manusiawi anak-anak disusun secara sepotong demi sepotong, sedikit demi sedikit, sembari menunggu waktu agar sang anak siap memasuki realitas kehidupan sosial yang berserakan di luar sana. Dengan begitu, segalanya berjalan dan berlangsung dengan kesediaan berempati dan bersabar bagi sang ibu di atas ketakberdayaan pada diri sang anak. Inilah dunia yang alamiah di babak awal kehidupan. Dunia seperti ini, oleh sebagian ahli, disebutnya sebagai “nature”, yang menjadi penanda awal kehidupan.

Selepas dari dunia abjektif, anak-anak akan berpindah ke dunia sosial. Dunia sosial biasanya diawali di sekolah-sekolah. Sekolah lalu menjadi jembatan emas yang membawa anak-anak dari dunia yang diasuh oleh ibunya sendiri ke dunia “lain” yang kita bilangkan sebagai institusi sekolah. Dunia ini kemudian kita sebut “dunia yang terstruktur secara rasional”, dunia objektif. Para ahli bilang inilah “culture”.

***
Tapi, sekolah di luar sana, di luar dunia abjektif, tak serta-merta bersahabat dengan anak-anak. Wajah tulus dunia abjektif bisa berubah menjadi wajah beringas di dunia objektif. Kepengasuhan anak-anak yang begitu kuat di rumah dapat menjelma menjadi pembencian tiada tara terhadap anak-anak. Simaklah pemberitaan kekerasan seksual terhadap anak-anak lelaki di sekolah yang menyebut dirinya sekolah internasional di negeri ini. Atau dengarkan dan baca berita dari berbagai media tentang tewasnya seorang taruna di salah satu akademi. Kejadiannya juga di negeri ini.

Matinya kultur kepengasuhan di institusi-institusi sekolah malah menjungkirbalikkan anggapan umum, dan juga anggapan sebagian ahli, bahwa tubuh perempuanlah yang sering dijadikan arena kekerasan simbolik sebagai akibat kontestasi di antara lelaki. Kini, kekerasan di sekolah menampakkan wajah dasamuka. Tubuh lelaki pun menjelma menjadi bagian dari arena kekerasan. Akal yang tak sakit nyaris tak bisa percaya bahwa anak-anak lelaki pun diperdaya secara menjijikkan oleh lelaki dewasa.

Seorang scholar tentang kekerasan, Irigaray, membilangkan bahwa kekerasan senantiasa muncul di ranah sosial dan di ranah simbol. Di sini, persepsi kekerasan dan perilaku menyimpang dipungut lewat pembelajaran sosial dan mungkin juga melalui pembelajaran kebudayaan. Dunia sosial yang membenarkan kekerasan dan permisif terhadap perilaku menyimpang akan merampas habis kualitas tulus dunia abjektif. Lalu, kekerasan di dunia sosial sering dikukuhkan ke dalam dunia simbol, tanpa banyak disadari. Makanya, sang taruna tewas melalui simbol sang senior dan anak-anak dilecehkan melalui persekongkolan para lelaki dewasa penyimpang.

Di ranah sosial ini, konflik dan kekerasan serta perilaku menyimpang dimanifestasikan dan diekspresikan dengan bermacam aspeknya dan modusnya. Di sini, mekanisme “pengingkaran” dijalankan, dan mekanisme “pembencian” difungsikan. Faktanya, di akademi itu, sang senior mengingkari bahwa sang junior memiliki hak yang sama untuk diperlakukan secara manusiawi, dan lelaki dewasa di sekolah internasional itu secara sadis membenci anak-anak.
***
Adalah benar bahwa sekolah bukan satu-satunya. Kekerasan serupa juga bermunculan di luar sekolah, di masyarakat. Tapi, bagaimanapun juga, sekolah tetap saja diidolakan sebagai tempat pembudidayaan manusia, sejak anak-anak, sejak berusia muda. Sekolah, dengan demikian, menjadi wadah untuk membiasakan dan meneladani apa saja yang baik dan pantas. Kebaikan dunia abjektif sang ibu sejatinya tak hancur lebur oleh lelaki di sekolah, di dunia objektif.

Perilaku menyimpang yang ditonton anak-anak, apalagi yang dialaminya, akan menjadi “pembelajaran sosial”. Kesaksian anak-anak terhadap kekerasan akan membekas pada perilaku dan sikap mereka kelak. Lalu, jangan heran jika kekerasan pun menjadi kultur dan sekaligus dikultuskan. Lihatlah anak-anak di beberapa negara di kawasan Afrika dan Balkan. Di sana, anak-anak cenderung mengunggulkan nilai-nilai “kemenangan”, “kekuatan”, dan “kekuasaan” untuk menghadirkan rasa takut pada lawan. Begitu pendakuan Fuad Hasan, mantan Menteri Pendidikan di Republik ini.

Mari kita hentikan lingkar tak bermoral kekerasan. Mari kita jadikan dunia sekolah yang objektif rasional sebagai tempat berlanjutnya dunia abjektif. 

Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar, 6 Mei 2014
 
Alwy Rachman.