SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Tuesday, December 15, 2015

Ujaran Kebencian dan Pengadilan di Ruang Maya

Wulan Winsbasardianty B

Pengadilan Socrates, dikenal sebagai Pengadilan Heliasts (Court of the Heliasts), merupakan pengadilan historis, dijadikan rujukan pro dan kontra terhadap ujaran kebencian (hate speech). Socrates diadili dengan tudingan bahwa ia menebar kebencian, meracuni pikiran generasi muda untuk berpikir kritis dalam apa yang disebut kebebasan berpendapat. Hidup Socrates pun berakhir dengan cara meminum racun, memilih mati ketimbang berkhianat pada ide-ide yang diajarkan kepada generasi muda pada saat itu.

Ide-ide dari Socrates mengajarkan kita untuk selalu berdialog --- dengan diri sendiri maupun dengan orang lain --- untuk mencari kebenaran, terutama yang menyangkut berbagai pandangan masyarakat terhadap persoalan-persoalan kehidupan, termasuk ranah politik ataupun sosial. Socrates menghendaki adanya dorongan mengekspresikan ide-ide dengan cara jujur terhadap apa yang kita tidak kehendaki. Sayang, dibalik pemikiran Socrates, di negeri sendiri, penyalahgunaan eksistensi dan makna ‘kebebasan berpendapat’ menjelma menjadi kebebasan yang tiada batas.

Seakan semuanya menjadi komplit setelah munculnya Surat Edaran (SE) Kapolri yang telah mengejutkan warga. Isi dari Surat Edaran membahas tentang penanganan ujaran kebencian (hate speech) yang secara tidak langsung, oleh banyak kalangan, “dinilai” mematahkan nilai demokrasi yang sedang tumbuh di Indonesia. Hate speech dinilai berpotensi menciptakan konflik antarindividu ataupun antargolongan di masyarakat. Hal-hal yang dikategorikan sebagai ujaran kebencian adalah cara menghasut, memfitnah, pencemaran nama baik, diskriminasi dan lain-lain.

Respons masyarakat pun bermunculan dalam dua wajah: pro dan kontra. Sebagian masyarakat mengatakan, hate speech merupakan konsekuensi “belajar dari kebebasan” dan “penyelenggaraan hak berpendapat” untuk turut andil dalam menyampaikan aspirasi terhadap berbagai topik yang sedang hangat dibicarakan. Umumnya, para pelaku yang pro akan hate speech mengilhami diri mereka untuk bebas berkata-kata tanpa batasan sekalipun.

Aroma kata-kata yang mereka keluarkan pun bermacam-macam. Saling menjatuhkan antar kedua belah pihak serta pengutaraannya secara frontal di media-media sosial adalah sebuah contoh. Mereka yang pro akan hate speech sudah pasti memiliki banyak perbedaan tujuan. Ada yang menggunakan hate speech untuk menabrak ego seseorang atau kaum. Ada yang hanya sekadar melakukan hate speech untuk menjatuhkan. Pun ada yang menerapkan hate speech sebagai cara menyumbangkan tanggapan negatif terhadap isu-isu tertentu.

Mereka yang berdiri pada argumentasi ini berpendapat, bahwa hate speech mendorong masyarakat berkontribusi besar dalam menyuarakan pendapat, melatih masyarakat untuk berpikir terbuka terhadap permasalahan publik, dan menjadikannya sebagai cara untuk mengekspresikan diri guna melatih diri sebagai bagian dari pendewasaan.

Masyarakat yang kontra terhadap hate speech berpendapat Lain. Mereka menilai bahwa ujaran kebencian perlu dibatasi melalui penerapan hukum. Hate speech, dalam banyak kasus, memakan banyak korban. Contohnya dapat dilihat pada konflik antarras dan antaragama yang berujung kekerasan. Hate speech mesti ditangani karena akan merusak keteraturan sosial dan menghancurkan adab tutur di masyarakat. Dengan penghukuman, para pembenci tidak akan lagi semena-mena mengeluarkan ujaran kebencian untuk menjatuhkan individu atau golongan.

Terlepas dari posisi pro dan kontra terhadap hate speech, para pemimpin dan pendidik di negeri ini seharusnya mendidik masyarakat untuk membedakan ujaran kebencian dan kritikan. Soalnya, tak sedikit masyarakat yang salah kaprah terhadap kebijakan penanganan hate speech. Ujaran kebencian pasti menimbulkan ketidaksukaan yang mungkin mendorong konflik, tapi kritikan semestinya tak dianggap sebagai kebencian. Kritik sejatinya didudukkan sebagai aksi masyarakat untuk berpendapat menyoal kebijakan pemerintah guna perbaikan.

Kritikan semestinya tak dikategorikan sebagai pencemaran nama baik. Menganggap kritikan sebagai pencemaran akan berpotensi menghambat kebebasan dan kelenturan berpendapat. Mari kita pikirkan baik-baik bahwa manusia sejatinya didudukkan pada perbedaan. Ada orang yang bisa disadarkan ketika suara teguran mulai melejit ke awan-awan. Ada orang yang dapat disadarkan ketika ego-nya ditabrak. Juga ada yang bisa diajak melalui produksi tuturan yang lembut dan pelan. Individu manusia sama sekali tidak bisa disamakan, karena individu memang tak pernah sama.

Di belakang sikap pro dan kontra mengenai Surat Edaran (SE) Kapolri yang marak di nusantara dan isu hate speech yang menjadi wacana dunia, ada sesuatu yang tersembunyi. Di sini, kita dapat berasumsi bahwa pemerintah dan penguasa tak mungkin lolos dari sorotan masyarakat yang mulai beropini secara kritis, terutama dalam soal urusan publik. Anggota masyarakat biasa pun bisa jadi sasaran. Boleh dibilang, melalui peradaban gadget yang canggih, hate speech adalah bagian dari cara netizen menghukum siapa saja, untuk tidak mengatakan wadah netizen menciptakan “pengadilan sosial di ruang maya internet”.

 
Alwy Rachman.