Ada sebuah kisah dan refleksi lama tentang
kualitas pemimpin. Kisahnya dibilangkan sebagai “The Conference of the Birds”, “Pertemuan Para Burung”. Kisah
konferensi burung ini ditulis jauh di masa lampau, di sekitar paruh akhir abad
ke-11. Kisahnya dipapar ke dalam bahasa simbolik, ke dalam puisi panjang yang mencapai
sekitar 4500 baris. “Pertemuan Para
Burung” ini ditulis oleh seniman Persia, Farid ad-Din Attar.
Di literasi puisi Attar itu, burung-burung dibilangkan
datang dari berbagai belahan dunia. Di tengah zaman kegelapan dan penuh
kekacauan, para burung ini berkumpul dan berdiskusi tentang dunia yang gelap. Burung-burung
sedunia disergap rasa ingin tahu cara keluar dari kegelapan. Kegelapan adalah
kekacauan, begitu anggapan pertemuan itu. Di tengah kegelapan, jatuhlah sehelai
bulu brung yang kemilau bercahaya.
Burung yang dibilang paling bijaksana, Meragai,
bilang, “kemilau bulu yang jatuh adalah tanda dari sebuah ramalan visioner”
dari sang legenda Simorgh. Meragai pun segera memimpin burung dari segala jenis,
segala bentuk, untuk terbang bersama. Pencaharian besar-besaran pun dimulai.
Terbang bagikan guntur ke langit gelap untuk
mencari sumber sang cahaya. Sang legenda dipercaya akan menerangi kegelapan. Tapi,
pencaharian itu sejatinya melewati tujuh lembah, sebagaimana dikisahkan.
Wilayah pencaharian terbentang tak terbatas, dari lembah kerinduan hingga
lembah kecintaan dan dari lembah kefanaan hingga lembah ketauhidan.
Dari lembah ke lembah, kelompok burung demi
kelompok burung tersesat habis. Pada akhirnya, hanya tiga puluh burung yang mencapai
tempat sang legenda Simorgh. Simorgh tak lain adalah sebuah danau, tempat yang
memungkinkan bagi ketiga puluh burung itu melakukan refleksi. Refleksi
akhirnya: “kita hanya bisa tiba jika ada kesediaan, pengorbanan, dan
kesetiaan”.
***
Bagi Ilmuan Barat seperti Clarissa Pinkola
Estes, kisah Simorgh dan Meragai dalam “Pertemuan
Para Burung” adalah kisah simbolik. Clarissa yang juga penyair sekaligus
berprofesi sebagai spesialis pasca-trauma dan sekaligus psikoanalis bilang,
“bukankah Farid ad-Din Attar ingin menyampaikan bahwa angka 30 adalah angka
siklus hidup. Angka 30 hari membentuk nama-nama bulan, begitu argumennya. Angka
30 adalah siklus lengkap dimana manusia dapat melihat, mencari, jatuh, mati,
lahir dan bangun, tambahnya.
Clarissa, sarjana psikoanalis yang sering menggunakan puisi dan seni
panggung untuk terapi ekspresif untuk orang lain, menambahkan bahwa kisah “Konferensi Para Burung” adalah
deskripsi tentang psyche manusia. Kisah
perjalanan ke ketujuh lembah, dengan tingkat kesulitan masing-masing, memetakan
kondisi psyche manusia. Sebagian psyche akan menyerah karena tak tahan
menderita, sebagian lagi merasa sengsara. Sebagian psyche diliputi rasa permusuhan, sebagian lagi tak mampu menanggung
visi yang menakutkan. Sebagian mengalami psyche
yang tersobek oleh keraguan, sementara yang lain memelihara psyche yang penuh sesal.
Esensi 30 hari adalah wadah untuk membangun
psyche kesediaan, psyche kerelaan berkorban, dan psyche memelihara kesetiaan. Kemilau bulu
Simorgh yang dikisahkan jatuh dari langit dan menerangi bumi tak lain adalah representasi
dari ketiga kualitas psyche tadi. Di
luar dari itu, dunia tetap saja gelap.
Kisah di “Pertemuan Para Burung” bukan
satu-satunya sumber hikayat yang dapat dipakai secara akademis untuk merefleksi
kualitas psyche manusia. Di tengah
kegelapan, kekacauan, kekerasan dan penindasan, manusia biasanya kembali
belajar tentang kualitas binatang. Mandela, misalnya, membawa Afrika Selatan
dengan menumpang literasi “The Flamingo” yaitu
burung Bangau. Burung Bangau katanya adalah gambaran psyche tahu diri.
Ketika muda, Bangau akan memimpin, mengajak
bersama, tapi kalau sudah tua ia segera tahu diri. Bangau tua akan lengser ke
pinggir, memberi kesempatan pada bangau muda, tanpa perlu meninggalkannya. Psyche tua tak lain adalah kesediaan
untuk lengser sebagai pemimpin, rela berkorban untuk generasi mudanya, dan
tetap setia pada jalan kebenaran. Di luar
itu, yang ada hanya “burung kertas” yang merasa bisa mencapai matahari.
Pada akhirnya, Clarissa meyakini bahwa
penyair Persia, Farid ad-Din Attar adalah sosok seniman mistik sufistik yang
bercerita tentang potensi bahaya yang mengancam psyche manusia. Hikayat Simorgh dalam “Pertemuan Para Burung” adalah gambaran representatif tentang
resiko yang benderang dalam perjalanan psyche
mencari “The Soul of souls”, “Jiwa
dari segala jiwa”.