SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Sunday, December 13, 2015

Beri Saya Keadilan Wicara

Wiwiniarmy Andi Lolo

“Kita adalah sekumpulan pikiran yang
saling menerkam saat diumpan dengan isu”

Saya adalah manusia yang memiliki hak asasi yang di dalamnya terdapat hak untuk berpendapat. Setiap orang juga begitu. Ya, idealnya seperti itu. Meski demikian, tak jarang, kita tak sadar bahwa koridor untuk menyampaikan pendapat adalah hak yang sering “diatur” oleh hal-hal yang sering terlupakan. Isu yang dilempar segera saja menjadi “umpan” yang memerangkap. Di sana, kita kemudian saling menerkam.

Di segenap puspa ragam media sosial, ruang berpendapat menjadi gemuk, luas, panjang dan lebar. Di sana, nyaris setiap orang mengunggah, menyimpan dan membakukan pikiran. Semua untuk dan atas nama dan atas dalil “kebebasan berpendapat”. Di sana pula, respons balik menghadirkan dirinya. Ada pihak yang merasa dirugikan dan dicemarkan. Lalu, mereka yang rugi dan tercemar menuntut balik. Senapan “pasal pencemaran nama baik” pun ditodongkan.

Dilema? Ya, bagi sebagian orang. Tidak, untuk sebagian lainnya. Yang pasti, pada 8 Oktober 2015, Kepala Polri mengeluarkan surat edaran bernomor SE/06/X/2015 tentang ujaran kebencian. Edaran yang membuat banyak orang kelabakan, merasa tertodong, dan mungkin juga merasa akan terkena peluru dari senapan, terlepas sang peluru akan melesat “direct to the point” atau sekadar “nyasar”.

Hak atas “kebebasan berpendapat”, bukan hak yang semata-mata berdiri di atas prerogatif individu. Bukan pula hak istimewa kelompok per kelompok. “Kebebasan berpendapat” adalah wujud eksistensial manusia untuk saling memperhadapkan pendapat secara inter-subjektif. Subjek bertemu subjek untuk sebuah keadilan bagi publik.

Di kisah awalnya, “kebebasan berpendapat” telah diadvokasi melalui Areopagatica yang mashyur. Areopatica sendiri adalah nama sebuah puncak di Yunani, tempat manusia pertama kali berbicara dan berpendapat secara intersubjektif. Nama puncak ini kemudian menandai karya John Milton yang merupakan cuplikan Isocrates, seorang Yunani pendiri sekolah retorika yang paling berhasil tahun 391 SM. Di Areopagitica, Milton bertutur, “Give me the liberty to know, to utter, and to argue freely according to conscience, above all liberties,” di tengah kecamuk perang sipil di Inggris.

***
Saya ingin mendudukkan Areopagitica Milton sebagai rujukan paling historis, paling inspiratif, dan dengan demikian, paling relevan dengan apa yang sedang kita bahas. “Kebebasan berpendapat” dapat dikatakan sebagai hak eksistensial manusia yang mesti diekspresikan oleh setiap orang, tanpa hambatan apalagi dihambat. Ia disebut hak, karena berpendapat adalah bagian dari “penyelamatan manusia” dari tirani yang memungkinkan

Sayang, “kebebasan berpendapat” sering terusik dan diusik oleh “adab tutur” yang belum mapan. Saya meyakini bahwa para pecandu “gadget”, terutama mereka yang memperbaharui statusnya, “tahu” arti ungkapan seperti “I hate you!”, “Damn it!”, “Shit!”, “Fuck!”, “Ass!” di aneka ragam media sosial. Tapi, saya tak percaya bahwa mereka “mengerti”. Bagi saya, “tahu” dan “mengerti” adalah dua hal yang sangat berbeda.

Saya tertarik untuk merujuk pandangan akademia Prof. Stanislaus Sandarupa, M.A, Ph.D di rubrik opini, Harian Kompas, 20 November 2015 lalu. Di situ, Stanis menulis, “…agak susah dipaham ijika surat edaran tersebut dilihat sebagai aturan pembatas kebebasan berpendapat. Pada tingkat bahasa justru dibutuhkan aturan-aturan kegiatan akal untuk menyanggupkan kita membangun defenisi, menggabung dan memisahkan ide, serta mengonstruksi silogisme. Apabila bahasa merupakan instrument pikiran, selanjutnya perlu aturan-aturan tata bahasa untuk mengungkap pendapat yang bebas.”  


Saya menyetujui pendapat beliau. Saya berpendapat, bahasa yang disampaikan melalui ujaran adalah buah pikiran yang dapat menggambarkan pikiran itu sendiri, meskipun dalam produksinya perlu keadaban tutur untuk kebebasan. Pendapat kedua saya dirujuk ke Austin, khususnya tindak tutu perlokusi. Hate speech, menurut pemahaman saya, sejalan dengan apa yang dimaksud tindak tutur perlokusi, yakni menyimpan niat pada penuturnya untuk memperoleh responds dari objek tutur.

Austin berpendapat, bahasa mempengaruhi pikiran serta perasaan kita. Hate speech adalah hal yang mengganggu pikiran serta menggugah perasaan. Penutur hate speech mungkin tidak pernah memikirkan sejauh itu, bahkan mungkin tidak peduli. Padahal, ia menyakitinya orang lain atau ia yang sakit hati.

Standing position saya dilatari oleh lingkungan konteks tinggi dan dilatari oleh upaya untuk memaksimalkan kecerdasan intrapersonal dan interpersonal. Seringkali, suara saya bergetar saat menyampaikan kritik secara langsung kepada seseorang. Saya selalu dibayangi ketakutan, setelah saya mendalami konteks budaya saya.

Masyarakat Toraja, khususnya di keluarga saya, menggunakan bahasa yang halus puitis. Saya selalu merindukan kembali teguran ayah setiap kali saya berbuat salah. Ia sebenarnya marah, tapi membuat saya ingin tetap mendengarnya. Saya menghayati “marah seorang ayah” yang disampaikan dengan wicara indah tapi tajam. Alhasil, saya tidak terluka namun tetap mampu mengintrospeksi diri.

Kini, saya tidak mampu mengeritik orang lain, karena saya tak bisa memproduksi kata-kata seindah bahasa ayah saya. Saya takut bahwa orang tersebut akan terluka dan mendendam pada saya. Saya “menginginkan perlakuan yang sama dari orang lain”. Saya tahu pasti, tidak semua orang adalah saya. Namun, saya berharap keadilan bagi semua orang untuk mengutarakan pendapat dengan jaminan bagi objek ujaran. Maka saya mendukung pengawalan ujaran dari Polri.
 
Alwy Rachman.