SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Thursday, December 10, 2015

Politik Topeng dan Pembenci Parlemen

Alwy Rachman

Parlemen bukanlah institusi yang berkisah manis, bukan juga institusi yang berkisah tentang orang-orang besar atau merasa besar yang melulu diagungkan, lalu dengan demikian selalu disetujui ataupun diiyakan. Boleh saja mereka membilangkan kehadirannya di parlemen atas kehendak “suara rakyat suara tuhan” atau boleh juga mereka meyakini bahwa mereka adalah representasi “suara partai suara rakyat”. Tapi mereka juga sejatinya percaya bahwa selalu saja ada perlawanan terhadap parlemen untuk tidak mengatakan ada saja rakyat yang menganggap dirinya tidak terwakili oleh parlemen.

Jauh di masa lampau, sekitar 408 tahun lalu, di Inggris, ada kisah tentang seorang pembenci parlemen. Tokohnya dibilangkan sebagai Guy Fawkes. Sang tokoh, bersama 12 orang lainnya, dianggap berkonspirasi untuk meledakkan parlemen Inggris, yaitu “The House of Lords”, “Parlemen para Bangsawan”. Tujuannya adalah membunuh Raja James I. Dalam sejarah parlemen Inggris, skenario konspirasi ini disebut sebagai "Gunpowder Plot , 5 November 1605".

Skenario gagal ini diperkirakan akan menggunakan 36 barel bubuk peledak. Lalu komplotan konspirator pun tertangkap, dan tentu saja dihukum mati, kecuali Fawkes, yang akhirnya meninggal dalam upayanya melarikan diri dari pelaksanaan eksekusi. Dalam masyarakat Inggris, kisah dan peristiwa ini kemudian dikukuhkan sebagai “Guy Fawkes Day”. Pada setiap 5 November, setiap tahun, orang-orang di Inggris dan di bagian dunia lain memperingatinya dengan kembang api dan api unggun sembari membakar topeng dan patung Guy Fawkes.

Tapi, akhir-akhir ini, kisah Guy Fawkes seolah menginspirasi perlawanan rakyat negara-negara maju terhadap apa yang dianggapnya sebagai “kapitalisme yang berkuasa” secara sepihak. Permisalannya dapat dilihat dari ratusan demonstran yang menduduki Wall Street selama berhari-hari, beberapa saat lalu, untuk melawan kapitalisme global sembari memakai topeng Guy Fawkes yang berparas “senyum mengejek” dan “kumis tak biasa”.

Lalu, kisah nyata Guy Fawkes pun berubah. Suka atau tidak, kisahnya kini dipakai secara simbolis. Wajahnya yang di abad ke-17 dianggap menjijikkan karena dianggap berkhianat, kini dipindahkan ke dalam tirai topeng yang dipakai untuk melawan. Wajah sang tokoh ditransformasikan untuk keperluan berpolitik di parlemen jalanan. Politik topeng, kira-kira begitu bahasa sederhananya.

Soal politik topeng di parlemen jalanan, menarik juga membaca analisis Thomas Neil dari University of Denver. Neil mendaku bahwa politik topeng bertujuan menolak representasi politik partai dan negara. Politik topeng bisa dibilangkan sebagai strategi politik baru yang menolak representasi partai politik dan politik identitas. Politik topeng berkontribusi terhadap demokrasi langsung secara setara.

Neil juga membilangkan bahwa politik topeng menciptakan universalisme politik. Dengan menggunakan tirai wajah topeng, siapa pun dapat berpartisipasi dalam melawan neoliberalisme. Topeng mendukung demokrasi yang egaliter. Politik topeng membantu menciptakan konsensus yang bertujuan memenuhi kebutuhan semua orang, bukan mendukung keputusan yang mengecualikan kebutuhan minoritas.

Topeng, Neil menambahkan, memfasilitasi demokrasi dengan cara menciptakan lembaga politik kolektif anonim. Di kolektivitas anonim seperti ini, setiap orang tidak mendahulukan identitasnya, dan dengan demikian setiap orang dapat berpartisipasi secara bebas dalam memprotes parlemen. Identitas kelompok dan ideologi kelompok yang berbeda-beda tidak ditolak, tapi didudukkan sebagai bagian dari universalisme politik.

Politik topeng juga dimaksudkan untuk melemahkan hierarki dan otoritarianisme dengan menghilangkan penanda otoritas, termasuk wajah para demonstran dalam gerakan ini. Contohnya, dengan ratusan orang berdemonstrasi dengan tirai topeng Guy Fawkes di Washington akan membuat siapa pun yang menontonnya tidak akan dapat membedakan kelompok siapa yang sesungguhnya sedang memperjuangkan kepentingannya.

Tapi, Guy Fawkes adalah kisah warisan dari masa lalu. Kisah serupa tak ada dalam literasi demokrasi di Indonesia, meski parlemen Indonesia pernah diduduki oleh mahasiswa pada 15 tahun lalu. Pun kisah para demonstran yang menggunakan “topeng Guy Fawkes” hanya terjadi di luar sana.

Di negeri sendiri, kisah mutakhir tentang parlemen kaya akan aroma korupsi. Barangkali ini satu tanda bahwa yang ada di negeri ini bukan politik topeng, tapi topeng politik. Topeng politik memang menjadi modus bagi banyak politikus untuk bersembunyi di balik politik demi memperkaya diri, kelompok, atau keluarga. Tanda bahaya di masa depan adalah jika setiap orang di republik ini akan memilih posisi dirinya sebagai “pembenci parlemen”.


















 
Alwy Rachman.