SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Sunday, November 29, 2015

Lidahku Rumahku



Alwy Rachman
  
Lidahku adalah bahasaku. Bahasaku adalah identitasku. Identitasku adalah rumahku. Kira-kira begitulah refleksi Gloria Evangelina Anzaldua terhadap apa yang disebutnya sebagai identitas diri. Dengan penuh keyakinan, Gloria mengajak semua pihak agar tak melarang orang lain berbicara, menulis, atau berekspresi dengan bahasa lidahnya sendiri. “Jika engkau melakukannya, engkau sebenarnya telah melakukan kekerasan.” Gloria pun menambahkan, “Jika engkau memakai bahasaku dengan cara buruk ketika engkau berbicara kepadaku, engkau sesungguhnya sedang menyakitiku.”

Gloria adalah seorang penyair, novelis, esais, sekaligus penulis akademis tentang ruang hidup yang disebutnya sebagai “tapal batas” (borderlands). “Tapal batas” yang dimaksud Gloria adalah ruang yang tercipta dari susunan-susunan makna sebagai akibat dari kepenguasaan atas berbagai identitas: identitas bahasa, identitas etnik, dan identitas budaya. Bagi Gloria, di “tapal batas”, antara bahasa baku dan bahasa sehari-hari, antara bahasa tinggi dan bahasa rendah, antara bahasa bangsawan dan bahasa orang kebanyakan, antara satu bahasa etnik dan bahasa etnik lainnya, identitas diri seseorang berpeluang tercuri secara sepihak melalui bahasa. Mereka yang berkemampuan berbicara dan menulis dalam berbagai bahasa (multiple language) dilihatnya sebagai pihak yang berpotensi menjadi pencuri bahasa dan untuk selanjutnya sebagai pencuri identitas.

Pada dirinya sendiri, Gloria adalah perempuan yang mengalami menstruasi justru saat masih berusia tiga bulan. Menstruasi sejak masih bayi—karena simtom kelenjar endokrin—membuat pertumbuhan fisiknya berhenti pada usia 12 tahun. Deritanya tak teratasi karena ia dilahirkan di keluarga buruh tani. Kalau toh ada keberuntungan mungil untuknya, hal itu tak lain karena Gloria-lah satu-satunya di keluarga yang bisa menggapai pendidikan universitas di Texas.

Gloria berpulang ke penciptanya di California pada 15 Mei 2004, tepat ketika ia berusia 61 tahun. Semasa hidupnya, dengan derita yang menyertainya dan dengan bekal pendidikan tinggi, Gloria berkelana di ruang kreatif yang penuh dengan kejutan dan di ruang reflektif yang senyap. Gloria mengaku takut menulis, tapi lebih takut kalau tak menulis.

Kembara yang liar dan refleksi yang menukik kemudian membawanya ke dunia literasi yang sarat akan pemikiran filosofis tentang “tapal batas”. “Tapal batas” yang dimaksudkan di sini adalah ruang yang tercipta dari kontestasi bahasa, eksistensi, dan identitas diri. Di “tapal batas” ini, Gloria menemukan lidahnya sendiri sebagai lidah yang binal dan liar. Ia menyadari bahwa lidahnya tak terkendali ketika menuliskan karyanya ke dalam bahasa Inggris baku. Lidahnya selalu berontak untuk tetap berekspresi dalam bahasa ibunya, bahasa Spanyol.

Dalam esainya Mengatasi Lidah yang Liar (How to Tame Wild Tongue), dengan penulisan bergaya hibrida, Gloria menyindir bahwa lidah liar tak dapat dijinakkan, kecuali kalian memotongnya. Gaya ungkap Gloria tanpa tedeng aling-aling. Secara merdeka, ekspresi bahasa Spanyol dipaparkannya ke dalam karyanya yang justru, secara keseluruhan, ditulis dalam bahasa Inggris baku, tanpa merasa perlu menerjemahkannya atau memberi catatan kaki sebagai penjelas bagi para pembaca bahasa Inggris.

Gloria pun menyebut dirinya sebagai sastrawan pemakai bahasa Spanglish—gaya hibrida yang mencampur antara bahasa Spanyol dan bahasa Inggris baku. Baginya, bahasa dominan, bahasa baku, apalagi bahasa asing adalah wilayah perjuangan yang tak seharusnya menenggelamkan eksistensi dan identitas diri. Eksistensi dan identitas diri seharusnya memunculkan diri lewat lidah yang kita pakai untuk bertutur dan lewat pena yang kita pakai untuk menulis.

Bahasa, dalam filsafat Gloria, adalah kulit kembar dari identitas diri. Karenanya, penting menyadari dan memastikan bahwa bahasa yang kita tuturkan atau bahasa yang dipakai oleh orang lain memang adalah milik diri sendiri atau kepunyaan orang lain. Kalau tidak, kita sedang bertutur atau kita sedang menulis justru ketika kita sedang mencuri bahasa dan identitas orang lain. Atau, kita sedang dicuri oleh orang lain tanpa pernah menyadarinya.
Melalui bahasa, kita mungkin kehilangan eksistensi dan jati diri. Dan, melalui bahasa pula kita dapat menerkam dan melumat habis eksistensi dan jati diri orang lain. Mulutmu harimaumu. (*)


Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar, 5 Maret 2013
 
Alwy Rachman.