SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Sunday, November 29, 2015

Politikus, Pesulap, atau Penguasa?

Alwy Rachman

Kedudukan sebagai politikus mengundang banyak julukan. Dari julukan berwajah manis, cantik, serta gagah, hingga sebutan berwajah pahit dan buruk. Di percakapan sehari-hari, ada yang bilang secara terburu-buru bahwa politikus sama dengan negarawan. Tanpa politikus, tidak akan ada demokrasi. Pun politikus bilang, “Suara rakyat itu suara Tuhan.” Slogan ini bisa diterima  kalau rakyat dan politikus memang bertuhan, demikian pendapat seorang sahabat pada satu diskusi.

Ada juga yang tergesa-gesa mengatakan tidak sedikit politikus itu adalah pembohong. The Art of Possibility, sebagaimana sering didalilkan dalam berpolitik, juga mencakup seni berbohong. Ada lagi yang berpendapat fatalistik, saking kecewanya terhadap perilaku politikus di negeri ini. “Mari kita berdemokrasi tanpa politikus,” katanya.

Di negeri sendiri, terutama pada pertemuan-pertemuan resmi, para pembaca pidato sering menyapa politikus dengan julukan “anggota Dewan yang terhormat”. Julukan “terhormat” menjadi pemanis bahasa resmi, meski sehari-hari kita juga dijejali dengan berita tentang korupsi oleh politikus di berbagai lembaga demokrasi.

Demikian “terhormatnya”, banyak politikus diajak dan dilibatkan sebagai pengurus di berbagai organisasi sosial dan agama.  Jadilah politikus berkaki banyak. Mereka ada di mana-mana. Ujungnya, berbagai organisasi masyarakat sipil tak lagi mampu bersikap kritis terhadap orang-orang yang dibilang “terhormat” ini. Tak ada lagi diferensiasi peran antara politikus dan pemimpin organisasi masyarakat.

Julukan “anggota Dewan yang terhormat” adalah hal yang wajar. Malah, di berbagai tulisan akademis tentang politik, politikus dipersamakan dengan The Kingly Man, yaitu orang-orang yang dirajakan. Diperlakukan bagaikan raja, tapi bukan raja, kira-kira begitu bahasa persamaannya.

Politikus juga disetarakan sekaligus dibedakan dengan pangeran. Persamaannya adalah sama-sama disapa “Your honor”, “Engkau yang Terhormat”. Perbedaannya, politikus berurusan dengan demokrasi, sementara pangeran berurusan dengan monarki. Politikus diberi kehormatan di atas kekuasaan rakyat.

Itu sebabnya, politikus berkewajiban menemu-kenali seluk-beluk demokrasi dan mahir menjalankan mesin demokrasi untuk dan atas nama hak-hak politik orang banyak. Sedangkan pangeran mewarisi kehormatan secara otomatis berdasarkan kekuasaan keluarga.

Dengan kewajiban seperti itu, para politikus diyakini sebagai orang-orang yang berkemampuan untuk melembagakan masalah orang banyak. Mereka sejatinya adalah pribadi-pribadi yang sanggup mentransformasikan rakyat menjadi satu bangsa.

Mereka dijuluki “anggota Dewan yang terhormat” karena diberi kewajiban demokrasi, yaitu mengubah konstitusi manusia untuk tujuan penguatan peradaban kemanusiaan. Malah, para politikus berkewajiban moral memperkuat peradaban demokratis. Bukan peradaban sebagaimana disindir oleh Lord Acton, “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men.” Kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut akan korup secara absolut pula. Orang-orang besar hampir selalu merupakan orang-orang buruk.

Ego orang-orang “terhormat” tak mudah diketahui. Tapi, rumusan Carl Golden tentang arketipe (archetype, wajah pola dasar ego) manusia dapat dipakai. Konsep dan analisis tentang wajah ego pada mulanya dipelopori oleh psikiater berkebangsaan Swiss, yaitu Carl Gustav Jung. Gustav Jung percaya bahwa arketipe adalah bawaan yang bersifat universal dan turun-temurun. Arketipe memandu manusia untuk mengatur dan bertindak. Arketipe adalah ketidaksadaran kolektif yang berwujud pada perilaku atau kepribadian.

Di antara 12 macam arketipe yang diturunkan oleh Carl Golden, kualitas seorang pemimpin diurai dalam dua wajah ego. Ego yang berwajah The Magician dan bermuka The Ruler (ego Pemimpin yang Pesulap dan Pemimpin yang Penguasa). Ego Pemimpin yang Pesulap dianggap memahami hukum-hukum alam, memiliki cakrawala dan cara pandang yang visioner, bercitra karismatik, dan mampu mengubah keadaan (mengubah dunia). Sedangkan ego Pemimpin yang Penguasa selalu menganggap dirinya, dan meminta orang banyak memperlakukannya, sebagai bos, raja, atau ratu. Pemimpin seperti ini rajin mencitrakan dirinya sebagai bangsawan.

Tapi, jangan mengartikan pesulap di sini sama dengan orang yang memiliki keterampilan seperti sosok Deddy Corbuzier, Romy Rafael, atau Demian Aditya, yang semuanya berkiprah di panggung entertainment. Mereka adalah pesulap sejati, bukan politikus.

Kita, sekarang, mencari pemimpin yang dapat menyulap kalangan elite yang memiliki tabiat korupsi menjadi elite yang bersih. Kita, sekarang, menanti pemimpin yang dapat mengubah rakyat yang gemar menggadaikan suara politiknya menjadi rakyat yang mandiri dan tahu apa artinya hak politik. Jika tidak, pemimpin dan rakyat akan berada di lingkar setan tak bermoral, yaitu pemimpin yang suka membeli dan rakyat yang gemar menggadaikan.


Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar, 27 Agustus 2017









 
Alwy Rachman.