“Kita telah terbang
ke angkasa ibarat burung,
telah menyelam
ke samudra bagai ikan. Kita belum belajar
berjalan di bumi
sebagai orang-orang yang bersaudara.”
Martin Luther King Jr.
Tiba-tiba saja, bersama kolega-kolega muda-tua,
saya terlibat dalam percakapan tentang pola sapaan “yang hidup” dan “yang tak hidup”
di masyarakat. Sebagian peserta percakapan bilang, masyarakat kita tak sama
dengan masyarakat di seberang sana. Di sana, mungkin maksudnya di negara-negara
yang berbahasa Inggris, ekspresi “I am sorry” dan “Thank you” sering terdengar
ketimbang di negeri sendiri.
“Maaf” dan “terima kasih” menjadi ekspresi
yang jarang “muncul” dalam interaksi kecil sehari-hari. Malah, di rumah
sendiri, kata dan ekspresi ini jarang dilatihkan kepada anak-anak. Oleh karena
itu, anak-anak tumbuh dengan “ketiadaan konteks kecil” untuk belajar
mengekspresikan “maaf” dan “terima kasih”. Di kalangan orang dewasa, kata dan
ekspresi “maaf” dan “terima kasih” menjadi langka, baik kepada sesama dewasa
maupun kepada anak-anak.
Jadilah kita keluarga yang tak membiasakan diri
berucap “maaf” atau “terima kasih”. Situasi ini menjalar ke masyarakat,
menjalar ke tingkat yang lebih tinggi, negara. Di masyarakat, peristiwa sekecil
apapun yang menganggu orang lain, jarang kita menerima atau mengucapkan “maaf”
atau “terima kasih”. Di tingkat negara, jarang pula kita menyaksikan permintaan
“maaf” dan “terima kasih” para pemimpin ke masyarakat, begitu kira-kira argumen
dalam percakapan.
***
Pengucapan “maaf” dan “terima kasih” adalah
kode interaksi sosial di masyarakat yang mengajarkan dan menghidupkan “brotherhood”,
yaitu “persaudaraan”. Persaudaraan yang
dilatih dan terlatih, dimulai dari rumah dan dipraktekkan di ruang publik.
Persaudaraan yang merembes ke dunia politik dan dikristalkan melalui motto
“liberty, equality, and fraternity”. Fraternity kemudian memayungi
“persaudaraan” sebagai perangkat etika sosial yang mengatur hubungan
antar-orang berdasarkan love and solidarity.
“Liberti, equality, dan fraternity” telah
dijadikan kode politik kebangsaan Perancis. Tak berarti, bangsa-bangsa lain tak
punya kode serupa, meski melalui pernyataan atau afirmasi lain. Indonesia punya
sila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” sebagai kode kebangsaan. Di
sini, keadilan bagi seluruh --- kecil dan besar--- bersifat imperatif ideologi.
Keadilan yang dibangun di atas solidaritas luas.
Solidaritas luas adalah buah pikir Ernest
Renan, filsuf kebangsaan yang buah pikirannya banyak menjadi rujukan. Renan
bilang, fondasi nasionalisme justru hanya dapat dikukuhkan di atas solidaritas
luas. Tanpa solidaritas luas, tak akan ada keadilan. Keadilan sosial sebagai
kode kebangsaan Indonesia, dengan demikian, mesti dibaca sebagai perintah
ideologi. Keadilan sosial mencakup pemenuhan hak-hak beragama, berorganisasi,
berpendapat, berumah tangga, dan berkebudayaan.
***
Di tingkat kebudayaan, Sulawesi Selatan
mengekspresikan “maaf” dan “terima kasih” dengan sikap kultural. Kata “tabe”,
sembari sedikit membungkukkan diri, setara dengan pernyataan “maaf”.
Menepuk-nepuk pundak “orang yang lebih muda” bisa dicerna sebagai “terima
kasih”. Malah, di Bugis dan Toraja, ekspresi “kurru sumange” menjadi penanda
“terima kasih” secara khas..
“Kurru sumange” tak sematra dan “tak
setubuh” dengan “thank you”. Di ekspresi “kurru sumange”, si pengucap mengajak “jiwa”
pada yang disapa untuk bangkit. Ekspresi “thank you” tak menyapa “jiwa”, tetapi
“persona”. “Kurru sumange”, secara
harafiah dan secara kultural, bisa diartikan “bangkitlah wahai sang jiwa”.
Menyapa “sang jiwa” untuk berterima kasih adalah asupan kultural yang jauh
lebih reflektif, lebih ke dalam diri dari sekadar “berterima kasih”.
Makassar dan Bugis mengekspresikan “brotherhood”
melalui kata sederhana tapi dalam: “saribattang” dan “silessureng”. Keduanya
adalah metafor “perut ibu”. Keduanya adalah mimesis dari entitas “tubuh
ibu”. “Ibu” di representasi, dihadirkan kembali ke dalam
kode-kode persaudaraan. “Saribattang” adalah ajakan bahwa kita berasal dari
perut yang sama: “seperut”. “Silessureng” adalah peringatan bahwa kita semua hadir
melewati jalan di antara mulut rahim dan pintu vagina: “sejalan lahir”.
Mari kita gunakan kode budaya Sulawesi
Selatan untuk mendudukkan bangsa ini. Kita memang banyak, dari ratusan etnik,
ratusan bangsa. Kita yang banyak, “hadir” dari analogi yang sama, yaitu “perut
ibu Pertiwi”. Kita “hadir” secara
multikultural di jalan lahir yang sama, “jalan
kebangsaan nusantara”. Kita “saribattang”, kita pun “silessureng”. “Seperut” dan “sejalan lahir” adalah takdir.