SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Thursday, December 3, 2015

Silessureng, Kita Hadir Sejalan Lahir

Alwy Rachman

“Kita telah terbang ke angkasa ibarat burung,
telah menyelam ke samudra bagai ikan. Kita belum belajar
berjalan di bumi sebagai orang-orang yang bersaudara.”
                                                                Martin Luther King Jr.

Tiba-tiba saja, bersama kolega-kolega muda-tua, saya terlibat dalam percakapan tentang pola sapaan “yang hidup” dan “yang tak hidup” di masyarakat. Sebagian peserta percakapan bilang, masyarakat kita tak sama dengan masyarakat di seberang sana. Di sana, mungkin maksudnya di negara-negara yang berbahasa Inggris, ekspresi “I am sorry” dan “Thank you” sering terdengar ketimbang di negeri sendiri.

“Maaf” dan “terima kasih” menjadi ekspresi yang jarang “muncul” dalam interaksi kecil sehari-hari. Malah, di rumah sendiri, kata dan ekspresi ini jarang dilatihkan kepada anak-anak. Oleh karena itu, anak-anak tumbuh dengan “ketiadaan konteks kecil” untuk belajar mengekspresikan “maaf” dan “terima kasih”. Di kalangan orang dewasa, kata dan ekspresi “maaf” dan “terima kasih” menjadi langka, baik kepada sesama dewasa maupun kepada anak-anak.

Jadilah kita keluarga yang tak membiasakan diri berucap “maaf” atau “terima kasih”. Situasi ini menjalar ke masyarakat, menjalar ke tingkat yang lebih tinggi, negara. Di masyarakat, peristiwa sekecil apapun yang menganggu orang lain, jarang kita menerima atau mengucapkan “maaf” atau “terima kasih”. Di tingkat negara, jarang pula kita menyaksikan permintaan “maaf” dan “terima kasih” para pemimpin ke masyarakat, begitu kira-kira argumen dalam percakapan.

***
Pengucapan “maaf” dan “terima kasih” adalah kode interaksi sosial di masyarakat yang mengajarkan dan menghidupkan “brotherhood”, yaitu “persaudaraan”.  Persaudaraan yang dilatih dan terlatih, dimulai dari rumah dan dipraktekkan di ruang publik. Persaudaraan yang merembes ke dunia politik dan dikristalkan melalui motto “liberty, equality, and fraternity”. Fraternity kemudian memayungi “persaudaraan” sebagai perangkat etika sosial yang mengatur hubungan antar-orang berdasarkan love and solidarity.

“Liberti, equality, dan fraternity” telah dijadikan kode politik kebangsaan Perancis. Tak berarti, bangsa-bangsa lain tak punya kode serupa, meski melalui pernyataan atau afirmasi lain. Indonesia punya sila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” sebagai kode kebangsaan. Di sini, keadilan bagi seluruh --- kecil dan besar--- bersifat imperatif ideologi. Keadilan yang dibangun di atas solidaritas luas.

Solidaritas luas adalah buah pikir Ernest Renan, filsuf kebangsaan yang buah pikirannya banyak menjadi rujukan. Renan bilang, fondasi nasionalisme justru hanya dapat dikukuhkan di atas solidaritas luas. Tanpa solidaritas luas, tak akan ada keadilan. Keadilan sosial sebagai kode kebangsaan Indonesia, dengan demikian, mesti dibaca sebagai perintah ideologi. Keadilan sosial mencakup pemenuhan hak-hak beragama, berorganisasi, berpendapat, berumah tangga, dan berkebudayaan.

***
Di tingkat kebudayaan, Sulawesi Selatan mengekspresikan “maaf” dan “terima kasih” dengan sikap kultural. Kata “tabe”, sembari sedikit membungkukkan diri, setara dengan pernyataan “maaf”. Menepuk-nepuk pundak “orang yang lebih muda” bisa dicerna sebagai “terima kasih”. Malah, di Bugis dan Toraja, ekspresi “kurru sumange” menjadi penanda “terima kasih” secara khas..

“Kurru sumange” tak sematra dan “tak setubuh” dengan “thank you”. Di ekspresi “kurru sumange”, si pengucap mengajak “jiwa” pada yang disapa untuk bangkit. Ekspresi “thank you” tak menyapa “jiwa”, tetapi “persona”.  “Kurru sumange”, secara harafiah dan secara kultural, bisa diartikan “bangkitlah wahai sang jiwa”. Menyapa “sang jiwa” untuk berterima kasih adalah asupan kultural yang jauh lebih reflektif, lebih ke dalam diri dari sekadar “berterima kasih”.

Makassar dan Bugis mengekspresikan “brotherhood” melalui kata sederhana tapi dalam: “saribattang” dan “silessureng”. Keduanya adalah metafor “perut ibu”. Keduanya adalah mimesis dari entitas “tubuh ibu”.  “Ibu”  di representasi, dihadirkan kembali ke dalam kode-kode persaudaraan. “Saribattang” adalah ajakan bahwa kita berasal dari perut yang sama: “seperut”. “Silessureng” adalah peringatan bahwa kita semua hadir melewati jalan di antara mulut rahim dan pintu vagina: “sejalan lahir”.  

Mari kita gunakan kode budaya Sulawesi Selatan untuk mendudukkan bangsa ini. Kita memang banyak, dari ratusan etnik, ratusan bangsa. Kita yang banyak, “hadir” dari analogi yang sama, yaitu “perut ibu Pertiwi”. Kita  “hadir” secara multikultural di jalan lahir yang sama,  “jalan kebangsaan nusantara”. Kita “saribattang”, kita pun “silessureng”.  “Seperut” dan “sejalan lahir” adalah takdir.
 
 
Alwy Rachman.