SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Friday, December 11, 2015

Utopia, Simbol dan Kekejaman

Alwy Rachman

"Dulu mereka menulis, engkau terhormat dan pantas mati
untuk negeri seseorang. Tapi, dalam perang modern, tak ada
lagi kehormatan dan kepantasan bagimu. Engkau akan mati
bagaikan hewan tanpa alasan."

                                                                           Earnest Hemmingway

Di salah satu koran nasional, tiga individu ekstremis ISIS diberitakan membilangkan dirinya The Beatles. Yang satu menyebut dirinya John, dua lainnya dipanggil Ringgo dan George. Yang menyebut dirinya John dianggap paling kejam: memenggal kepala seorang pewarta Amerika, James Foley, lalu diunggahnya ke seantero jagad. Seketika, kenangan simbolik pemusik Liverpool yang bersuara atas nama perdamaian menjadi terbalik dan terjungkir.

Julukan The Beatles sebagai kelompok seniman antiperang kini diculik oleh para penculik dan dipakai bertindak simbolik. Abdel-Madjed yang menyebut diri John, Abu Hussein al-Britani yang dipanggil George serta Abu Abdullah al-Britani yang dibilangkan Ringgo, pasti dimaksudkan sebagai aksi simbolik. John-George-Ringgo ala ISIS ingin menyampaikan pesan simbolik, "Engkau yang antiagama akan kupenggal, engkau yang antinasionalis akan kuhabisi, dan engkau yang kapitalis akan kuhempaskan." Utopia perdamaian The Beatles kini diseret ke pragmatisme perang.

The Beatles tak lain adalah kisah musikus yang menggantung cita-cita utopis. Saking utopisnya, bersama Yoko Ono, sang istri, John Lennon mengurung diri di kamar serba putih selama puluhan hari sebagai protes terhadap perang. Di waktu lain, John merilis lagu Imagine tahun 1971 yang mengajak pendengarnya di seantero dunia untuk meninggalkan kekerasan atas nama negara dan agama.

Lirik Imagine yang menolak perang dan kekerasan, yang membayangkan tak ada negara dan tak ada agama, kemudian mengundang respon favourable. Sebagian bilang, John berutopia tentang “collective compassion" yang hilang, sebagian lagi berkata “John membayangkan kembali “collective consciousness" yang lenyap. Yang lain menulis garang, “Imagine yang ditulis John adalah antigama, antikapitalis, antinasionalis, antinegara, antisurga sekaligus antineraka.".

Utopia John dipicu oleh jutaan nyawa yang melayang di ujung peluru di Vietnam. Tapi, John sendiri tak mengira hidupnya juga berakhir di ujung peluru. Ia secara tragis terbunuh oleh peluru seorang penggemar. Alasannya pun atas nama simbol. "Saya membunuhnya, agar ia abadi dalam sejarah, agar ia dikenang", kata sang pembunuh. Romansa John sebagai seniman antiperang dan sebagai lelaki pencemburu, setidaknya pada Yoko Ono, akhirnya berakhir.

***
Visualisasi perang dan kekerasan, lewat media canggih dan beragam, kini memasuki rumah setiap orang. Perang ditonton dengan santai di waktu senggang, kekerasan dihadirkan di ujung jari lewat perangkat handphone dan komputer: di rumah sendiri. Anak-anak yang segera yatim, ibu-ibu muda yang tiba-tiba menjanda, atau orang-orang tua yang sekejap kehilangan anak, tak lebih dari sekadar komoditas tontonan sejagad.

Jadilah kita semua sebagai "penonton". Tapi, kita adalah penonton tanpa hati, kosong empati dan hampa rasa. Kita semua menjadi "makhluk mati rasa" di atas semua elemen visual yang menggambarkan tragedi. Repetisi penyiaran tragedi perang dan kekerasan di media, menjadikan kualitas hati kita berpindah dan berubah menjadi batu cadas yang keras dan hitam. Indra manusia-penonton, sebagaimana juga kita, menjadi terpidana. Ekspresi haru di atas kemanusiaan menjadi peristiwa langka dan mahal.

Manusia memang tak selalu manusiawi, begitu peringatan dari cakrawala berpikir Pierre Bourdieu. Kerusakan habitat manusia --- ekonomi, sosial, budaya, politik, simbolik --- segera menggiring manusia ke kualitas "binatang liar", tambah Bourdieu. Manusia-binatang-liar inilah yang siap dan rela menyerang dan merusak orang lain: sesama tetangga, sesama suku, sesama bangsa dan sesama agama, serta sesama manusia. Manusia-binatang-liar terperosok menjauh dari takdirnya yang dibilangkan manusiawi: unik, berakal, dan mulia.

Seni yang utopis dan perang yang pragmatis memang beda. Seni yang utopis mengajak manusia berimajinasi. Imajinasi tentang estetika dan utopia tak lain adalah imajinasi tentang "perjumpaan ruang hidup". Sebaliknya, perang yang pragmatis mengajak manusia saling membunuh: dari cara kasar hingga brutal. Perang adalah "perjumpaan pragmatis untuk saling meniadakan". Harga manusia jauh beda di dua ajakan ini: utopia dan perang. Yang satu mengajak manusia ke ketinggian dan yang lain mengajak manusia berkalang tanah di panggung peperangan.

Memang benar utopia adalah imajinasi tanpa alas pengalaman. Itu sebabnya, utopia sering dianggap “mencubit keras” segenap pengalaman manusia. Lalu, utopia John Lennon balas dicubit. Abdel-Madjed memindahkan Lennon secara simbolik. The Beatles yang utopis berubah menjadi The Beatles yang pragmatis. John Lennon yang antikekerasan menjelma menjadi John-ala-ISIS yang memamerkan kekejaman.

 
Alwy Rachman.