SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Thursday, December 3, 2015

SEPPUKU, SEPERUT DAN SESARUNG

Alwy Rachman

Seppuku, seperut dan sesarung adalah kisah kebudayaan. Yang pertama berakar di negeri Matahari, Jepang. Dua terakhir tertanam di negeri Ayam Jantan dari Timur: Sulawesi Selatan. Yang pertama dan dua terakhir punya kesamaan, pun punya perbedaan. Kesamaannya adalah persahabatan dan perbedaannya pada soal fungsi senjata di atas persahabatan. Yang pertama dibilangkan sebagai tradisi Bushido, sementara dua terakhir disebut sebagai tradisi siri’.

Tradisi Bushido dipandu oleh tujuh nilai: Gi, Yuu, Jin, Rei, Makoto, Meiyou, dan Chuugi. Sementara tradisi siri’ dikawal empat nilai: Siri’, Pesse, Lempu dan Getteng. Jika diterjemahkan, kualitas Bushido tak lain adalah integritas, keberanian, kecintaan antar sesama, kesantunan, keikhlasan, kemuliaan, dan loyalitas. Jika dirinci, kualitas siri’ tak lain adalah kehormatan, empati yang dalam, jujur dan tegar. Keseluruhan kualitas --- Jepang dan Sulawesi Selatan --- adalah nilai-nilai yang berdiam di ruang sadar, ruang paling senyap, paling religius, dan tersimpan paling jauh dan paling dalam pada diri manusia Jepang dan manusia Bugis Makassar.

Namanya juga nilai-nilai, keseluruhan kualitas ini menjadi semacam “ideologi kebudayaan”, itu pun kalau “ideologi kebudayaan”, dengan sangat terpaksa, diterjemahkan sebagai “cita-cita bersama dari satu kaum”. Kumpulan kualitas ini semacam “batu cadas” yang mengakar dan menjadi jalan bagi dua manusia dari dua kawasan. Jalan yang tak lain bertujuan menegakkan negeri, menghidupi budaya, mengayomi masyarakatnya, memelihara keluarganya. Tentu saja, untuk merawat sahabat dan persahabatan.

***
Tanpa nilai-nilai, persahabatan adalah dunia yang licin. Tanpa nilai-nilai, sisi manusiawi sang sahabat menjelma menjadi animal. Di dalam keadaan tak terelakkan, dalam situasi tak ada pintu keluar, tujuh nilai-nilai Jepang dan 4 nilai Bugis Makassar akan menyatakan dirinya ke simbolisme “senjata”. Fungsi budaya senjata inilah yang kemudian dipindahkan ke dalam lambang budaya: Samurai bagi Jepang, Badik bagi Bugis-Makassar. 

Tapi, jangan sekali-kali salah paham. Samurai dan Badik bukan untuk kekejaman, bukan untuk “membunuh” tanpa alasan, pun bukan untuk ingkar dan hianat pada sang sahabat. Samurai dan Badik adalah wajah terdepan dari integritas diri.

Seppuku di para samurai boleh dibilangkan sebagai “spirit persahabatan”. Tradisi Badik juga tak lain adalah “semangat persaudaraan”. Seorang samurai akan melakukan upacara Seppuku --- biasanya kita dengan lancang menyebutnya “bunuh diri” --- jika eksistensi “Yang tahu” dan “Yang Jiwa” dalam dirinya membisikkan pada “Yang Sadar”: “engkau bersalah”. Tak ada alasan bagi seorang 

Samurai merusak persahabatan dengan negara dan negerinya, dengan masyarakatnya, dengan keluarganya, dan dengan sahabat-sahabatnya. Maka, senjata segera berfungsi dan paling pantas diarahkan ke perut --- bagian terlemah pada tubuh. Senjata untuk memerdekakan “Yang Tahu” dan “Yang Jiwa”.

Dalam beberapa peristiwa, badik juga adalah “semangat persaudaraan”. Sekeras apa pun konflik yang dihadapi oleh dua sahabat, persaudaraan “tak bisa digadaikan”. Badik yang bekerja dari sahabat-sahabat di dalam “satu sarung” tak bermaksud “ingkar pada sahabat”. Di “satu sarung”,  “Yang Tahu” dan “Yang Jiwa” akan membisik ke “Yang Sadar” dari mereka yang bersahabat: “engkau bersaudara”.

Persaudaraan dalam bahasa Bugis-Makassar disebut sebagai “saribbattang”, “silissureng” yang membawa pesan sama “dari dan berasal dari perut yang satu”. Pasti yang dimaksud di sini “perut ibu”, lelaki tak pernah memiliki kualitas religius perut sebagaimana “perut ibu”. Jadi, badik adalah wajah paling kasat mata dari kualitas kasih paling mengharukan: perut ibu. Itu alasannya, jika persaudaraan dan persahabatan tiba di titik ekstrim, “para sahabat” biasanya memilih “satu sarung”, ketimbang membawa aib sang sahabat ke mana-mana.

***
Di seppuku, sang samurai “tak bunuh diri”. Orang luar yang latah lah menyebutnya demikian. Di “satu sarung”, dua sahabat “tak saling bunuh”. Orang luar pula yang membilangkan “kejam”. Seppuku dan satu sarung akan melenyapkan sang tubuh, wadah pembawa aib. Di situ, aib sang sahabat akan pergi bersama sang tubuh. Sampai di situ. Aib sang sahabat tak dijalarkan dan tak digelincirkan. Di ritus seppuku, Sang Samurai “tak menyalahkan” ihwal di luar dirinya. Di “satu sarung”, sang Bugis dan Sang Makassar tak menggadai aib sahabatnya ke mana-mana.  

Di peristiwa seppuku dan “satu sarung”, “Yang Tahu” dan “Yang Jiwa” dalam diri manusia lepas tanpa retak. Sang samurai tak kehilangan masyarakat, tak kehilangan keluarga, dan tak kehilangan sahabat. Di “satu sarung”, Sang Bugis-Makasssar tak kehilangan sahabat, tak kehilangan individu seperut. Di keduanya, kita bisa merefleksi dan belajar tentang kehadiran sahabat dan belajar mengenali budaya persahabatan.  Sayang sekali, kini kita kehilangan “ideologi sahabat”. Sayang, “budaya sahabat” kini meredup padam.

Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tribun Makassar
   
  



 
Alwy Rachman.