SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Thursday, December 10, 2015

Tubuh dan Jejak-jejak Kuasa

Alwy Rachman

Adalah ilmuwan eksentrik Michel Foucault yang menaruh perhatian terhadap nasib tubuh manusia. Puluhan tahun lampau, sang ilmuwan ini telah mendalilkan bahwa kekuasaan punya kepentingan atas tubuh. Tubuh tak kuasa bertahan di habitatnya sendiri. Tubuh tak lagi milik inidividu, tak lagi milik kebudayaan, tak lagi mampu bersembunyi di ranah pribadi.

Sang ilmuwan yang hidup pada 1926–1984 ini, kenyataannya tak hanya menemukan teorinya tentang tubuh lewat pengamatan. Ia sendiri menjadi pelaku “setubuh” dengan kelompok-kelompok gay. Pengalamannya di dunia “setubuh” lalu menghadirkan karya akademis Seks dan Kekuasaan, yang ramai diperbincangkan di kalangan ilmuwan-ilmuwan sosial kritis. Di situ, sang ilmuwan menghayati bahwa seks tak semata-mata menggambarkan hubungan yang setara. Di sana, ada kekuasaan.

Kendali kuasa atas tubuh disebutnya sebagai Biopolitics. Dalam praktek kekuasaan, tubuh menjadi sasaran medicine. Lalu, medicine menjadi teknologi politik, suka atau tidak. Contoh kuasa atas tubuh tak sulit ditemukan di negeri ini. Pada rezim Orde Baru, misalnya, segenap rahim perempuan dianggap “milik negara”. Walhasil, rahim perempuan menjadi sasaran kampanye rezim. “Dua anak cukup”, begitu bunyinya.

Tubuh adalah pendisiplinan, begitu dalil tambahan Michel Foucault. Gerak-gerak tubuh di ranah publik dianggap “liar” dan tak sesuai dengan selera institusi. Gerak tubuh lalu didisiplinkan melalui pendidikan ketentaraan dan pendidikan kepolisian. Tentara dan polisi nenjadi aparatus kuasa yang ditugaskan mendisiplinkan gerak tubuh dari habitatnya yang “liar”. Jadi, di kedua instititusi kuasa ini, gerak tubuh tak lagi milik publik, tak lagi milik kebudayaan.

Tubuh juga tunduk pada kuasa bisnis. Di industri fashion, misalnya, gerak tubuh para model, lelaki atau perempuan, dikendalikan menurut selera industri bisnis. Cara melangkah, cara berjalan, cara berbelok, dan cara berbalik para model menjadi “penanda industri fashion”. Gerak tubuh yang “modis” ini pasti tak ditemukan di “ranah publik”.

Kuasa bisnis atas tubuh lalu berlanjut ke “iklan”. Di sini, tubuh mengalami pembedaan: diskriminasi. Tubuh yang putih diidealkan dalam masyarakat yang bertubuh cokelat dan hitam. Tubuh yang hitam diidealkan di masyarakat yang berkulit putih. Penengahnya adalah produk yang dapat membuat tubuh menjadi putih, menjadi cokelat atau menjadi hitam. Kuasa bisnis akhirnya mengajak manusia “membenci tubuhnya sendiri.”

Tubuh adalah penjara. Melalui refleksi atas suasana penjara di Prancis di seputar kisah-kisah Revolusi Prancis, Michel Foucault membilangkan bahwa tubuh manusia adalah gambaran dari panoptic power. Panoptic power tak lain adalah kuasa yang menyebabkan manusia harus merasa diawasi, diamati, dicurigai, dan dikendalikan dari sudut mana saja, dan dari dimensi apa saja. Lalu, manusia kehilangan kebebasan, kehilangan otentisitas, kehilangan ruang pribadi, dan kehilangan ruang primordial untuk bergerak sendiri.

Revolusi elektronik, dengan segala kecanggihan inovasi gadget yang menyertainya, menyebabkan ramalan Michel Foucault, puluhan tahun lampau, kini menemukan momennya. Kamera pengawas yang lazim disingkat CCTV kini berada di mana-mana. Di sekolah-sekolah, di kampus-kampus, di kantor-kantor, di pusat-pusat bisnis dan di jalan-jalan raya, kehadiran kamera pengawas dianggap normal saja. Malah dianggap mengawasi para kriminal. Padahal, tempat-tempat seperti ini sedang mempraktekkan kuasa yang disebut panoptic power. Siapa pula yang bisa menyangkal bahwa tempat-tempat kehadiran kamera pengawas di atas adalah lokus utama dari aparatus kuasa?

Tubuh kini bagian dari sidik jari elektronik. Kehadiran gadget dan kamera pengawas di hampir semua ruang publik merupakan gambaran atas kekuasaan yang membuat setiap manusia tak lagi mampu bersembunyi: sejak kecil hingga dewasa. Malah gadget telah merampas tradisi kerakyatan yang selama ini menjadi ciri khas masyarakat Nusantara. Kumpul bersama menikmati “pengalaman kebudayaan” yang sama tak lagi penting, dan tergantikan oleh kumpul bersama dalam aplikasi gadget: modis.

Di dunia gadget, relasi virtual menjadi lebih penting ketimbang relasi kultural. Relasi virtual mengabaikan “temu langsung” antar-individu. Di sini, manusia mengalineasi dirinya dari kelompok-kelompok sosial di masyarakatnya, mengasingkan diri dari kumpulannya. Padahal, sejauh ini manusia masih mendakukan dirinya sebagai makhluk sosial. Lalu, secara tak terhindarkan, manusia menjadi lebih individualistis. Relasi antarpersona, face to face interaction, tak lagi utama.

Pada akhirnya, tubuh adalah lambang sekaligus kuburan. Seseorang bisa menjadi pesohor simbolik di mana-mana lewat cara menjejakkan diri di dunia gadget. Di sana, individu bisa lebay sepuasnya. Sebaliknya, seseorang bisa terkubur melalui jejaknya di belantara gadget. Kariernya bisa terkubur karena rekam jejaknya di masa lampau tersimpan di dunia gadget. Manusia modern ternyata menyimpan paradoks. Mereka saling membesarkan dan saling menghancurkan melalui jejak sidik jari elektronik. Anehnya, manusia sangat narsisistik menghadirkan dirinya di wahana seperti ini.






 
Alwy Rachman.