SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Wednesday, December 2, 2015

Mencari “Jiwa dari segala jiwa”

Alwy Rachman

Ada sebuah kisah dan refleksi lama tentang kualitas pemimpin. Kisahnya dibilangkan sebagai “The Conference of the Birds”, “Pertemuan Para Burung”. Kisah konferensi burung ini ditulis jauh di masa lampau, di sekitar paruh akhir abad ke-11. Kisahnya dipapar ke dalam bahasa simbolik, ke dalam puisi panjang yang mencapai sekitar 4500 baris. “Pertemuan Para Burung” ini ditulis oleh seniman Persia, Farid ad-Din Attar.

Di literasi puisi Attar itu, burung-burung dibilangkan datang dari berbagai belahan dunia. Di tengah zaman kegelapan dan penuh kekacauan, para burung ini berkumpul dan berdiskusi tentang dunia yang gelap. Burung-burung sedunia disergap rasa ingin tahu cara keluar dari kegelapan. Kegelapan adalah kekacauan, begitu anggapan pertemuan itu. Di tengah kegelapan, jatuhlah sehelai bulu brung yang kemilau bercahaya.

Burung yang dibilang paling bijaksana, Meragai, bilang, “kemilau bulu yang jatuh adalah tanda dari sebuah ramalan visioner” dari sang legenda Simorgh. Meragai pun segera memimpin burung dari segala jenis, segala bentuk, untuk terbang bersama. Pencaharian besar-besaran pun dimulai.

Terbang bagikan guntur ke langit gelap untuk mencari sumber sang cahaya. Sang legenda dipercaya akan menerangi kegelapan. Tapi, pencaharian itu sejatinya melewati tujuh lembah, sebagaimana dikisahkan. Wilayah pencaharian terbentang tak terbatas, dari lembah kerinduan hingga lembah kecintaan dan dari lembah kefanaan hingga lembah ketauhidan.

Dari lembah ke lembah, kelompok burung demi kelompok burung tersesat habis. Pada akhirnya, hanya tiga puluh burung yang mencapai tempat sang legenda Simorgh. Simorgh tak lain adalah sebuah danau, tempat yang memungkinkan bagi ketiga puluh burung itu melakukan refleksi. Refleksi akhirnya: “kita hanya bisa tiba jika ada kesediaan, pengorbanan, dan kesetiaan”.  

***
Bagi Ilmuan Barat seperti Clarissa Pinkola Estes, kisah Simorgh dan Meragai dalam “Pertemuan Para Burung” adalah kisah simbolik. Clarissa yang juga penyair sekaligus berprofesi sebagai spesialis pasca-trauma dan sekaligus psikoanalis bilang, “bukankah Farid ad-Din Attar ingin menyampaikan bahwa angka 30 adalah angka siklus hidup. Angka 30 hari membentuk nama-nama bulan, begitu argumennya. Angka 30 adalah siklus lengkap dimana manusia dapat melihat, mencari, jatuh, mati, lahir dan bangun, tambahnya. 

Clarissa, sarjana psikoanalis  yang sering menggunakan puisi dan seni panggung untuk terapi ekspresif untuk orang lain, menambahkan bahwa kisah “Konferensi Para Burung” adalah deskripsi tentang psyche manusia. Kisah perjalanan ke ketujuh lembah, dengan tingkat kesulitan masing-masing, memetakan kondisi psyche manusia. Sebagian psyche akan menyerah karena tak tahan menderita, sebagian lagi merasa sengsara. Sebagian psyche diliputi rasa permusuhan, sebagian lagi tak mampu menanggung visi yang menakutkan. Sebagian mengalami psyche yang tersobek oleh keraguan, sementara yang lain memelihara psyche yang penuh sesal.

Esensi 30 hari adalah wadah untuk membangun psyche kesediaan, psyche kerelaan berkorban, dan psyche memelihara kesetiaan. Kemilau bulu Simorgh yang dikisahkan jatuh dari langit dan menerangi bumi tak lain adalah representasi dari ketiga kualitas psyche tadi. Di luar dari itu, dunia tetap saja gelap.

Kisah di “Pertemuan Para Burung” bukan satu-satunya sumber hikayat yang dapat dipakai secara akademis untuk merefleksi kualitas psyche manusia. Di tengah kegelapan, kekacauan, kekerasan dan penindasan, manusia biasanya kembali belajar tentang kualitas binatang. Mandela, misalnya, membawa Afrika Selatan dengan menumpang literasi “The Flamingo” yaitu burung Bangau. Burung Bangau katanya adalah gambaran psyche tahu diri.

Ketika muda, Bangau akan memimpin, mengajak bersama, tapi kalau sudah tua ia segera tahu diri. Bangau tua akan lengser ke pinggir, memberi kesempatan pada bangau muda, tanpa perlu meninggalkannya. Psyche tua tak lain adalah kesediaan untuk lengser sebagai pemimpin, rela berkorban untuk generasi mudanya, dan tetap setia pada jalan kebenaran.  Di luar itu, yang ada hanya “burung kertas” yang merasa bisa mencapai matahari.

Pada akhirnya, Clarissa meyakini bahwa penyair Persia, Farid ad-Din Attar adalah sosok seniman mistik sufistik yang bercerita tentang potensi bahaya yang mengancam psyche manusia. Hikayat Simorgh dalam “Pertemuan Para Burung” adalah gambaran representatif tentang resiko yang benderang dalam perjalanan psyche mencari “The Soul of souls”, “Jiwa dari segala jiwa”.
 
Alwy Rachman.